Harakatuna.com. Bandung – Untuk mempersamakan persepsi antara pemerintah dengan tokoh masyarakat. Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Barat (Jabar) gelar FGD bertujuan untuk mitigasi tingginya tingkat intoleransi di Indonesia.
Tujuannya untuk mencari masukan agar Jabar tidak lagi menjadi provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia. Sebelumnya, pada November 2019 lalu, Setara Institute mengungkapkan hasil riset yang telah berjalan selama 12 tahun terakhir.
Hasilnya tingkat intoleransi di antara 34 provinsi, tertinggi berada di Jabar. Intoleransi itu terutama dalam hal pelanggaran kebebasan beragama. Kepala Kesbangpol, Jabar Iip Hidayat mengatakan, untuk membangun toleransi dan keragaman menuju Jabar Juara, perlu mencari formulasi agar Jabar tidak lagi dikatakan sebagai provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi.
“Kami ingin memformulasikan hasil dari FGD ini. Sehingga kita bisa mengetahui apa yang harus kita lakukan,” kata Iip usai diskusi di Aula Kesbangpol Jabar Jl Supratman, Kota Bandung, Sabtu (20/2).
Patokan dalam mencari formulasinya, kata Iip, normatif saja. Berpatokan pada Undang -Undang Dasar dan turunan-turunannya. Setelah itu, semuanya itu akan bersinergi dengan pemerintah kota/kabupaten.
“Apa yang terjadi di kabupaten/kota di Jabar ini, bagian penting yang akan kita dalami. Setelah itu kami akan merapatkan, mengkoordinasikan, formulasi tersebut dengan Kesbangpol di daerah,” terangnya.
Menekan Tingkat Intoleransi di Jabar
Menurutnya, Jabar memiliki wilayah yang luas. Apalagi jumlah penduduk yang gemuk. Kendati begitu, jika bicara Jabar tertinggi intoleransinya, belum tentu itu terjadi di 27 kabupaten/kota. “Biasanya hanya di beberapa daerah saja. Hanya nanti kita lihat. Selanjutnya dengan kepala Kesbangpol di daerah,”katanya.
Soal penjelasan Ketua Komisi I DPRD Jabar bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) ring satu keragaman, Iip mengatakan Kesbangpol Jabar ingin komprehensif. “Setelah pertemuan ini nanti akan menghasuilkan rumusan yang pertama mungkin sasaran-sasarannya dulu,” tuturnya.
Yang pertama, lanjut dia, mungkin ASN. Makanya, FGD ini pun melibatkan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Jabar. Yang kedua, jelas Iip lagi, mungkin akan dibuat semacam kurikulum muatan lokal. Apakah itu nantinya dikemas dalam ideologi dan wawasan kebangsaan.
“Yang penting ini ada materi ini. Kan Permendagri dia punya, beberapa tema, intinya adalah itu, nanti dikolaborasikan,” pungkasnya.