25.9 C
Jakarta

Kesiapsiagaan Pesantren dan Sekolah Memasuki Fase “New Normal”

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanKesiapsiagaan Pesantren dan Sekolah Memasuki Fase "New Normal"
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Basis-basis pendidikan di Indonesia mulai dari sekolah, universitas, hingga pondok pesantren di tengah wabah corona (Covid-19) tidak hanya mereformasi ulang sistem pembelajaran yang telah ada. Namun juga harus memulai kembali dengan berbagai skenario terbaru dan juga dipaksa untuk beradaptasi. Jika skenario kenormalan baru (new normal) benar-benar diberlakukan oleh pemerintah, dampaknya tidak hanya terjadi di ranah pendidikan formal seperti sekolah negeri dan perguruan tinggi, tetapi juga pendidikan di pesantren.

Posisi pendidikan di pesantren sebagai lembaga non-formal dan klasikal memang harus diperhatikan oleh pemerintah terutama di masa pandemi corona seperti sekarang ini. Sebab kontribusi pesantren dalam bingkai pembangunan bangsa dan negara tidak bisa dinilai dengan angka. Amin Haedari dkk (2004) menggarisbawahi bahwa pesantren merupakan laboratorium sosial kemasyarakatan. Selain untuk memperdalam dan memperkuat pendidikan agama untuk anak, pesantren juga mempunyai misi untuk melatih anak agar hidup mandiri dan mampu bersosialisasi dengan lingkungan dengan baik sebagai bekal untuk hidup di masyarakat.

Terbukti, pesantren mampu melahirkan banyak tokoh nasional dan figur publik. Misalnya Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Salahuddin Wahid, Nurcholish Madjid, Mustofa Bisri, Said Aqil Siradj, dan masih banyak lagi. Secara kualitas, mereka sudah terbukti menjadi suri tauladan. Bahkan ketika mereka sudah meninggal, pemikirannya terus digali. Belum lagi sumbangsih pondok pesantren di berbagai daerah yang tidak bisa direkam dan diketahui publik.

Dari segi kuantitas, jumlah pesantren di Indonesia kini mencapai 28.000 dengan santri/murid hingga 4 juta orang. Jumlah pesantren tersebut tergolong sangat tinggi dibandingkan pada 1998 yang hanya mencapai 8.000 pesantren (Wahid, 2014).

Sangat Berbeda

Mafhum diketahui bahwa pendidikan berbasis pesantren sangat berbeda dengan pendidikan non-pesantren. Ciri khas pembelajaran pesantren adalah mengamalkan sistem integrasi yang di antaranya adalah intelektual, emosional, dan spiritual. Dalam hal proses pembelajaran, pesantren menerapkan suri tauladan yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk belajar dan menetap selama 24 jam, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Hingga kini, pesantren masih eksis dengan budaya tersebut.

Model pendidikan pesantren bisa dimaknai sebagai model pendidikan yang mengedepankan pendidikan karakter. Pemahaman terhadap agama, moral-etika, dan etos kerja, menjadi basis keunggulan pesantren. Anak-anak digenjot dengan berbagai pengetahuan sebagai bekal hidup ke depan. Penanaman karakter atau akhlak terhadap para santri memang menjadi prioritas agar bisa menjadi fondasi sekaligus pilar yang kokoh jika para santri sudah keluar dari pondok.

Dengan demikian, pendidikan karakter atau akhlak di pesantren tidak hanya sebagai pelengkap belaka namun justru menjadi salah satu modal bagi santri untuk tetap kokoh dalam kepribadian di tengah keragaman persoalan dan tantangan kehidupan.

Kondisi di atas memberikan gambaran objektif bagaimana keunggulan pesantren. Namun, kondisi pendidikan yang dihadapi pesantren saat ini tidak bisa eksis seperti semula. Sejak wabah corona merebak, hampir seluruh pesantren di Indonesia diliburkan. Secara umum, seluruh aktivitas pesantren juga terhenti total. Kegiatan rutinitas seperti mengaji kitab kuning, hafalan Al-Quran, dan lain sejenisnya juga tidak berjalan dengan maksimal.

BACA JUGA  Ketika Negara Tidak Mau Ikut Campur Soal Agama

Para santri harus pulang ke rumah masing-masing. Ini semua dilakukan guna mendukung pemerintah dalam mengurangi penyebaran wabah virus corona. Namun ketika pendidikan formal “dipaksa” melakukan transformasi pembelajaran dari luring ke daring, justru pesantren seolah dianaktirikan. Hampir tidak ada formulasi kedua yang bisa diaplikasikan untuk tetap melanjutkan proses pembelajaran di pesantren.

Bahkan, hampir tidak ada pembelajaran virtual yang dilakukan di pondok pesantren karena minimnya akses digital. Pemerintah juga hampir tidak memiliki amunisi cadangan untuk merumuskan pembelajaran di pondok pesantren. Memang pesantren-pesantren besar sudah mulai mengadopsi pendidikan modern dengan berbagai fasilitas mutakhir. Hanya saja, dengan kondisi pandemi, pemutakhiran tersebut tidak membantu secara signifikan dalam proses pembelajaran daring. Konsekuensinya, santri terpaksa dipulangkan dan hanya bertahan di rumah tanpa ada aktivitas yang terintegrasi langsung dengan proses pembelajaran di pondok.

Oleh sebab itu, pemerintah tidak boleh berpangku tangan guna menghidupkan kembali aktivitas di pondok pesantren, baik sebelum para santri kembali lagi ke pondok maupun setelah di pondok. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah, terutama Kementerian Agama. Pertama, sebelum para santri kembali, pemerintah harus memastikan setiap pesantren berada di zona hijau. Artinya, pemerintah harus memetakan secara komprehensif dan objektif pesantren mana saja yang masuk zona hijau, kuning, dan zona merah. Hal ini dilakukan untuk memastikan keselamatan para santri. Sehingga, pondok benar-benar steril dari wabah.

Kedua, pemerintah harus mampu menyediakan protokol kesehatan di lingkungan pondok pesantren. Sebagai lembaga yang memiliki ruang lingkup terbatas, protokol kesehatan di pondok pesantren juga harus berbeda dengan protokol kesehatan di sekolah umum. Sebab, aktivitas murid yang menumpuk, serta mobilitas yang terbatas, akan menjadi fenomena yang tidak lazim layaknya di sekolah formal. Dengan proses pembelajaran 24 jam, protokol kesehatan juga harus siap selama 24 jam.

Terkait hal ini, usulan dari Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda sangat komprehensif dan perlu direalisasikan. Ia meminta pemerintah menyediakan layanan kesehatan dan juga bantuan infrastruktur di pesantren untuk menyambut new normal. Misalnya penambahan asrama santri, karena social distancing akan sulit dilaksanakan jika satu kamar masih terisi 30-40 orang.

Akhirnya, pesantren sebagai lembaga tertua di Indonesia memang mau tidak mau harus mengikuti seluruh protokoler yang disiapkan pemerintah. Praktik pelaksanaannya tentu saja tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. Sebab era kenormalan baru akan berbeda dengan apa yang telah dipraktikkan selama ini waktu penerapan menjaga social distancing. Dalam konteks ini, pemerintah sudah menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak yang aman, menggunakan masker, dan mencuci tangan secara rutin dengan hand sanitizer. Tentu saja hal-hal dasar seperti itu tidak boleh terputus jika new normal benar-benar diterapkan, baik di ruang publik maupun di lingkungan pesantren.

Luluk Hamidah, M.Si anggota DPR F-PKB, Ketua LKK PBNU dan Pembina Sekolah Citra Alam Ciganjur

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru