31 C
Jakarta

Kesiapan Spin-Off UUS Perbankan Konvensional

Artikel Trending

KhazanahEkonomi SyariahKesiapan Spin-Off UUS Perbankan Konvensional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kehadiran Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menjadi titik awal keberadaan infrastruktur hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Kemudian, undang-undang tersebut diturunkan ke dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI). Dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), ataupun ke dalam bentuk regulasi lainnya. Sehingga regulasi penyelenggaraan Perbankan Syariah semakin kuat, dan kehadirannya secara norma hukum diakui oleh negara.

Salah satu amanat dari Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang harus mulai dipersiapkan ialah berkaitan dengan spin-off. Yaitu, terkait pemisahan UUS (Unit Usaha Syariah) dari BUK (Bank Umum Konvensional). Hal tersebut, seperti yang tertuang dalam Pasal 68, ayat 1. Yaitu: “Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.

Artinya, UUS sebagai bagian dari Bank Konvensional yang membuka unit syariah, harus memisahkan diri terhadap induknya, setelah memiliki aset 50% melebihi induknya atau pasca 15 tahun diberlakukannya Undang-Undang Perbankan Syariah. Bila Bank Konvensional tidak mengindahkan perintah tersebut, maka izin usaha unit syariahnya akan dicabut. Hal tersebut, seperti yang dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Unit Usaha Syariah, Pasal 43, Ayat 1, yaitu: “BUK yang tidak melakukan pemisahan UUS sebagaimana dimaksud, akan dikenakan pencabutan izin usaha UUS.

Keseriusan Regulator

Berkaitan amanat undang-undang perihal pemisahan UUS dari BUK harus menjadi perhatian serius oleh regulator—baik oleh BI, OJK, ataupun pihak terkait. Karena 15 tahun pasca diundangkannya Undang-Undang Perbankan Syariah, UUS harus sudah berubah menjadi BUS. Artinya, setelah tahun 2023 tidak ada lagi Bank Konvensional yang memiliki unit syariah, dan semua bank syariah yang ada di Indonesia menjadi Bank Umum Syariah.

Adapun bentuk pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah, dilakukan dengan dua cara. Hal tersebut, seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Unit Usaha Syariah, Pasal 41, Ayat 1, yaitu: “Pemisahan UUS dari BUK sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan cara: (a) mendirikan BUS baru; atau (b) mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada BUS yang telah ada.”

Tentu saja, pemisahan UUS dari Bank Konvensional sangat memberatkan induknya. Karena, Bank Konvensional harus merelakan sebagian aset yang dimiliki memisahkan diri. Konsekwensi logis yang akan diterima ialah berkurangnya profitabilitas yang akan diterima oleh Bank Konvensional—baik dari sisi ROE (Return On Equity) ataupun ROA (Return On Assets). Sehingga keuntungan Bank Konvensional yang memimiliki UUS akan turun pasca memisahkan unit syariah yang dimilikinya. Bila proses spin-off dianggap induknya, bisa jadi Bank Konvensional yang memiliki UUS akan beramai-ramai melakukan Judicial Review atau hak uji materi ke MK (Mahkamah Konstitusi), atas Undang-Undang Perbankan Syariah, Pasal 68.

Seandainya hal tersebut terjadi dan MK mengabulkan permintaan yang dilakukan oleh perwakilan ataupun seluruh Bank Konvensional sebagai penggugat, maka keberadaan UUS sebagai unit syariah dari Bank Konvensional akan tetap berjalan. Sehingga impian untuk menguatkan Bank Umum Syariah akan batal. Konsekwensinya ialah, manajemen UUS akan tetap berada di bawah Bank Konvensional. Oleh karena itu, sebelum adanya Judicial Review terhadap Pasal 68 Undang-Undang Perbankan Syariah, regulator—baik BI, OJK, ataupun pihak terkait, harus serius mempersiapkan proses spin-off yang merupakan amanat dari undang-undang.

Bentuk keseriusan pemerintah, dapat dilakukan dengan dua hal. Pertama, memberikan sanksi tegas. Dimana, sanksi tegas diberikan kepada Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, kemudian bank tersebut melakukan prive (pengambilan aset UUS oleh bank induk) ketika aset UUS melebihi atau hampir melebihi induk sebelum dilaksanakannya RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Sehingga, dengan adanya pengambilan prive yang dilakukan oleh bank induk sebagai pemilik UUS, maka bank yang bersangkutan tidak dikenai aturan pemisahan diri yang menyaratkan 50% aset UUS melebihi bank induknya.

Regulator—BI, OJK, ataupun lembaga terkait, tidak terlalu sulit untuk menemukan hal tersebut. Bila ingin mengetahui ketaatan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, maka tinggal dilihat laporan keuangan bulanan yang mereka kirimkan. Bila ada indikasi Bank Konvensional sebagai induk melakukan prive satu ataupun dua bulan menjelang RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), dapat dikatakan bahwa Bank Konvensional yang bersangkutan sedang menghindari regulasi pemisahan diri UUS seperti yang diamanatkan oleh undang-undang.

Bila regulator—BI, OJK, ataupun pihak terkait menemukan hal tersebut, berilah sanksi yang tegas. Sanksi tegas misalnya berbentuk pencabutan izin usaha bagi Bank Konvensional yang telah melakukan hal tersebut berkali-kali. Jika hal tersebut baru satu kali dikerjakan oleh Bank Konvensional, sanksi dapat berupa peringatan tegas saja. Adanya sanksi tegas, supaya menjadi perhatian khusus bagi Bank Konvensional lainnya, sehingga tidak melakukan hal yang sama.

Kedua, mendorong percepatan spin-off. Dimana, spin-off merupakan amanat dari Undang-Undang Perbankan Syariah yang harus dipersiapkan dengan baik oleh 20 UUS yang saat ini statusnya masih sebagai unit syariah dari Bank Konvensional. Pemerintah sebagai regulator harus terus mendorong atau bahkan mendesak agar UUS melakukan persiapan spin-off. Bentuk dorongan yang diberikan oleh pemerintah, misalnya dengan meminta persiapan apa yang telah dilakukan oleh bank yang bersangkutan. Dan kekurangan apa yang masih harus diperbaiki, hingga bahkan tahun berapa akan dilakukan spin-off.

Bila pemerintah sebagai regulator tidak berusaha memberikan dorongan yang kuat terhadap 22 UUS yang ada, maka bank yang bersangkutan akan berleha-leha memenuhi aturan yang diamanatkan oleh perundang-undangan. Sehingga niat untuk memiliki Bank Umum Syariah, sebagai cara untuk meningkatkan pangsa pasar Perbankan Syariah di Indonesia akan sulit terealisasi. Maka dari itu, pemerintah harus serius menangani persiapan spin-off yang sebentar lagi harus berubah dari UUS menjadi BUS.

UUS Harus Buka Komunikasi

UUS sebagai unit syariah milik Bank Konvensional harus mulai mempersiapkan diri. Karena banyak hal yang harus dipersiapkan, terkhusus dari sisi modal setor bagi UUS yang akan menjadi BUS. Oleh karena itu, UUS harus mulai agresif membuka komunikasi dengan orang-orang yang sekiranya mau menjadi pemodal, baik perorangan ataupun institusi. Sehingga persiapan untuk melakukan spin-off, tidak terkendali dengan jumlah modal setor yang harus dimiliki.

Ada dua bentuk komunikasi yang harus dibuka oleh UUS. Pertama, komunikasi dengan ormas-ormas Islam, misalnya Nahdlatul Ulama/NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam/Persis, dan lain sebagainya. Ajaklah ormas-ormas Islam tersebut untuk menjadi pemegang saham dari UUS yang akan melakukan spin-off, atau bahkan dimiliki oleh satu ataupun dua ormas. Sehingga kendala modal setor dari kegiatan spin-off bisa dilakukan oleh UUS yang bersangkutan.

Kedua, komunikasi dengan Perguruan Tinggi Islam, baik negeri ataupun swasta. Perguruan Tinggi Islam di Indonesia sangat banyak. Baik itu, dalam bentuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri/Swasta (PTKIN/PTKIS), atau Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang dimiliki oleh Ormas Islam. Ajaklah Perguruan Tinggi untuk memiliki saham, khususnya saham sebagai modal setor.

Penulis berkeyakinan, bahwa dua bentuk komunikasi yang dibuka oleh UUS jauh-jauh hari, akan menjadi salah satu ikhtiar yang akan mempercepat proses spin-off. Sehingga UUS tidak akan mengalami kesulitan berkaitan dengan permodalan yang wajib disediakan oleh regulasi.

Hamli Syaifullah, SE,Sy., M.Si

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru