31.7 C
Jakarta

Ketika Amarah Eppa’ Tumpah (Bagian XLVII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniKetika Amarah Eppa' Tumpah (Bagian XLVII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Malam ini Eppa’ memanggil Emma’ dengan nada yang tinggi. Nada suaranya tidak seperti biasanya seakan ada sesuatu yang mengusik kepribadiannya.

“Keparat!” kata Eppa’ dengan nada geram dan raut muka yang memerah.

Emma’ membatin: Eppa’ marah!

“Fairuz.” Eppa’ berkata dengan kata yang tercekat. Kemarahannya seakan mencekal mulutnya berbicara.

Fairuz belum terlihat batang hidungnya. Biasanya dia masih mengisi tausyiah di perkumpulan masyarakat di desanya sendiri.

“Kenapa dengan Fairuz?” Emma’ menenangkan Eppa’ dan mendinginkan suasana yang sedang membakar amarah Eppa’. Emma’ menghelus pundak Eppa’. Tapi, amarah itu belum kunjung pudar.

“Fairuz dengar-dengar disakiti hatinya oleh perempuan yang sering ia ceritakan.” Baris kalimat ini sudah menjawab rasa penasaran kenapa Eppa’ marah. Eppa’ tidak mau anak semata wayangnya disakit, apalagi dia tidak salah.

Dimmah tang sade’?, Mana celurit?” pinta Eppa’ dengan bahasa Madura yang kasar.

“Pa’!”

Sade’.”

“Istighfar, Pa’.”

Emma’ menarik tangan Eppa’ yang berdiri dengan amarahnya mencari celurit untuk menemui keluarga Diva.

Sade’.”

Amarah Eppa’ tak dapat dibendung. Dia tidak mempedulikan jeritan Emma’ yang tersungkur mencegah Eppa’ melakukan carok.

“Eppa’ mau carok? Pergi sana! Pergi! Jangan kembali lagi ke sini. Jangan salahkan aku kalo pergi dari sini juga.”

BACA JUGA  Menjaga Toleransi: Refleksi Keberagaman di Bulan Ramadan

Baru kali ini Emma’ berkata lantang seumur-umur. Baru kali ini juga Emma’ berani menantang Eppa’. Mendengar kata-kata Emma’, Eppa’ menghentikan langkahnya seakan amarah yang menyulut emosinya pudar pelan-pelan.

Emma’ meneruskan, “Ingat Fairuz. Fairuz sudah besar. Fairuz sudah menjadi orang terdidik, dipercaya masyarakat, dan sudah menyelesaikan pendidikan sarjana. Fairuz bakal malu melihat orangtuanya melakukan carok, karena masalah sepele.”

“Sepele?” Sanggah Eppa’.

“Ya, sepele. Setiap masalah jangan pikir besar, seakan Eppa’ tak punya Tuhan. Sebesar apapun masalah tetap terlihat kecil bila disandarkan kepada Tuhan.”

Eppa’ tak berani berkata-kata lagi. Kalimat Emma’ telah memadamkan amarah yang menyulut emosinya. Saat itu celurit yang sedang digenggamnya terlepas dengan sendiri. Celurit itu jatuh dan tergeletak di atas lantai.

Seketika Eppa’ meninggalkan Emma’ dan melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu’. Setan yang telah membisikkannya berbuat tindakan bodoh menghindar. Selepas wudhu’ baru sadar setan telah menghasutnya.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Senja Berbalut Rindu” (Dwilogi Novel “Mengintip Senja Berdua”) yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru