30.9 C
Jakarta

Kerja Keabadian; Meniti di Antara Hasrat Semu Popularitas dan Niat Baik

Artikel Trending

KhazanahLiterasiKerja Keabadian; Meniti di Antara Hasrat Semu Popularitas dan Niat Baik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah”. Ujar Pramoedya Ananta Toer saat berusaha mengagungkan laku menulis. Sastrawan yang sempat degadang-gadang meraih Penghargaan Nobel Sastra cum tahanan Pulau Buru di masa Orde Baru itu menakhtakan andil menulis melebihi segala apa pun dalam hidupnya. Menulis, baginya, merupakan sebentuk kerja keabadian. Klise, namun sarat makna. Ia bukan hanya sekadar berangkat dari realitas subjektif Pram, namun ada fakta objektif di baliknya. Seorang intelektual, misalnya, namanya muskil dikenal jika enggan menulis. Begitu pun sebaliknya.

Persoalan menulis sebagai bentuk ejawantah kerja keabadian, memantik orang-orang tertarik menulis. Mereka ingin namanya abadi, tak lapuk dilahap zaman yang kian dinamis.  Ikhtiar menuju proses “abadi” pun ditaja. Mereka menaja komunitas-komunitas, bersawala sesuntuk mungkin ihwal dunia literasi, menggalang sejumlah agenda kerja kolektif serupa Taman Baca Masyarakat (TBM) demi kebaikan bersama, dan sejumlah agenda kreatif lainnya.

Menambatkan Tujuan Semula

Melampaui hasrat untuk “dikenal” semata, laku keabadian itu merupakan proses penempaan diri paling subtil menuju pencarian makna hidup. Memaknai hidup melalui jalan sunyi serupa Maulana Jalaluddin Rumi yang menulis puisi, al-Ghazali yang suntuk menulis hingga melahirkan karya moumental, Ayyuha al-Walad, atau bahkan Pramoedya sendiri yang bersetia menulis di pengasingan Pulau Buru dan melahirkan Tetralogi Buru yang masyhur itu.

Demikian tiga sosok “abadi” itu memendarkan inspirasi lewat karya-karyanya. Karya-karya mereka di kemudian hari dijadikan rujukan mengolah iman dan suluh memerdekakan diri.  Melebihi dari sekedar hasrat manusia modern yang dahaga “pengakuan”,  menulis bagi mereka telah menjadi ibadah wajib yang tersublim dalam atmanya. Demikian kita seolah dipaksa mengelih dan berefleksi tentang apa yang sebenarnya melatarbelakangi kita untuk menulis.

Merestorasi dorongan keinginan menulis pada hakikatnya merupakan sebentuk adab memulai menulis. Dengan kata lain, dorongan yang mendasari seseorang untuk menulis mesti ditambatkan pada hakikat semula. Pertanyaan fundamental nan substansial Mengapa kita perlu menulis ? penting untuk segera kita ajukan. Ia akan memantik kita untuk memberikan sejumlah alasan reflektif di balik menulis.

Pertanyaan-pertanyaan itu membikin kita berefleksi. Berdialog dengan diri sendiri secara filosofis. Alasan reflektif itulah yang akan mendedah jalan kita mulai menaja menulis secara substantif. Memanggungkan makna, bukan hanya sekadar eksistensi diri.

Dengan menemukan alasan mendasar nan filosofis, mementingkan laku menulis bukan hanya sekedar mengejar eksistensi temporal untuk diagungkan namanya. Ia akan berusaha melepas jubelan baju “pengakuan” di kediriannya itu. Hasilnya tentu amat beda.  Tulisan tampak bernyawa karena telah melewati pergumulan reflektif atas pencarian hakikat hidup, memiliki ruh yang akan membuat tulisan kita tidak kering dan enak dibaca. Urusan finansial bonus apabila tulisan kita tidak jelek-jelek amat.

Menulis untuk tujuan popularitas, tentu akan memiliki implikasi yang bisa saja menimbulkan gejala-gejala destruktif. Dunia akademik dan ekosistem sastra kita kerap dicederai oleh beberapa kasus plagiasi demi hasrat popularitas itu. Seorang dosen, misalnya, rela mencomot karya akademik orang lain demi gelar profesornya.

BACA JUGA  Mengalami Writer’s Block? Kenali Ciri-ciri dan Tips Mengatasinya!

Di sisi lain, penulis pemula terobsesi nama besar seorang sastrawan. Kemudian dirinya meneguk segala cara. Menduplikasi karya sastra tanpa sedikit pun mengubahnya, dan dimuat media. Kegembiraan seolah tanda berhasil menulis pun dirasa.

Fenomena duplikasi karya jelas merupakan tindak kejahatan intelektual yang banyak menyita perhatian publik.  Ada pihak-pihak yang dirugikan karena hasrat popularitas itu. Mulai dari penulis yang karyanya diplagiasi hingga pembaca yang merasa dibohongi. Mereka melahirkan karya-karya tanpa melewati pergumulan kreatif.  Inilah sebentuk representasi gejala psikologis penulis yang lebih mengutamakan kuantitas dari pada kualitas.

Padahal, mematangkan kualitas merupakan konsepsi yang jauh tak kalah penting. Argumen kuantitas tak selamanya berbanding lurus dengan kreativitas, begitu relevan. Kuantitas bisa saja dihasilkan melalui pelbagai cara, serupa contoh duplikasi karya di atas. Tak jarang kuantitas suatu karya dijadikan tolok ukur popularitas. Semakin banyak menghasilkan karya, semakin dikenal pula oleh kalangan luas.

Di samping itu, orang-orang yang produktif menulis belum tentu hasil tulisannya enak dibaca, baik itu rapi secara gagasan maupun ciamik dalam mengolah diksi. Diksi-diksi klise dan kering seringkali menjebak penulis, khususnya ketika mereka memiliki target khusus harus menghasilkan berapa tulisan, misalnya.

Bukan tak boleh membiarkan diksi klise dirakit dalam sebuah tulisan, hanya saja jika bersungguh mengulik diksi yang jauh lebih trivial serupa metafora dan sinonim maka tulisan dengan sendirinya akan bernyawa dan menghidupi seluruh sistem gagasan yang ditulis.

Dengan demikian, tulisan akan padat dan mudah dicerna. Seluruh kalimat padu. Berjejak meninggalkan kesan amat mendalam di relung pembacanya. Pembaca tak sekadar mengangguk tanda paham, tetapi juga terus menikmati tiap babakan gagasan yang disuguhkan. Di situlah momentum antara penulis dan pembaca seolah bekarib satu sama lain. Membikin tulisan yang ampuh mengakrabkan diri dengan pembaca tentu tak mudah.

Momentum memanggungkan niat baik menulis perlu segera dipendarkan kembali guna membikin tulisan agar terus bernyawa. Niat baik bertaut erat dengan dimensi getaran hati. Di mana seluruh energi positif terinternalisasi dengan baik. Usaha memaknai hidup, merekam peristiwa berharga, mendedikasikan gagasan demi kebaikan bersama, dan membuhulkan ingatan merupakan sebentuk energi positif yang bertaut erat menuju proses abadi tak berpamrih popularitas.

Akhirnya, ketika energi positif dapat dibangun dengan baik, pelbagai usaha positif dan kreatif pun dengan hati yang tulus akan terus dilakukan. Penulis akan lebih bersabar menghargai proses yang begitu lama demi menghasilkan tulisan yang baik. Bersikap inklusif membaca sekian banyak buku tanpa tedeng aling-aling. Bersawala untuk bertukar gagasan dengan orang lain demi menemukan ide-ide baru yang belum tersentuh.

Ikhtiar menghargai proses, bersikap inklusif membaca buku, dan bersawala merupakan entitas yang mendukung kerja-kerja menulis. Tanpa tiga ikhtiar itu, kita akan terjebak pada kesenangan mengejar hasrat semu popularitas yang temporal. Sebaliknya dengan memanggungkan ketiga ikhtiar di atas, menulis akan menjadi laku keabadian yang berkeadaban dan adiluhung. Semoga.

Muhammad Ghufron
Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Komunitas Lensa Sosio-Agama. Tinggal di Bantul, DI Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru