Ketika HTI Merasa Lebih Ngerti Dari Kyai NU
Oleh: Abdul Adzim Irsyad*
Akhir-akhir ini, banyak sekali orang HT (Hizbu Tahrir Indonesia) mengutip pendapat-pendapat tokoh-tokoh NU, seperti; Karya KH Hasyim Asaary, KH Wahid Hasyim. Seolah-olah warga HTI, lebih alim, lebih ngerti dan lebih memahami pikiran Kyai Hasyim Asaary dari pada tokoh-tokoh NU lainnya.
Apalagi, ketika terkait dengan penerapan syariah, maka HT seolah-olah sangat mendalami gagasan dan fikiran serta manhaj keagamaan yang di bangun oleh KH Hasyim Asaary. Barangkali, HTI hanya mengambil sepotong tulisan-tulisan KH Hasyim untuk kepentingan kelompoknya. HT harus membaca juga “Qonun Asasi Jamiyah Nahdhotul Ulama” yang di tulis oleh KH Hasyim Asary.
Sejak sebelum lahir, warga NU sudah di ajari nilai-nilai Awsaja sebagaimana yang di ajarkan oleh KH Hasyim Asaary. Jadi, warga NU tidak kaget jika membaca tulisan-tulisan dari kelompok HT yang mengutip pendapat Kyai Hasyim. Bahkan, ada yang menganggb “lelucon”.
Nah, bagi orang yang kurang picnic, baik piknik literature, maupun piknic ke berbagai Negara jazirah arabiyah, akan merasa bahwa HT yang ada di Indonesia itu hebat sekali. karena bisa memahami fikiran dan karya KH Hasyim Asaary. Apalagi saat menyebutkan beberapa judul karya KH Hasyim Asaary, akan semakin merasa hebat.
Tetapi, bagi warga NU, khususnya kaum santri yang setiap pagi dan sore ngaji Al-Quran dan tafsirnya, hadis dan mustolahnya, fikih dan usulnya, bahkan sudah nglontok (hafal) bahasa Arabnya. Apalagi kalangan Kyai Nahdhotul Ulama yang sudah hafal Al-Quran dan ribuan hadis, serta ratusan kitab-kitab klasif (kitab kuning) telah dibaca, serta mengerti hakekat berbangsa dan beneraga, akan nguyu kekel ketika membaca tulisan anak-anak HT yang semangat agamanya kenceng, tetapi landasan agamanya rapuh.
Santri-santri NU, sudah bisa mengukur sejauh mana kedalaman ilmu anak-anak HT, khususnya yang ada di Indonesia. Ada yang berpendapat, paling-paling anak-anak HT itu belum bisa membaca kitab kuning (gundul), sebagaimana yang di ajarkan para ulama klasik sejak ratusan tahun yang lalu. Ada yang bilang “paling HT yang di Indonesia bisanya copy paste”.
Pemahaman tokoh-tokoh HT, tidak sejalan dengan ulama-ulama islam dunia, baik yang di jazirah Arabiyah, seperti; Arab Saudi, Libanon, Syiria, Mesir, Iraq, Bahrain, Kuwait, Emirat, Tunis, Maroko, Yordania. Bahkan, secara tegas pemerintah di Jaziarah Arabiyah mengusir paham Hizbu Tahrir.
HTI ngtot bahwa mereka adalah “dakwah”. Wong namanya saja “Hizbu” yang artinya “partai” dan Tahrir “pembebasan”. Mestinya, jika berani dan unya nyali, daftar saja sebagai partai politik, sebagaimana parta Perindo milik HT (Harie Tanoe Sudibyo), PKS (Partai Keadilan Sejahtera), Gerindra. Bukan mengatakan “dakwah” tetapi prakteknya berpolitik yang tidak sehat.
Sebuah tulisan yang mengelikan dengan judul “Meletakkan Garis Lurus Terhadap Pandangan Hadratus Syekh Hasyim Asaary” yang di tulis oleh Rifqi. Seolah-olah Kyai Hasyim mendukung khilafah islamiyah yang di usung oleh HT. Tulisan itu mengelitik, orang Jawa nilang “ngilani” bagi kalangan santri. Bagaimana mungkin, Kyai Hasyim Asaary di anggab apresiasi terhadap Khilafah. Kalau menerapkan Syariah, memang itu semua cita-cita Ulam NU dimana-pun berada.
