29.7 C
Jakarta

Kewenangan TNI Atasi Terorisme Dinilai Terlalu Luas

Artikel Trending

AkhbarNasionalKewenangan TNI Atasi Terorisme Dinilai Terlalu Luas
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta-Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah menyusun draft Peraturan Presiden (Perpres) tentang tugas dan kewenangan TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Draf tersebut sudah diserahkan ke DPR untuk selanjutnya dimintai pertimbangan.

Draft yang dirancang pemerintah itu kini mendapat penolakan dari aktivis dan tokoh masyarakat sipil. Pelibatan TNI dinilai mengganggu sistem hukum di Indonesia.

Ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Najib Azca menegaskan, pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam rancangan Perpres tersebut terlalu berlebihan. Sehingga akan mengganggu mekanisme criminal justice sistem, mengancam HAM dan kehidupan demokrasi.

“Pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan Peraturan Presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3 draft Perpres),” kata Najib Azca dalam siaran pers yang diterima merdeka.com, Kamis (28/5).

Perpres ini juga tidak menjelaskan lebih rinci terkait dengan pernyataan ‘operasi lainnya’. Dengan begitu, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.

Najib Azca melanjutkan, secara konseptual, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT. Artinya, kewenangan pencegahan diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI.

“Berbeda halnya dengan rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan,” jelasnya.

Bahayakan Hak Warga

Najib Azca khawatir pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan. Maka mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum membahayakan hak-hak warga.

Jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar, maka mekanisme pertanggungjawabannya tidak jelas. Sebab, militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum.

Selain berpotensi melanggar HAM, rancangan Perpres tersebut dinilai akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia. Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri.

BACA JUGA  Sestama BNPT RI Dorong Pemerintah Daerah Terlibat Aktif Laksanakan RAN PE

“Ini tidak sejalan dengan hakikat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum. Pemberian kewenangan penangkalan dan penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya (Pasal 9 draft Perppres) akan merusak mekanisme criminal justice system,” tegasnya.

Tumpang Tindih Fungsi Militer

Dia melanjutkan, dengan adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri untuk mengatasi kejahatan tindak pidana terorisme di dalam negeri, akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya yakni BNPT, aparat penegak hukum dan lembaga intelijen. Ini justru akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi overlapping fungsi dan tugas antar kelembagaan negara.

Najib Azca juga menyoroti penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 rancangan Perpres tersebut. Pasal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI.

Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI.

“Pendanaan di luar ketentuan UU TNI tersebut memiliki problem akuntabilitas, potensial terjadi penyimpangan dan menimbulkan beban anggaran baru bagi pemerintah daerah,” ujar dia.

Rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme juga dianggap bertentangan dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU TNI, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara.

Yang dimaksud dengan keputusan politik negara adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR.

“Sementara di dalam Rancangan perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan. Hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI. Itu artinya secara hukum Perpres ini nanti akan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yakni UU TNI itu sendiri karena telah menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR,” kata Najib Azca mengakhiri.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru