28.2 C
Jakarta
Array

Kerja sama dengan Yahudi, Kenapa Tidak?

Artikel Trending

Kerja sama dengan Yahudi, Kenapa Tidak?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Presiden Keempat Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid pernah berwacana membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Hal ini mendapat reaksi keras dari sebagian masyarakat atau kelompok Islam. Apakah apa yang Gus Dur rencanakan itu bertentangan dengan ajaran Islam?

Kurang lebih delapan kali, Al-Quran menyinggung soal Yahudi. Gambaran umum yang diperoleh adalah kecaman dan gambaran negatif atas sikap-sikap buruk orang Yahudi. Seperti firman Allah swt. dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 82: sesungguhnya kalian pasti akan menemukan orang-orang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.

Sepintas, ayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi merupakan musuh besar kaum Muslimin, tanpa terkecuali. Betulkah begitu? Kalau kita telusuri lebih jauh, peringatan al-Quran itu lebih disebabkan kedengkian dan kebencian orang Yahudi terhadap orang Islam di awal Islam. Mereka sulit menerima kebenaran. Satu kenyataan, hadirnya seorang Nabi yang tidak berasal dari golongan mereka. Hal ini mengakibatkan pengaruh orang Yahudi di kalangan masyarakat Madinah menciut, menjadi sedikit. Dan pendeta-pendeta mereka dikenal suka menerima suap, memakan riba dan masyarakatnya sangat materialistis-individualistis. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama permusuhan itu semata ambisi pribadi atau golongan. [al-Bahrul Muhith, 5: VII; Wawasan al-Quran, 362]

Di ayat lain, Allah menjelaskan, hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (kalian). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa yang di antara kalian menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. (Q.S. al-Maidah: 51)

Para mufassir sepakat bahwa ayat di atas menunjukkan adanya larangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai ‘dewa penolong’, kekasih dan teman senasib-seperjuangan. Tidak boleh menyerahkan urusan kepada mereka. Karena termasuk golognan mereka, yaitu akan masuk neraka. Kalau itu yang dimaksud, tentunya ayat itu mau menjelaskan bahwa hubungan itu khusus dalam urusan keagamaan. Ini jelasm sebab dalam urusan agama dan ideologi ada aturan tersendiri. Lakum dinukum wa liya din (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Bertitik tolak dari pemikiran inilah, maka hubungan dagang dengan non Muslim tidak masuk dalam rangka di atas. [Fakhru ar-Razi, XII, 18; Ruhul Bayan, 407:II; Tanwirul Adzan, 430:I].

Hal itu diperkuat dengan ayat, Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan ttidak mengusir kalian dari nengeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Mumtahanah, 8)

Ibnu al-Arabi menegaskan bahwa al-Quran tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidadk menjalin hubungan kerja sama, lebih-lebih mengambil sikap tidak bersahabat. Bahkan al-Quran sama sekali tidak melarang seorang Muslim untuk berbuat baik dan memberikan sebagian hartannya kepada siapa pun. Selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin dan mengusir dari negeri mereka. Bahkan Nabi dan para sahabat pernah ditegur oleh Allah, karena enggan memberikan bantuan kepada sejumlah ahlul kitab (yahudi dan Nasrani). Kaum muslimin juga diwajibkan memelihara rumah-rumah ibadah para pemeluk agama. Tidak boleh merusak apalagi membakarnya. [Ahkam al-Quran, 1785: IV]

Dari itu, Nabi mempersilakan para sahabat untuk membantu orang kafir. Senyampang untuk mewujudkan kedamaian dan kemaslahatan bersama dan tidak dikhawatirkan adanya penghianatan dari mereka. Nabi sendiri pernah mengirimkan barang-barang dan meminjamkan senjata kepada orang-orang kafir. [Fiqh as-Sirah, 325]

Dengan beberapa paparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa melakukan hubungan dan kereja sama dengan non Muslim (Yahudi dan Nasrani), diabsahkan oleh agama. Selama tidak menyangkut persoalan ideologi dan untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Dalam istilah usul fikih, al-hukmu yadullu ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman. Bahwa hukum itu tergantung illat yang melingkupnya. Begitu pula hubungan dengan Israel. Itu dilakukan dalam rangka untuk membangun perekonomian Indonesia yang selama orde baru ambruk. Kenapa mesti diperselisihkan? Intaha…!

Sumber: Fikih Progresif. 2014. Situbondo: Ibrahimy Press. H. 1169-1171

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru