32.1 C
Jakarta

Ketika Iman Bertemu Identitas: Agama dan Gender dalam Dunia yang Beragam

Artikel Trending

KhazanahPerempuanKetika Iman Bertemu Identitas: Agama dan Gender dalam Dunia yang Beragam
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ketika SMP, saya terpukau dengan buku “Tabula Rasa” karya Ratih Kumala. Buku yang menceritakan seorang lesbian bernama Raras dengan kehidupan percintaannya yang kompleks sebab berkaitan dengan keseluruhan pengalaman hidupnya. Kisah itu memberi perspektif baru bagi saya yang berasal dari Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Saya mengingat jelas kebingungan terhadap hal baru tersebut. Namun, memori saya lebih kepada rasa penasaran untuk memahaminya tanpa intensi superior, meski tak dipungkiri berkecamuk bermacam rasa termasuk takut karena ketidaktahuan saya.

Ketika seorang tokoh agama di gereja coming out ke publik tentang identitas gendernya di tahun 2019, dan tiga tahun kemudian, seorang sepupu bercerita bahwa dirinya memiliki orientasi seksual yang berbeda dari yang ada di masyarakat; bukanlah rasa takut lagi yang mencuat. Namun, bagaimana saya menyikapi hal-hal tersebut terutama sebagai awam yang tidak memiliki cukup pengetahuan?

Data Umat Kanwil Kementerian Agama Prov. NTT menampilkan bahwa masyarakat NTT tersebar dengan agama dan kepercayaan yang beragam. Jelas bahwa masyarakat di sekitar saya percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Mayoritas masyarakat di NTT memeluk agama Katolik dan Kristen. Hal ini berarti salah satu sumber nilai dalam menjalani hidup masyarakat NTT berasal dari ajaran agama, secara khusus ajaran Kristiani di mana gereja punya peranan sosial yang krusial.

Pertanyaannya kini, sejauh mana keberagaman agama itu mampu menjelaskan keberagaman gender dalam konteks NTT dan Indonesia?

Kenyataan Pahit Keberagaman Gender di NTT

Akhir-akhir ini keberagaman gender telah menjadi topik yang mendapat perhatian masyarakat umum dan kalangan-kalangan tertentu. Berbagai kajian dilakukan terhadap topik tersebut. Salah satu yang dikenal luas ialah teori SOGIESC yakni Sexual Orientation, Gender Identity, Expression, dan Sex Characteristic untuk memetakan perihal keberagaman gender.

Teori ini bisa menjadi panduan memahami apa yang sedang dialami atau terjadi dalam diri seseorang berkaitan dengan gender yang beragam. Meski sudah terkenal luas, teori itu masih menjadi suatu hal baru bagi masyarakat di NTT. Termasuk saya yang telah mengetahui keberagaman orientasi seksual melalui buku Tabula Rasa dahulu.

Kurangnya pengetahuan akan SOGIESC sangat mungkin mendorong terjadinya perilaku destruktif. Karena “terlihat” berbeda dari standar umum gender yang ada di masyarakat biasa mengalami respons yang tidak mengenakkan dari orang-orang sekalipun dibalut dalam candaan.

Di NTT terlebih di Alor, tempat kelahiran saya, budaya patriarki membentuk peran gender heteronormatif yakni pembedaan laki-laki dan perempuan yang masih mengakar kuat. Perempuan diidentikkan dengan alat kelamin vulva-vagina dan disematkan tuntutan tinggal dan bekerja dalam ranah domestik.

Sementara itu, lelaki diasosiasikan dengan alat kelamin berupa penis dan bekerja di ranah publik. Secara ekspresi pun dibatasi dengan ketentuan yang sudah pakem di masyarakat. Perempuan dihubungkan dengan feminitas yang dianggap lemah, sementara laki-laki dengan maskulinitas yang dianggap kuat dan superior dibanding perempuan.

Hal-hal di atas mengarah pada persoalan seputar keberagaman gender di Alor-NTT. Seorang laki-laki yang feminin dengan mudah dilabeli “bencong” sementara perempuan yang maskulin langsung dilabeli “tomboy”, dengan pemaknaan cenderung negatif.

Tidak jarang didikan orang tua menjadi keras hanya untuk mengikuti standar masyarakat agar tak terlihat berbeda sedari kecil. Demikian pula ketika mereka malah yang menjadi contoh sikap intoleransi terhadap keberagaman.

Ketidaktahuan ini pada akhirnya bisa membawa pada tindakan buruk yang lebih besar, yakni menutup ruang untuk memandang martabat seseorang sebagai manusia.

Kelompok minoritas termasuk gender menjadi sering dan mudah dijadikan kambing hitam atas berbagai persoalan yang terjadi. Entah bencana alam, bencana sosial, atau terhadap hal yang dianggap kutukan bagi masyarakat.

Hal ini belum bisa diperbandingkan dengan kesediaan masyarakat untuk membuka diri dan belajar tentang gender dan segala permasalahannya.

BACA JUGA  Literasi Digital Perempuan; Manifesto Pemberdayaan

Agama, Bagaimana Bersikap Inklusif?

Agama Kristen yang saya tahu, dibangun dalam narasi-narasi kekerasan yang tidak sedikit jumlahnya. Alkitab sebagai sumber utama ajaran agama ini memuat begitu banyak kisah yang memberikan kesan mengerikan seperti perang, pembunuhan, dan seterusnya.

Oleh karena itu, penting untuk memiliki pengetahuan dalam membaca dan menafsirkan kisah-kisah tersebut dengan memperhatikan konteks masa kini termasuk persoalan-persoalan sosialnya. Agama dan gereja akan menjadi destruktif bila tidak menyertakan konteks masa kini dalam refleksinya.

Pertama-tama, konteks Alor-NTT dengan gender normatif. Persoalan seperti kekerasan fisik, seksual, psikologi, ekonomi, stigma, dan seterusnya masih menghiasi hari-hari. Hal ini membuktikan masih ada sekian banyak pekerjaan rumah untuk sampai pada pemahaman akan keberagaman gender sebagai suatu kenyataan yang harus diterima dan dirangkul dalam kehidupan.

Berangkat dari situasi tersebut, agama dan gereja sesungguhnya memiliki peranan mengembangkan ajaran dan penafsiran yang kontekstual nan inklusif. Hal ini bisa diupayakan dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap teks-teks Alkitab sebagai sumber ajaran. Salah satu contohnya dengan menggunakan pendekatan gender dan perempuan (misalnya feminist hermeneutics atau womanist hermeneutics) untuk menyertakan pengalaman gender minoritas.

Tafsiran yang menyatakan perempuan hanya sebatas di ranah domestik karena pembacaan yang harfiah misalnya dapat dibaca ulang dengan memperhatikan lapisan-lapisan yang lebih kompleks dalam teks serta relevansinya dengan konteks masa kini.

Sebut saja seperti yang dilakukan Susan E. Hylen dalam tulisan Public and Private Space and Action in the Early Roman Period. Tercantum penjelasan ranah domestik dan publik pada masa konteks sosial yang terjadi dalam kisah-kisah Alkitab terutama bagian Perjanjian Baru dahulu. Oleh pembaca zaman modern pengertiannya mengalami pergeseran, terutama ketika memberikan batasan mengenai wilayah publik dan domestik, serta kaitannya dengan gender seseorang.

Tafsiran dengan pendekatan feminis yang banyak menyinggung isu gender dan seksualitas sesungguhnya dapat membangun pemahaman yang inklusif bahkan radikal dalam hal penerimaan akan manusia sebagai makhluk yang setara. Tentu hal ini tidak serta-merta mudah dilakukan, sebab pertama-tama butuh kepekaan dan kepedulian untuk terus berkembang menjadi manusia, apalagi untuk mencapai tahap setara.

Bayangkanlah efek pemahaman dan penerimaan itu. Tak hanya bagi diri saya yang sejak SMP kebingungan saat mengetahui keberagaman gender, termasuk juga teman-teman masyarakat Alor-NTT yang amat perlu untuk diasah empati dan akalnya dalam menjalani kehidupan dengan segala kompleksitasnya. Narasi yang inklusif dan pemahaman mendalam tentang keberagaman sudah tiba waktunya untuk digaungkan terus melalui ajaran-ajaran agama atau kepercayaan.

Esensi Tuhan dalam Keberagaman

Ketika manusia terpapar atau berhadapan dengan keberagaman, baik agama, identitas, sosial budaya, termasuk gender, sesungguhnya hal tersebut mendorong setiap individu untuk memiliki keseimbangan perspektif menyikapi persoalan. Mengupayakannya jangan lagi hanya sebagai mitos atau bahkan sekadar impian, melainkan kenyataan yang perlu diterima manusia era kini untuk menyikapinya dengan bijak.

Konteks masa kini menjadi penting dalam mengusahakan sikap bijak tersebut. Keyakinan bahwa Tuhan itu Esa bagi manusia, menjadi penting dihayati dalam memahami keberagaman.

Salah satu pekerjaan rumah bagi agama dan gereja dalam mengembangkan ajaran dan menjalankan peran sosialnya adalah dengan mengembangkan ajaran melalui penafsiran teks-teks kitab suci (Alkitab bagi agama Kristen) secara inklusif untuk menjangkau sisi kemanusiaan kita.

Bagi saya yang berasal dari Alor-NTT, hal ini mungkin menjadi sulit pada mulanya. Namun, sejatinya kita manusia memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang termasuk memahami dengan akal, untuk kemudian mampu berempati.

Bila saya mau dan akhirnya bisa belajar memahami menggunakan prinsip itu, bagaimana bila teman yang lain juga mau dan bisa mengupayakannya?

Zerah R. W.
Zerah R. W.
Anggota Puan Menulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru