27.4 C
Jakarta
Array

Ketika Kata Akal Sehat Menangis di Kamus, di Musim Pilpres

Artikel Trending

Ketika Kata Akal Sehat Menangis di Kamus, di Musim Pilpres
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Catatan untuk Rocky Gerung dan Barisan Yang Sepaham

Di era pemilu presiden, banyak hal didangkalkan. Termasuk makna akal sehat, yang kini seolah olah menjadi branding untuk menyerang Jokowi dan kubunya.

Suatu ketika, di suatu hari di era pilpres 2019, di sebuah kamus, kata kata menjadi gelisah. Penyebabnya ternyata kata akal sehat. Ia, kata “akal sehat,” sedang menangis. Aneka kata lain yang total berjumlah 75 ribu entry bertanya. Ada apa?

Kata “akal sehat” pun berkisah. Sebelum pilpres, ia merasa begitu agung. Setiap kali manusia menyebutnya, ia merasakan tone yang positif, ada aura pujian dan hormat. Ia adalah puncak dari kualitas berpikir. Ia digunakan bagi tertib berpikir untuk melihat realitas apa adanya, dan merespon sesuai dengan apa yang seharusnya.

Namun kini semua berubah. Di era pilpres, manusia menyebut dirinya, menyebut akal sehat, dengan sinis. Ujar kata “akal sehat,” : aku sudah didangkalkan. Aku hanya digunakan sebagai istilah untuk mengkritik Jokowi saja. Namun aku tak digunakan dengan semangat yang sama untuk mengkritik Prabowo.

Tentu saja kisah kata akal sehat yang menangis di kamus hanyalah majas, hanya alegori. Dalam kamus sendiri tak ada kata akal sehat yang digandeng menjadi satu kesatuan. Yang ada kata “akal” dan kata “sehat.”

Kitapun tak pasti pula apa terjemahan akal sehat dalam bahasa Inggris yang biasa menjadi perdebatan filsafat atau akademik.

Akal sehat bisa diartikan di satu sisi sebagai common sense. Yaitu buah pikiran yang diyakini oleh kebanyakan orang yang normal. Tapi arti kata ini juga terus berubah mulai dari era Descartes hingga Thomas Paine.

Di tangan Descartes, common sense sedikit negatif karena kata ini merujuk kepada pengertian awam atas realitas. Pengertian itu belum diuji oleh satu tertib berpikir yang justru bisa menjungkir balikkan pengertian awam itu.

Namun di tangan Thomas Paine dan umumnya kaum enlightment, kata common sense justru positif. Ketika terlalu banyak cara pandang metaphisika, yang mengawang-ngawang soal realitas, common sense itu mengajak kita menguji hal ihwal dengan akal orang normal, yang berdasarkan kenyataan dan ilmu pengetahuan.

Mungkin pula akal sehat lebih tepat diartikan sebagai critical thinking: cara berpikir yang metodis, yang rasional, bahkan skeptis, tidak bias. Ini metode berpikir yang penting agar kita dapat memisahkan pernyataan mana yang benar, dan yang mana yang salah.

Critical thinking ini juga sudah setua Socrates yang hidup 400 tahun sebelum masehi. Ujar Socrates, kita tak bisa meyakini sesuatu semata bersandar pada otoritas yang membuat pernyataan itu. Kita hanya boleh meyakini sebuah pernyataan setelah ia diuji dengan aneka pertanyaan dan skeptisisme.

Pengertian Critical Thinkingpun terus berkembang hingga Kerry S Walters yang mempopulerkan Calculus of Justification. Tentu lebih maju lagi, critical thinking tak hanya didekati dengan model formal logika: deduksi, induksi dan abduksi. Tapi juga ujar Walters, sangatlah penting untuk juga mengembangkan critical thinking berdasarkan konteks sebuah pernyataan dengan sikap berempati.

Entah dari mana sebabnya, di musim pilpres 2019, terminologi akal sehat dilekatkan kepada Rocky Gerung. Bahkan dalam beberapa kesempatan Rocky Gerung disebut presiden akal sehat.

Tapi bagaimanakah rupa dan pengertian akal sehat yang dipraktekkan Rocky Gerung di era pilpres? Tak ada definisi yang pasti. Namun yang dilakukan Rocky Gerung sejauh ini adalah kritik yang sangat gencar untuk Jokowi. Sebaliknya, tak pernah terdengar darinya menggunakan alat yang sama, metode yang sama untuk mengkritik Prabowo.

Dalam beberapa kesempatan, memang Rocky Gerung umumnya diundang dalam forum pendukung dan tim kampanye Probowo. Rocky pun menyatakan, Ia memang mengkritik Jokowi saja karena Jokowi yang berkuasa. Prabowo belum berkuasa. Tapi ketika Prabowo berkuasa, setelah 12 menit, ia akan mengkritik Prabowo.

Akal sehat di tangan Rocky hanya menjadi alat mengkritik untuk Ia (mereka) yang berada di kekuasaan saja (tepatnya presiden: sekarang untuk Jokowi, dan bisa juga untuk Prabowo jika nanti ia terpilih).

Benarkah? Validkah? Maknyus kah?

Ini tiga catatan saya untuk Rocky Gerung. Catatan ini juga untuk barisan yang sepaham.

Pertama, Rocky Gerung telah menyempitkan pengertian akal sehat. Dalam tradisi filsafat ataupun dunia intelektual, baik akal sehat itu diartikan sebagai common sense ataupun critical thinking, itu metode berpikir yang diterapkan untuk ruang publik (public sphere).

Tidak hanya yang ada di pemerintahan yang layak diberikan kritik akal sehat, kritik common sense, kritik critical thinking, tapi semua aktor yang memang layak dikritik, bahkan untuk yang berada di luar pemerintahan.

Jika yang dijaga adalah mutu berpikir sebuah bangsa, bukankah bangsa itu terlalu besar jika hanya ditentukan oleh pemerintahan, apalagi oleh hanya seorang presiden. Mereka yang di luar pemerintahan, seperti oposisi, pengusaha besar, para calon presiden, juga punya pengaruh yang besar membulat lonjongkan ruang publik.

Mengapa keindahan akal sehat hanya disempitkan untuk mengkritik penguasa saja?

Kedua, katakanlah jika ingin konsisten soal penguasa, siapakah penguasa dalam pemerintahan demokratis? Ketika terjadi divided goverment seperti di AS sekarang ini, yang disebut penguasa tak hanya Presiden Donald Trump. Berkuasa juga kongres AS yang didominasi partai oposisi.

Dinding besar untuk menghalau imigran, belum berhasil dibangun Presiden Trump. Itu karena yang berkuasa tak hanya presiden, tapi juga kongres, yang dikuasai oposisi, yang tak setuju dengan dinding besar itu.

Hal yang sama di Indonesia. Tak hanya Jokowi yang berkuasa. Lembaga DPR juga berkuasa. Dalam lembaga DPR, ada partai politik, yang dikendalikan ketua umumnya masing masing. Prabowo pun masuk pula dalam kategori penguasa dalam pemerintahan demokratis.

Tak ingin mengkritik Prabowo karena ia belum berkuasa, itu sama dengan menihilkan peran lembaga DPR dan partai di dalamnya yang ikut sebagai penguasa legislatif.

Ketiga, apa pentingnya menunda kritik akal sehat bagi calon presiden Prabowo. Mengapa menunggu Prabowo berkuasa dulu, baru ia layak dikritik.

Kebijakan publik itu sebuah proses. Jika memang gagasan calon Presiden itu lemah, bukankah justru semakin awal ia dikoreksi, semakin cepat draft kebijakan publik itu menyempurnakan diri? Bahkan untuk pendidikan publik, bukanlah publik lebih dicerdaskan oleh kritik akal sehat kepada siapa saja.

Tentu saja berbeda jika misalnya Rocky Gerung tak ingin mengkritik Prabowo karena ia tak ingin kelemahan Prabowo nampak di publik. Itu pun sah sah saja jika diam diam Rocky menjadi bagian dari tim sukses Prabowo baik resmi ataupun tak resmi.

Tapi sikap partisan itu terlalu jauh jika juga digunakan dengan memiskinkan pengertian akal sehat dan kritik. Tak ada dasar pijakannya baik dalam sejarah filsafat ataupun public policy jika akal sehat dan kritik hanya digunakan untuk mengkritik presiden yang berkuasa belaka.

Ini sekedar catatan kecil atas mulai ngepopnya kosa kata akal sehat itu. Tak ada maksud lain dari tulisan ini selain memperkaya diskusi.

Seandainyapun ada maksud tambahan, paling paling seperti yang diulas di awal tulisan. Saya tak ingin kata akal sehat menangis di kamus karena ia telah didangkalkan di musim pilpres.*

 

Ditulis oleh Denny JA

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru