30.1 C
Jakarta
Array

Keteladanan Gus Mus

Artikel Trending

Keteladanan Gus Mus
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di usia sepuhnya, KH.A.Mustofa Bisri (Gus Mus) makin gantheng wajahnya dan makin bening cahaya yang memancar dari wajah itu. Bahkan kulit beliau yang aslinya coklat kini menjadi cenderung kuning-putih. Itu bukan wajah Gus Mus yang kita kenal dalam kebudayaan di bumi. Itu langit. (Emha Ainun Nadjib: 1999)

Dilahirkan di Rembang, 10 Agustus 1944, Gus Mus  istiqomah mengasuh santri-santrinya di pesantren Raudlatut Thalibien Rembang. Meskipun begitu Gus Mus tetap bisa menjumpai santri-santrinya di luar kota, dengan berbagai artikel, kolom, puisi, cerpen yang tersebar di berbagai media yang ada.

“Mata Air” Keteladanan

GUS Mus merasa heran, betapa ceramah, pengajian, kajian rutin ada di mana-mana; tetapi akhlak dan mental anak bangsa kita sulit berubah. Apakah ini merupakan salah dari para kyai-ulama, ustadz, atau mubalighnya? Atau materi kajiannya? Atau sistem metodologinya? Atau kesalahan yang lain?

Tapi menurut Gus Mus, tidak berubahnya sikap mental yang baik dan maju bangsa ini karena tidak adanya keteladanan dari para imam atau pimpinannya. Nabi Muhammad saw. mengajak kita salat sebagaimana ia telah melakukan salat. “Shallu kama raaintumuni usolli”. Artinya, Nabi saw sudah mengerjakan salat terlebih dahulu, baru umatnya diajak untuk salat. Tidak adanya keteladanan inilah yang membuat masyarakat menjadi cuek dan dingin. Tak peduli dengan keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik dengan ajaran-ajaran agama yang dianutnya.

Selama Nabi Muhammad saw menjadi imam salat di masjid hingga akhir hayatnya, tak pernah ada seorang pun yang merasa keberatan atas imamnya. Karena beliau tahu siapa saja jamaah yang mengikutinya. Ada orangtua, anak muda, sampai orang yang sedang sibuk dan lain-lain. Jadi waktu mengerjakan salat jamaah mereka tidak terlalu cepat juga tak terlalu lama, tapi sedang-sedang saja dan bisa diterima jamaahnya.

Menurut Gus Mus, makna yang terdapat di dalamnya ialah untuk menjadi pemimpin terlebih dahulu harus mengetahui orang yang kita pimpin, yang menyangkut segala macam hajat hidupnya. Jangan disesuaikan dengan nalar sepihak darinya. Tidak nyambung! “Pemimpin jangan cuma modal menempel fotonya di pohon-pohon saja, tanpa terjun langsung membaur dengan masyarakatnya.” ungkap Gus Mus.

Intinya, kalau ingin jadi pemimpin itu setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, mengenal dan memahami karakter orang. Kedua, memanusiakan dan menghormati manusia lainnya. Ini merupakan sebuah pengabdian yang penuh keikhlasan kalau kita benar-benar ingin jadi pemimpin yang meneladani sifat Rasulullah saw.

Ikhtiar selanjutnya Gus Mus membuat sebuah komunitas “MataAir” sebuah komunitas yang merindukan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang diwariskan Kanjeng Nabi Muhammad SAW di mana nilai-nilai tersebut bersumber dari “mata air” ajaran Kanjeng Nabi yang “jernih” dan belum terkontaminasi limbah peradaban modern.

Islam yang damai, toleran dengan pemeluk agama lain, yang lama sudah diterapkan di Nusantara ini tidak diberitakan dengan baik dan berimbang. Sehingga orang Barat ketakutan dengan Islam.

Gus Mus  ingin mengajak seluruh anak cucu adam –tanpa sekat agama dan budaya- untuk melepas “dahaga spiritual”nya dengan meneguk kejernihan ajaran, nasihat dan teladan Kanjeng Nabi Muhammad SAW serta para ulama salaf langsung dari sumber aslinya, langsung dari “mata air”.

“Air Mata” untuk Bangsa

Di Jakarta akhir Mei 2015, Gus Mus teteskan air mata di hadapan puluhan wartawan asing yang tergabung ke dalam Jakarta Foreign Correspondent (JFC). Gus Mus prihatin atas pemberitaan yang tidak seimbang tentang Islam di media Barat, tentang radikalisme yang ada di negeri ini. Islam yang damai, toleran dengan pemeluk agama lain, yang lama sudah diterapkan di Nusantara ini tidak diberitakan dengan baik dan berimbang. Sehingga orang Barat ketakutan dengan Islam. Sebuah tetesan air mata untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tidak banyak Kyai yang peduli dengan isu-isu global seperti Gus Mus ini. Gus Mus prihatin dan berpikir keras bagaimana bisa menghalau hal-hal yang menghambat dakwah Islam ala Walisongo di Nusantara ini.

Pada Muktamar ke-33 Nadlatul Ulama (NU) di Jombang, Gus Mus meneteskan air mata. Muktamar dengan tema; “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Kecintaannya kepada NU dan Nadliyyin sungguh sangat luar biasa. Tangisannya tulus atas keprihatinan hilangnya etika atau akhlakul karimah yang pernah dicontohkan K.H Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan para pendiri NU lainnya.

Logika sederhananya, kalau muktamirin yang santri saja tidak bisa menjaga tata krama kesantrian dan ke-NU-an, bagaimana dengan anak bangsa lainnya yang tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren? Ta’dzim kepada Kyai dan Ulama adalah pondasi utama. Wallahua’lam

*Arief Fauzi Marzuki, Alumnus Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru