Keterasingan Akal dan Hati
Gagasan bahwa Islam agama universal yang melampaui batas ruang, waktu dan sekat-sekat kemanusiaan, akhir-akhir ini dinodai oleh umat Islam sendiri. Sejatinya, klaim universalitas begitu melekat dan menghujam ke dalam jiwa-jiwa pribadi Muslim, masuk ke dalam keyakinan teologis yang melahirkan asumsi dan hipotesa bahwa Islam bisa menjadi solusi atas pelbagai masalah kehidupan, kemanusiaan bahkan keberagamaan. Satu kaidah yang cukup mewakili pemikiran di atas terlihat dalam bunyi: Al-Islâm shâlihun li-kulli zamân wa makân.
Kondisi ini melahirkan pertanyaan fundamental, sebagaimana yang diutarakan oleh Hasan Yusufian dalam Kalâm Jadîd (2014), kebutuhan fundamental manakah yang menggiring manusia ke arah agama? Dan apa fungsi agama bagi kehidupan personal dan sosial manusia?. Dua pertanyaan yang cukup serius, jangan sampai keberagaman kita tidak disertai oleh rasionalitas dan kedewasaan berpikir, alias beragama hanya karena tertarik kepada pembawa agama semata. Idealnya, setiap insan sebelum memilih agama tertentu, harus menemukan alasan dan sebab kebutuhannya terhadap agama itu.
Fakta yang tak terbantahkan adalah bahwa tidak semua Muslim dan Mukmin terlebih dahulu “menimbang kebutuhan” kemudian disusul oleh “pemilihan rasional” atas agama pilihannya. Keberagaman seperti ini, umumnya didasarkan pada taklid buta bukan tahqîq (penelitian). Kecenderungan beragama yang semu inilah melahirkan penganut agama yang radikal dan tekstual. Akhirnya, perbedaan melahirkan azab dan nestapa, bukan menjadi rahmat dan warna-warni alam semesta, yang sering dianalogikakan oleh Jalaluddin Rumi, The light is not different (though) the lamp has become different (cahaya tidaklah berbeda, meskipun lampunya berbeda). Sedangkan John Hick merubahnya out of context menjadi The lamps are different, but the light is the same (lampu adalah berbeda-beda, tetapi cahaya tetap sama/satu).
Permasalahan utama dalam beragama umat Muslim karena sikap peleburan yang kurang mendalam dan keyakinan esensial manusia adalah mahluk sosial dan manusia tidak mungkin lari dari perbedaan. Frans Magnis Suseno dalam Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk (2004) mengistilahkan perbedaan antar-agama dengan: “para pendiri agama seperti Budha, Yesus dan Muhammad mirip seperti orang yang menemukan air di tanah, berakar dalam sungai keilahian mendalam yang mengalir di bawah permukaan dan dari padanya segala ungkapan religiositas manusia hidup.” Apakah penganutnya demikian?, sedikit sekali yang mampu membawa agama beserta sinarnya.
Manusia beragama dewasa ini seperti seorang yang hidup yang tidak merasakan ketenangan dalam beragama dan lebih banyak bingung. Ditambah para pemimpin yang kurang bisa merangkul “lawan”-nya dan yang berbeda dengannya, justifikasi yang diselubungi dengan segudang argumentasi yang dicatut dari teks mati, baik Al-Qur’an maupun hadis, seperti seseorang yang menyiram tanaman. Konsepsi dasar agama berupa sebuah jawaban atas pelbagai kesulitan dan ketidakadilan hidup, lebih jauh lagi sebagai jawaban atas kedukaan-kedukaan sulit ditemukan akhir-akhir ini.
Surbanisme kerap menjadi pemantik para kaum beragama kelas bawah, taklidisme yang disebabkan sinar surban pun terkadang menyilaukan orang-orang yang menginginkan kedewasaan dalam beragama. Indonesia sebelum meninggalkan tahun 2016, menerima kado buruk dari orang yang mengaku beragama tapi tak mencerminkan citra Ilahi dalam dirinya. Ada gambaran dari Paul Tillich dalam The Shaking of Foundation (1948) yang selaras dengan kondisi kita, kemajuan teknologi yang menghilangkan jarak menjadi hal positif, namun di sisi lain aleniasi dan “keterasingan hati” antar satu dengan lainnya semakin bertambah. Bertambahnya jumlah kaum beragama, setelah kaum ateisme bekurang, bukan menjadi solusi jitu, terkadang justru melahirkan ketakutan objek di sekitarnya.
Diperparah dengan munculnya fenomena “keterasingan akal”. Fenomena tentang manusia yang diberikan akal oleh-Nya tapi tidak menggunakannya secara maksimal. Sebagaimana himbauan Ibnu Taimiyah yang mengingatkan orang-orang Mukmin untuk waspada dalam menggunakan logika Yunani. Ini ia tulis dalam bukunya Nasîhat Ahli Al-Îmân fi Al-Raddi ‘ala Mantiqi Yunani (2005). Seruan ini pernah dilontarkan lagi oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Seruan semacam ini bisa menjadi embrio “keterasingan akal” dalam beragama, serba takut terhadap sesuatu yang tidak lahir dari rahim Islam. “Keterasingan akal” dan rasionalitas kering kerap memunculkan fenomena beragama yang kering. Melihat dunia hanya tampak hitam-putih. Komentar nyeleneh, fitnah dan hoax adalah bukti dari “keterasingan akal” dan “keterasingan hati”. Seakan-akan akal dijuluki dengan “bapak keusilan” atau bul fudhuli.
Beragama yang tidak menyertai kesabaran, baik sikap tabayyun atas berita hoax yang beredar, fitnah-fitnah di mana-mana, juga sebagian orang dalam berhadapan dengan penganut agama lainnya bisa menjadi sebab perpecahan dan keterpisahan bahkan barang antik sudah pecah berkeping-keping dan sulit dirajut kembali, kecuali kaum beragama kembali sadar akan pentingnya kedewasaan dalam menyikapi perbedaan. Menarik mencermati pemikiran orientalis dan sejarawan Barat, Will Durant dalam Qishshatu Al-Hadhârah (Vol. 13/2013) menyatakan, “…Adab Islami merupakan gabungan antara taklif syariat dan kebahagiaan. Umat Islam adalah sebuah contoh dari lemah lembut, humanis dan toleran…” Sejatinya, agama bisa membawa kebahagiaan dan kedamaian, bahkan tuntutan pertama Al-Qur’an adalah “tebarkan kelemah lembutan” dalam bersosial dan bermasyarakat.
Syarat kedewasaan dalam beragama adalah menyeimbangkan antara eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Pertama, eksluisivisme merupakan sebuah yang normal, menganggap kebenaran dan keabsahan bahkan keselamatan hanya terdapat pada agamanya. Namun ingat, posisi ini harus lebih tajam ke dalam dibandingkan ke luar. Berkeraslah membuat aturan hukum untuk diri sendiri, sedangkan untuk orang membutuhkan kontekstualisasi dan pemaknaan baru. Kedua, inkluisivisme adalah kewajiban mutlak penganut agama manapun. Syarat kedewasaan beragama adalah inkluisivisme. Tanpa menghilangkan identitas diri ia tetap “welcome” terhadap penganut agama lain. Dan ketiga, pluralisme. Aspek ini lebih menekankan adanya pengakuan pluralitas sebagai sunnatullah di alam raya ini. Secara lahir tak dapat disingkirkan dan dihilangkan di dunia.
Imam Ali bin Abi Thalib pernah bertutur, “Kenakanlah kasih saying terhadap bawahan dan kecintaan pada mereka serta kasih saying bagi semua sebagai pakaian bagi hatimu. Jangan menjadi seperti binatang pemangsa, di mana memakan mereka adalah sangat berharga bagimu. Bawahan terbagi dua: segolongan adalah saudara seagama denganmu dan segolongan lain adalah sama dengan dirimu dalam penciptaan.” Statement ini mengajak siapapun untuk dewasa dalam beragama, menebar welas asih dan menempatkan posisi akhlak di atas segala aturan hokum yang ada. [MR]