27.1 C
Jakarta

Kerusuhan India adalah Bukti Religious-Based Majoritarianism

Artikel Trending

Milenial IslamKerusuhan India adalah Bukti Religious-Based Majoritarianism
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Power tends to corrupt, Kekuatan cenderung jahat-merusak. Mungkin seperti itu ungkapan yang pas ketika mendengar kabar peristiwa pembantaian, kerusuhan, dan segala macam. Apa yang disebut kekuatan, seringkali adalah apa yang menyimpan keburukan. Beberapa kasus kekerasan tidak sedikit dilatarbelakangi oleh apa yang kita sebut sebagai superioritas.

Di Amerika Serikat, Kristen mayoritas. Eropa pun, secara garis besar, juga demikian. Islamfobia pun relatif tinggi, meski faktornya juga tidak melulu soal perioritas, melainkan dikarenakan terorisme yang ramai di Barat. Tetapi semua ini setidaknya menjadi bukti, bahwa yang namanya kekuatan memiliki kecenderungan untuk curang, merasa yang paling berhak.

Di Madura, Kristen minoritas sekali. Islam menjadi agama mayoritas. Bahkan di kalangan internal umat Islam sendiri, NU mayoritas, mendominasi Muhammadiyah. Akibatnya, Kristen utamanya di desa-desa pelosok sama sekali tidak punya ruang interaksi. Kalaupun ada, itu di kota-kota. Muslim pun dikotak-kotak. Di Madura, Islam adalah NU itu sendiri, dan Muhammadiyah dianggap ‘kurang’ islami.

Di India, yang baru-baru ini ramai menjadi pembicaraan internasional, adalah kerusuhan antara Muslim dengan umat Hindu. Lebih dari empat puluh orang tewas, dalam kerusuhan sejak 23 Februari lalu. Usut punya usut, biang keladinya adalah disahkannya UU yang dianggap mendiskreditkan umat Islam. Negeri Taj Mahal itu pun bergolak.

Apa yang kita bersama saksikan dalam peristiwa-peristiwa tersebut jelas bukanlah kekerasan biasa. Bukan kerusuhan biasa. Barangkali di Amerika, terorisme menjadi faktor Islam difobia. Sama dengan UU yang dianggap berperan dalam merusuhkan India. Namun di luar batas konflik kebencian tersebut, terkarungkan yang namanya kemayoritasan berdasarkan agama, alias religious-based majoritarianism.

Apa Itu Religious-Based Majoritarianism?

Kata kuncinya adalah ‘mayoritas’. Letak problemnya ada di kata tersebut. Tetapi problem itu sendiri tidak berada di ruang hampa. Ia terjalin berkelindan dengan mindset merasa lebih kuat, lebih berkuasa, berdasarkan persentase keagamaan di suatu daerah. Yang mayoritas menjadi predator, dan keagamaan adalah sarangnya. Kira-kira seperti itu.

Biasanya, penyakit religious-based majoritarianism ini merupakan sisa-sisa proyeksi kekuasaan di masa lalu di satu sisi, dan doktrin keagamaan itu sendiri di sisi lainnya. Tragedi kerusuhan di India adalah bukti dari religious-based majoritarianism ini. Pelakunya adalah umat Hindu, agama mayoritas di India.  Jika dikatakan nasionalis, jelas hal itu perlu dipertimbangkan.

Label nasionalis Hindu—seperti yang beredar kabar bahwa kerusuhan India dilakukan oleh umat Hindu nasionalis—menjadikan nasionalisme seakan bertentangan dengan persentase keagamaan. Padahal tidak. Nasionalisme segaris dengan kesetaraan, kemanusiaan, dan keagamaan itu sendiri. Siapapun yang nasionalis, pasti toleran-inklusif. Sehingga jika disematkan dengan pelaku kerusuhan, maka nasionalisme menjadi luntur sendiri.

Religious-based majoritarianism menjadi musuh besar dalam setiap negara yang plural. Sebab, di negara plural, kesetaraan menjadi elemen paling niscaya. Prinsip kesetaraan adalah tiadanya dominasi agama tertentu, apapun alasannya, dan seperti apapun ia berkuasa di antara agama-agama lainnya. Tanpanya, kerukunan tak lebih dari sekadar mimpi belaka.

BACA JUGA  Remoderasi Pendidikan di Indonesia

Seperti, Barat tidak lantas boleh mensupremasi Kristen, sebagaimana India seharusnya tidak mensupremasi Hindu dan menindas Islam. Di Indonesia, di mana Islam adalah mayoritas, tidak menjadi legitimasi bahwa ia harus di atas, misal melalui gagasan Indonesia Bersyariah. Semua harus dipotong rata, bahwa di atas konsensus berbangsa: kerukunan adalah yang paling utama.

Oleh karena religious-based majoritarianism adalah musuh besar dari cita kerukunan, maka memeranginya menjadi tugas kita bersama. Tidak hanya di Amerika Serikat. Tidak hanya di India. Tidak hanya di Indonesia. Tetapi semua bangsa. Semuanya harus saling berpangku tangan mewujudkan keteguhan diri dalam kesadaran berbangsa.

Kesadaran Berbangsa Mencegah Kerusuhan

Upaya meneguhkan kesadaran berbangsa, memerangi religious-based majoritarianism, dapat ditempuh melalui banyak cara. Yang jelas, keegoisan beragama harus terlebih dahulu dilampaui. Beragama bukanlah ajang adu mayoritas dan minoritas, dan perbedaan tidak menyulut hasrat memantik kegaduhan. Intinya harus rukun, rukun di dalam keberagaman.

Hanya karena secara keagamaan adalah mayoritas, bukan berarti harus lebih unggul daripada yang lain. Pendiskreditan minoritas keagamaan adalah penyakit kronis yang tidak hanya melawan prinsip nasionalisme, melainkan juga merugikan agama minoritas bersangkutan. Biarkan eksklusivitas agama bergerak di ruang internal agama itu sendiri, tidak melebar terhadap teritorial agama yang lain.

Apa yang kita pahami sebagai kerukunan adalah lawan dari religious-based majoritarianism. Kerukunan adalah manifestasi equal before law, kesetaraan di hadapan hukum. Tentu saja proyeksi kerukunan ini harus terumuskan di dalam undang-undang atau konstitusi. Ia mesti diakomodir oleh negara. Jika tidak, kelak akan lahir stigma, bahwa agama tidak pernah berkontribusi baik terhadap bangsa. Padahal yang demikian jelas keliru.

Demikianlah yang terjadi di India. Kontestasi mayoritas-minoritas masih sangat kentara. Parahnya, negara—dalam hal ini pemerintah—justru campur tangan dalam preseden terburuk itu, bahkan menjadi pemicunya. Sikap sentimentil terhadap keagamaan yang melampaui cita kerukunan, sama halnya dengan mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bangsa.

Jika siapapun yang melakukan demikian harus disebut nasionalis, maka yang rusak adalah nasionalisme itu sendiri. Ia terseret arogansi keagamaan yang dibungkus oleh undang-undang. Padahal, mestinya, keagamaan dibiarkan di ruang privasi, dan kepentingan publik harus melampaui doktrin internalnya, yakni dengan merangkak keluar: memprioritaskan kerukunan.

Bukankah begitu cara menciptakan kerukunan berbangsa? Jika iya, maka harapannya hanya satu: semoga peristiwa seperti di India tidak pernah terjadi lagi. Kuncinya satu: menghindari religious-based majoritarianism.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru