Harakatuna.com – Nila setitik rusak susu sebelanga. Peribahasa yang menggambarkan bahwa kesalahan sekecil apa pun punya dampak luas pada citra seseorang/organisasi secara keseluruhan. Itulah yang terjadi saat ini. Karena Gus Miftah seorang, rusaklah citra NU, citra dai moderat, dan citra moderasi beragama secara keseluruhan. Bersamaan dengan itu, maraklah propaganda HTI, propaganda Wahabi, dan semua propaganda anti-moderasi itu sendiri.
Kasus Gus Miftah yang melontarkan ucapan tak pantas terhadap seorang penjual teh, Sonhaji, telah mencoreng citra dirinya sebagai figur publik sekaligus Utusan Khusus Presiden Prabowo di bidang kerukunan beragama. Keteledoran yang dia lakukan memicu gelombang kritik besar, tidak hanya terhadap Gus Miftah, tetapi juga terhadap institusi yang merepresentasikan moderasi Islam di Indonesia.
Ucapan Miftah yang menyebut Sonhaji dengan kata-kata kasar menunjukkan keteledoran yang tak semestinya dilakukan seorang dai yang kerap menggaungkan pesan-pesan toleransi. Meskipun akhirnya dia meminta maaf dan membawa Sonhaji ke panggung rekonsiliasi lewat konser Shalawat & Ngaji Happy di Gesari Banyusari, Magelang, 19 Desember mendatang, semua untuk meredam kemarahan publik dan menyelamatkan karir Miftah itu sendiri.
Padahal, yang lebih memprihatinkan dari kasus tersebut ialah dampaknya yang meluas terhadap citra moderasi beragama secara keseluruhan. Para dai yang mengklaim sebagai representasi Islam yang moderat kini menghadapi eskalasi resistansi masyarakat. Kejadian kemarin memberi amunisi bagi kelompok-kelompok ekstremis untuk melancarkan kritik terhadap wasatiah Islam.
Narasi bahwa ulama moderat “gagal akhlak” dan hanya mencari pengaruh politik semakin marak di media sosial, dengan sejumlah pihak memanfaatkan situasi semacam itu untuk memprovokasi masyarakat agar meninggalkan paham moderat dan condong pada ideologi lain, termasuk Wahabi dan HTI. Faktanya, selama ini, HTI paling getol menolak moderasi beragama dan menganggapnya ajaran sesat. Catat itu!
Bahkan, kiai-kiai dari organisasi Islam besar: NU, yang selama ini menjadi benteng moderasi, ikut kena batunya. Kepercayaan masyarakat terhadap ulama mengalami penurunan, sementara ruang bagi kelompok ideologis-radikal yang anti-moderasi dan anti-toleransi semakin terbuka. Dengan kata lain, keteledoran Gus Miftah tak lagi menjadi kesalahan individu, tetapi pukulan bagi gerakan moderasi Islam secara ekstensif.
Kasus Gus Miftah dan bakul teh itu juga menjadi reminder akan pentingnya tanggung jawab moral para tokoh publik. Dai-dai seperti Gus Miftah memiliki panggung luas untuk menyampaikan pesan-pesan agama. Namun, di tengah rentannya ketegangan sosial, satu kesalahan kecil dapat berdampak pada polarisasi masyarakat. Introspeksi pun jadi PR bersama, tidak hanya oleh Gus Miftah, tetapi juga semua lembaga keagamaan yang mendukung figur-figur seperti dirinya.
Setelah apa yang Gus Miftah lakukan, moderasi beragama di Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Citranya telah rusak: tidak lagi bertaring di masyarakat. Di sisi lain, kelompok-kelompok ideologis yang selama ini memang menentang moderasi beragama semakin punya taring untuk memprovokasi masyarakat, dan semakin mendapat tempat di hati mereka sebagai alternatif keberislaman. Betapa besar mudarat warisan Gus Miftah!
Karenanya, kepercayaan masyarakat yang terkikis terhadap moderasi beragama perlu dipulihkan melalui komitmen nyata, baik dalam ucapan maupun tindakan. Dai-dai dan tokoh agama harus mampu menunjukkan bahwa gagasan moderasi yang mereka bawa benar-benar tercermin dalam perilaku mereka sendiri.
Jika tidak, kita akan terus menyaksikan pergeseran masyarakat ke arah ekstremisme sebagai respons atas kekecewaan terhadap mereka yang seharusnya menjadi teladan. Dan ketika itu terjadi, orang-orang moderat mau menyalahkan siapa? Mereka sendiri yang menjadikan moderasi sebagai bualan tak berarti, oleh perilakunya yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip wasatiah. Citra moderasi beragam dirusak oleh kaum moderat. Ironis.
Keteledoran Gus Miftah memberi pelajaran penting: membangun kepercayaan publik dalam moderasi beragama membutuhkan kerja keras, konsistensi, dan ketulusan. Jika tidak, moderasi beragama akan kehilangan legitimasi di mata umat, dan ruang publik akan menjadi medan pertarungan ideologis yang semakin panas.
Gus Miftah, dan siapa pun yang berada di posisinya, mesti menyadari bahwa tugas mereka adalah menjaga api moderasi tetap menyala, bukan justru meniupnya hingga padam merusak citranya hingga tak tersisa. Kembalikan moderasi beragama ke citra idealnya!