Kalau KH Hasyim di anggab mendukung Khilafah Islamiyah, nanti dulu. Sepulang dari Makkah, KH Hasyim Asaary lebih suka mendirikan Jamiyah Nahdhotul Ulama, sebagaimana KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dari pada mendirikan Khilafah Islamiyah. Sebagai seorang ahli hadis, tentu saja KH Hasyim Asaary memahami teks-teks hadis Rosulullah SAW terkait dengan “Khilafah Islamiyah”.
Rosulullah SAW pernah menyampaikan “Khilafah itu hanya berumur 30 tahun dan setelah itu adalah raja-raja (HR Abdu Dawud). Sebagai seorang ahli hadis, tentu saja KH Hasyim Asaary dan santri-santri NU, sangat faham, mulai kedudukan, kualitas, bahkan latar munculnya hadis tersebut. Namanya, hadis tentu saja disampaikan ketika Rosulullah SAW masih hidup. Sagat menarik sekali, rupanya 30 tahun yang di maksud itu menjadi sangat nyata, ketika masa kekhilfahan Abu Bakar 2 tahun, Umar Ibn Al-Khattab 10 tahun, Usman Ibn Affan 12 tahun, dan Ali Ibn Abi Thalib ra, 6 tahun. Maka, totalnya menjadi 30 tahun.
Dengan demikian, 30 tahun yang dilalui oleh Khulafaur Rosidin telah terjawab. Selanjutnya, Rosulullah SAW mengatakan “kerajaan-kerajaan”. Runtuhnya Khulafaur Rosidin, maka muncullaj kekholifaan Umawiyah, Abbassiyah, Ustmaniyah. Memang benar namanya “Kholifah” tetapi implementasinya adalah “monarki/kerajaan”, buktinya kholifah-kholifah yang ada itu prakteknya sebagai seorang raja yang kadang justru otoriter dan membahayakan para ulama Ahlussunah Waljamaah. Sangat benar pernyataan Rosulullah SAW.
Ketika HT mengklaim bahwa Khilafah itu wajib, sangat mirip dengan Syiah Imamiyah yang iman kepada imam itu hukumnya wajib. Nah, sekarang Abu Bakar Al-Bagdadi telah berikrah bahwa dialah sebagai seorang Kholifah, maka semua wajib mengikuti dan mengakuinya.
Dengan demikian, maka rencana Khilafah Islamiyah di rencanakan sudah di dahului oleh Al-Dais (Daulah Islamiyah Iraq dan syam). Abu Bakar Al-Bagdadi telah mendahulinya, dan mendapatkan tempat di Irak dan Syam. Sementara HT masih sibuk menentukan siapa, dan seperti apa bentuk Khilafah, dan dimana tempatnya.
KH. Hasyim Asaary lebih mengetahui apa yang harus diperbuat di Indonesia, sehingga HT tidak perlu ngajari orang-orang NU, baik dari kalangan Kyai maupun santri yang sejak awal menentukan bahwa NKRI adalah hasil musyarah antara ulama dan umara. Demorkrasi itu sudah menjadi pilihan. Perlu di garis bawahi, HT bisa hidup karena demokrasi, tetapi kok justru mengatakan bahwa demkorasi itu terlarang.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final. Kewajiban warga Negara adalah bagaimana merawat ke bhineikaan yang sudah ada sejak ber abad-abad di Nusantara. Jika belum bisa meneduhkan masyarakat Nusantara, minimal tidak bikin gaduh. NU sudah jelas dan pasti, ikut serta mendirikan NKRI, KH Hasyim berjuang hingga titik darah penghabisan, kemudian melalui Jamiyah NU, ikut serta merawatnya. Begitu juga dengan MU yang jelas-jelas ikut serta mendirikan NKRI.
Jadi, cukuplah NU dan MU, menjadi tolak ukur mencintai NKRI. KH Hasyim dan KH Ahmad Dahlan lebih memilih bentuk negara NKRI, bukan Khilfah yang di impikan oleh HTI hingga saat ini. NU berbasis pesantren, lembaga pendidikan, kesehatan, ekonomi, terus berkompetisi dengan Muhammadiyah untuk memajukan NKRI. Ketika Abu Bakar Al-Bagdadi telah meng-ikrarkan dirinya sebagai seorang Kholfiah di Iraq dan Syam dengan Ibukota Roqo’, maka musnahkan impian HT.
*Penulis adalah kolumnis tetap di Kompasiana.com
Selengkapnya: http://www.kompasiana.com/www.tarbawi.wodrpress.com/ketika-hti-merasa-lebih-ngerti-dari-kyai-nu_592a7e1d8723bdc8218aac9b