Harakatuna.com – Allah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, termasuk fitrah manusia yang diciptakan berpasang-pasangan pula. Dari penciptaan itu, tentu ada persamaan sekaligus perbedaannya. Dari perbedaan ini menyebabkan timbulnya masalah ketimpangan gender yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, terutama yang dialami oleh perempuan. Hal ini tidak hanya terjadi di masa sekarang, namun sudah terjadi sejak zaman pra Islam.
Sebelum datangnya Islam, ada beragam permasalahan yang terjadi terkait kesenjangan gender. Misalnya, perempuan masa itu dianggap sebagai aib keluarga karena merasa tidak bisa produktif, sehingga saat masih bayi dikubur hidup-hidup. Lalu, pihak perempuan dianggap sebagai objek properti laki-laki, membuatnya tidak mendapatkan akses warisan. Karena dianggap objek warisan, saat hidup berstatus janda, perempuan dipaksa untuk nikah dengan saudara laki-laki suaminya ataupun dengan anak tirinya.
Salah satu permasalahan kesetaraan gender yang terjadi di masa sekarang ialah condongnya pihak laki-laki yang memperbesar peluang budaya patriarki dan kurangnya kesempatan ataupun rendahnya minat perempuan untuk bertumbuh dan mengembangkan diri, seperti halnya menyelesaikan pendidikan minimal 12 tahun.
Permasalahan gender yang terjadi menyebabkan diskriminatif, baik pada pihak laki-laki ataupun perempuan. Kesenjangan gender yang ada menjadi kontroversial, sebab ada pihak yang setuju terhadap kesetaraan gender dan ada pula pihak yang masih sulit menerima akan hal itu. Salah satu sebabnya adalah karena kesalahpahaman pada teks ajaran yang bias gender, hal ini dipengaruhi oleh kultur patriarki Islam.
Sebenarnya apa sih kesetaraan gender itu? Menurut Siti Musdah Mulia, kesetaraan gender ialah setiap perempuan dan laki-laki bisa menjadi manusia yang bermartabat seutuhnya dan mereka hanya boleh takut serta bergantung kepada Allah SWT semata. Menurutnya kedua pihak sama-sama mendapatkan kesempatan sebagai manusia menjadi hamba Allah Swt. tanpa memandang dari sisi gender.
Selain itu, dapat membuka kesempatan bagi siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan untuk berperan dalam pembangunan kehidupan manusia tanpa adanya ketimpangan gender pada salah satunya. Prof. Quraish Shihab dalam acara Shihab & Shihab yang tayang di kanal YouTube Najwa Shihab (21/4) berpendapat bahwa perbedaan manusia dari sisi biologis tidak menjadi perbedaan terhadap potensi yang diberikan Allah kepada manusia, namun kesetaraan yang ada menjadikan mereka saling melengkapi dan mereka harus saling bekerja sama untuk mencapai cita-cita yang sama.
Perempuan zaman dulu sering mendapatkan perlakuan diskriminatif sebelum datangnya Islam. Kemudian kehadiran agama terutama Islam memberikan pengaruh terhadap isu-isu yang ada di dunia, termasuk isu sosial terkait kesetaraan gender. Isu tersebut penting sekali untuk dibahas karena seiring berkembangnya zaman, perbincangannya pun semakin meluas yang menyebabkan kesalahpahaman dalam memaknai kesetaraan gender itu sendiri.
Kehadiran Islam juga membantu manusia terbebas dari segala bentuk anarki dan ketidakadilan. Hal ini karena Islam sangat menekankan keadilan disegala aspek kehidupan. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat dijadikan alasan untuk saling melengkapi dalam membangun relasi yang baik.
Dalam Al-Qur’an secara tidak langsung ditemukan banyak ayat yang membahas terkait kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, baik kewajiban maupun memperoleh hak. Kedua pihak berhak mendapatkan penghormatan sebagai manusia. Adanya ketidaksetaraan antara keduanya tidak mengurangi ataupun melebihkan kedudukan satu sama lain. Seperti dalam QS. Ali-Imran ayat 195 berikut:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰىۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ ١٩٥
Fastajâba lahum rabbuhum annî lâ udlî‘u ‘amala ‘âmilim mingkum min dzakarin au untsâ, ba‘dlukum mim ba‘dl, falladzîna hâjarû wa ukhrijû min diyârihim wa ûdzû fî sabîlî wa qâtalû wa qutilû la’ukaffiranna ‘an-hum sayyi’âtihim wa la’udkhilannahum jannâtin tajrî min taḫtihal-an-hâr, tsawâbam min ‘indillâh, wallâhu ‘indahû ḫusnuts-tsawâb
Artinya: “Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka, orang-orang yang berhijrah, diusir dari kampung halamannya, disakiti pada jalan-Ku, berperang, dan terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai pahala dari Allah. Di sisi Allahlah ada pahala yang baik.”
Ayat di atas turun berkenaan dengan aduan Ummu Salamah kepada Rasulullah tentang wanita yang tidak disebut dalam perihal hijrah. Beliau pernah berkata: “Wahai Rasulullah, kami belum pernah mendengar Allah menyebutkan kaum wanita dalam masalah hijrah”, maka turunlah ayat tersebut. Hal ini menandakan bahwa ada kecemburuan pihak perempuan yang merasa diperlakukan secara diskriminatif.
Padahal tertera secara jelas dalam QS. Ali-Imran ayat 195 bahwa Allah memandang sama perbuatan antara laki-laki maupun perempuan, yang membedakannya hanyalah amal saleh yang mereka kerjakan. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal sholeh yang mereka kerjakan dan Allah sudah menjanjikannya berupa menghapus dosa-dosa dan memasukkan mereka ke Surga sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan. Kemudian keterkaitannya dengan ayat sebelumnya pada ayat 194 yakni penepatan janji Allah atas doa-doa yang dipanjatkan oleh orang-orang beriman yang dijawab langsung pada ayat 195.
Dalam tafsir Al-Qurthubi jilid IV halaman 792, Adh-Dhahhak menafsirkan makna dari penggalan kalimat بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ “(karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain” dengan makna bahwa kaum laki-laki dari agamamu adalah sama bentuk ketaatannya dengan kaum wanita, dan kaum wanita dari agamamu juga sama bentuk ketaatannya dengan kaum laki-laki.
Kemudian mengutip pendapat Abu Ja’far dalam Tafsir Ath-Thabari jilid VI halaman 322 ia berkata: Allah Swt. menyatakan dalam ayat tersebut, lalu Tuhan mereka menjawab orang-orang yang memohon kepada-Nya dengan permohonan yang telah digambarkan-Nya, yakni Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku tidak akan mengabaikan amal perbuatan orang yang beramal baik di antara kalian, laki-laki maupun perempuan”.
Penafsiran di atas dapat dipahami bahwa setiap manusia memiliki hak dan kewajibannya masing-masing tanpa condong ke satu gender saja. Apapun yang mereka kerjakan, Allah sudah berjanji dengan tidak menyia-nyiakannya begitu saja dan pasti memberikan balasan sesuai yang mereka dikerjakan.
Lahirnya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan tak luput dari kontribusi tokoh-tokoh yang menekankan pada keadilan sosial. Seperti Khadijah binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah Saw., yang dikenal sebagai sosok perempuan yang memiliki kecerdasan, keahlian dalam bisnis, dan memiliki komitmen kuat terhadap keadilan sosial. Aisyah binti Abu Bakar menjadi sosok inspiratif, terutama bagi pihak perempuan. Ia memiliki kecerdasan daya ingatan yang tajam, karena itu ia meriwayatkan banyak hadits nabi.
Selain itu, ia juga menginspirasi terkait gerakan kesetaraan gender dan inklusi sosial perempuan. Nur Rofi’ah menjadi salah satu sosok aktivis perempuan yang menginspirasi perempuan Indonesia dalam menyuarakan kesetaraan gender dan mengajak kita untuk memahami teks lebih komprehensif terkait gender, sampai mendapatkan makna bagi keduanya. Dari pemaparan diatas, penulis memahami bahwasanya dalam Al-Qur’an menyerukan secara tegas terkait kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Aspek biologis tidak bisa menjadi patokan terhadap kecenderungan salah satu gender, entah kelebihan atau kekurangan. Yang menjadi pembeda antara keduanya yakni tingkat ketakwaan dan keimanannya kepada Allah SWT. Jadikan perbedaan-perbadaan diantara keduanya untuk saling melengkapi, bukan malah menjadi sebab mendiskriminasi salah satu pada kedua belah pihak.
Tidak ada agama manapun yang mengajarkan untuk memperhatikan satu gender saja, tentunya semua agama memuliakan keduanya. Dengan memahami pentingnya akan kesadaran terhadap kesetaraan gender, sudah pasti di dunia ini tidak akan ada kasus-kasus seperti patriarki, stereotipe negatif terhadap perempuan, penindasan, dan sebagainya. Apakah ada penolakan terhadap konsep kesetaraan gender sejak dulu?