31.7 C
Jakarta
Array

KH. Wahab Chasbullah dan KH. Wachid Hasyim: Dari Piagam Jakarta, Sidang Konstituante Hingga Dekrit Presiden

Artikel Trending

KH. Wahab Chasbullah dan KH. Wachid Hasyim: Dari Piagam Jakarta, Sidang Konstituante...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

KH. Wahab Chasbullah dan KH. Wachid Hasyim: Dari Piagam Jakarta, Sidang Konstituante Hingga Dekrit Presiden

Oleh: Dr. Ainur Rofiq al-Amin*

Tulisan ini untuk memposisikan secara proporsional tokoh tokoh NU yang sering dijadikan tameng oleh para pemuja khilafah untuk memperkuat ide khilafahnya, sekaligus menggaet warga NU dengan alasan tokoh tokoh NU memperjuangkan syariat, pemerintahan Islam, dan bahkan khilafah. Padahal realitas historisnya tidak sesederhana itu.

Berikut adalah runtutannya yang saya ringkas dari beberapa buku.

Perdebatan masalah fundamental tentang bentuk negara yang bakal dilahirkan sudah terjadi sejak zaman Budi Utomo dan Sarikat Islam. Dua aliran besar ini bisa disebut sebagai representasi atas cita-cita negara nasional dan cita-cita negara Islam.

Debat itu berlanjut hingga jelang kemerdekaan. Akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945, lahirlah kesepakatan bersama antara tokoh-tokoh pendiri bangsa yang mewakili golongan politik dalam masyarakat. Kesepakatan bersama itu diberi nama “Djakarta Charter” (Piagam Jakarta). Piagam ini ditandatangani oleh sembilan tokoh yang terdiri dari lr. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Ahmad Subardio, Mr. Muhammad Yamin (semua mewakili golongan Nasionalis), K.H. A. Wahid Hasyim, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, K.H. Abdulkahar Muzakkir (mewakili golongan Islam) dan Mr. A.A. Maramis (mewakili golongan Kristen).

Lalu bagaimana kelanjutan dari Piagam Jakarta tersebut?  KH.  Wahid Hasyim menjelaskan,

“Setelah hampir dua bulan berjalan dengan tenangnya, maka pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tatkala kami hendak mengesahkan UUD 1945, timbul situasi baru. Dalam preamble UUD pada bagian yang berbunyi, “… dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” itu, tiba-tiba digugat oleh satu golongan disertai ancaman serius, hendak memisahkan diri.” KH. Wachid Hasyim melanjutkan bahwa dengan kalangan nasionalis tidak ada masalah. Mereka menyetujui dan mendukung seluruh isi Piagam Jakarta  termasuk tujuh kata-kata ‘dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Adapun yang menggugat dan menentang itu ialah golongan Kristen.

Ketika KH.  Saifuddin Zuhri bertanya apa kelompok Islam tidak mereaksi hal di atas, KH.  Wahid Hasyim menjelaskan bahwa kelompok Islam dengan jumlah mayoritas menolak keberatan mereka. Tapi situasinya kurang menolong. Pertama, situasi politik dan keamanan  di awal revolusi memerlukan persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, sebagai golongan minoritas mereka dapat melakukan politik ofensif bahkan disertai tekanan politik  seolah  ditindas oleh golongan mayoritas. Kelompok Islam sebagai golongan yang paling berkepentingan atas tergalangnya persatuan dan kesatuan dalam  menghadapi Belanda yang masih mempunyai kaki tangan di mana-mana, akhirnya para pemimpin Islam dan nasionalis memenuhi tuntutan mereka. Dengan pengertian, bahwa kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk. pemeluknya akan dapat ditampung dalam melaksanakan pasal 29 ayat 2 UUD ’45 secara jujur.

Tampak sekali  tokoh tokoh Islam bersikap bijak atas peristiwa tersebut walau aspirasinya tidak terserap keseluruhannya. Namun setelah sekian tahun dari kemerdekaan,  ternyata terjadi lagi perdebatan tentang dasar negara.

Peristiwa itu terjadi dalam sidang konstituante. Saat itu,  hampir semua materi pokok dapat diselesaikan dalam musyawarah. Semua menyetujui bentuk Republik Kesatuan, Bendera Merah Putih, Bahasa Nasional Indonesia, Lagu Indonesia Raya, Lembaga-lembaga kenegaraan, Asas Negara Hukum, Garis-garis Besar Haluan Negara, dan lain-lain.

KH. Saifuddin Zuhri mengatakan, akan tetapi ketika membicarakan “Dasar Negara”, mulailah timbul perbedaan yang makin lama makin tajam dan melebar. Timbul dalam perdebatan itu keinginan masing-masing golongan tentang Dasar Negara dengan rincian pertama,  dasar Islam diusulkan oleh Masyumi-NU-PSII-Perti. Kedua,  dasar Pancasila diusulkan oleh PNI-PKI-PSI-lPKI-Katolik-Kristen. Ketiga,  dasar Sosial Ekonomi diusulkan oleh Partai Murba.

Lalu,  apa motif timbulnya perbedaan tersebut?  KH.  Saifuddin Zuhri memandang bahwa perbedaan pendirian tentang dasar negara itu tidak semata-mata masalah perbedaan ideologis, tetapi sudah banyak disusupi pertentangan politik antar golongan dari luar gedung Konstituante. Sebagai gambaran,  sejak proklamasi 17 Agustus 1945 hingga kampanye pemilu 1955, selama 10 tahun, umat Islam -terutama yang menjadi warga 4 partai Islam yang menjadi kontestan pemilu- menerima Pancasila sebagai falsafah negara dan dasar negara seperti yang tercantum dalam mukaddimah UUD 1945 ataupun UUD Sementara 1950. Bahkan beberapa orang tokoh Islam (Masyumi) yang terlibat dalam peristiwa PRRI pun bukan lantaran memperdebatkan Pancasila dan Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pancasila dalam pandangan sikap umat Islam tidak menjadi problem.

Perdebatan di majelis Konstituante akhirnya mengalami kemacetan, baik terkait dengan penentuan dasar negara maupun anjuran Presiden agar  kembali kepada UUD 1945. Keduanya tidak dapat disahkan melalui pemungutan suara. Kedua belah pihak tidak ada yang mencapai jumlah 2/3 suara dari anggota majelis.

Mencuatlah usul agar kembali kepada UUD 1945. Tentang  rancangan untuk kembali ke UUD 1945, partai-partai Islam dalam konstituante mengusulkan agar dalam diktum keputusan berlakunya UUD 1945 itu disertai pengakuan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai yang menjiwai UUD 1945.

Saat suasana perdebatan di Konstituante masih macet, suatu hari,  Jenderal A H. Nasution mendatangi rumah KH.  Idham Chalid  untuk konsultasi tentang kemungkinan kembali kepada UUD 1945 lewat dekrit Presiden.  KH.  Idham Chalid mengatakan, “Isinya terserah Pemerintah,  tetapi hendaklah memperhatikan suara suara golongan Islam dalam Konstituante.”

Jenderal A.H. Nasution bertanya apa konkretnya tuntutan kelompok Islam. KH. Saifuddin Zuhri yang juga ikut diskusi karena saat itu ditelpon oleh KH.  Idham Chalid menjawab, “Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945.”

Jenderal Nasution masih meminta pertimbangan dengan bertanya,  “Bagaimana sikap NU apabila Presiden menempuh jalan Dekrit?” KH.  Idham Chalid  menjawab,  “Kami tidak bisa katakan, itu hak presiden untuk menyelamatkan negara.” KH. Saifuddin Zuhri menambahinya,  “Kiai Wahab Hasbullah toh sudah mengatakan dalam sidang terakhir Konstituante tempo hari bahwa pendirian kami dari golongan Islam sudah jelas. Kami menggunakan hak kami secara demokratis. Terserah Pemerintah mau menempuh “dekrit” bahkan mau “junta militer’ sekalipun, silakan!”

Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden atas nama rakyat dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang mendekritkan berlakunya UUD 1945 dan membubarkan Konstituante. Dalam Dekrit Presiden itu juga dinyatakan, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.”

Hal yang harus dipahami adalah sikap NU yang memperjuangkan piagam Jakarta bukan berarti tidak setia kepada negara. KH. Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa Kiai Wahab dan semua pimpinan Nahdlatul Ulama hanyalah sekadar menggunakan hak yang diberikan  negara secara legal dan loyal. Pemilihan Umum tahun 1955 adalah program Pemerintah untuk memilih DPR dan Konstituante. Tugas Konstituante  adalah untuk menyusun UUD Negara. Kini kita tidak diperkenankan lagi mempertentangkan kembali Pancasila dan Piagam Jakarta.

Selanjutnya analisis Feillard menarik untuk dikaji.  Feillard menguraikan, persoalan yang muncul adalah mengapa NU begitu hati-hati terhadap Pancasila setelah menerimanya selama 14 tahun sebagai ideologi nasional? Hal ini karena tampak secara perlahan-lahan Pancasila telah dihubung-hubungkan dengan perlindungan terhadap kebatinan Jawa (dicela sebagai syirik dan dilihat sebagai perisai bagi komunisme yang telah menunjukkan kekuatannya pada Pemilu 1955: hanya 2% di bawah suara NU). Lalu  mengapa NU begitu cepat menyerah pada Dekrit 1959, menurut Daniel Lev, hal itu merupakan jalan keluar yang paling tepat dari kebuntuan (Lev, 1966: 273). Greg Fealey menunjuk pada penerapan hukum fiqh bahwa menghindari kerusakan (mafsadah) harus lebih didahulukan ketimbang mencari kemaslahatan (maslahah) (Fealy, 1992: 6).

Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan telah terjadi pergulatan panjang para tokoh NU terkait dengan dasar negara yang berakhir dengan diterimanya NKRI, Pancasila dan UUD 1945.  Warga NU  tidak boleh terpengaruh hembusan suara yang bisa membuat ragu seperti yang pernah yang disematkan kepada KH.  Wachid Hasyim.  Andree Feillard mengutip informasi bahwa   KH. Wahid Hasyim tidak hadir pada pertemuan tanggal 18 Agustus 1945 dengan Moh. Hatta.  Pihak yang meragukan kehadiran KH. Wahid Hasyim dalam pertemuan itu adalah   Prawoto Mangkusasmito, seorang pemimpin Masyumi. Keraguan ini kemudian dikutip beberapa kali, termasuk oleh Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya mengenai Piagam Jakarta.  Hingga kini, keraguan ini masih dibicarakan di lingkungan organisasi besar dakwah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).

Feillard memungkasi, namun, menurut beberapa saksi, termasuk Hatta sendiri, Wahid Hasyim memang benar-benar hadir dalam pertemuan yang menentukan itu. Bahkan menurut Kasman, justru Wahid Hasyimlah yang berusaha meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo agar bersedia menerima perubahan itu. Ibu Wahid Hasyim ingat juga bahwa suaminya benar-benar menjumpai Moh. Hatta tanggal 18 Agustus pagi.

*Penulis adalah dosen UIN Surabaya dan Penulis Buku Membongkar Proyek Khilafah ala HTI

 

Diolah Ainur Rofiq Al Amin

– KH. Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren.

– KH. Saifuddin Zuhri, Mbah Wahab Hasbullah: Kiai Nasionalis Pendiri NU

– Andree Feillard, NU vis a vis Negara.

– Andree Feillard dalam Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil

– KH. Saifuddin Zuhri, Kyai Haji Abdulwahab Khasbullah. Bapak Pendiri NU

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru