28 C
Jakarta

Keraton Fiktif dan Nalar Kita

Artikel Trending

KhazanahOpiniKeraton Fiktif dan Nalar Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan oleh kemunculan kerajaan-kerajaan fiktif. Mulai dari Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Sunda Empire di Bandung, Kesultanan Seleco di Tasikmalaya, dan King of The King di Tangerang yang klaim punya kekeyaan USD 60 miliar, atau setara 60.000 triliyun rupiah. Keraton Agung Sejagat didirikan oleh Toto Santoso (TS) dan Fanni Aminadia (FA). Mereka berdua memprokamasikan berdirinya kerajaan Keraton Agung Sejagat dan bertindak sebagai “raja” dan “ratu”.

TS bertindak sebagai raja dengan sebutan Sinuwun, sementara FA dipanggil Kanjeng Ratu Dyah Gitarja. Berdandan dengan atribut laiknya raja dan ratu kerajaan di bangunan yang didesain layaknya keraton, TS dan FA berhasil menarik ratusan pengikut yang rela membayar uang pendaftaran jutaan rupiah untuk menjadi anggota pengikut Keraton Agung Sejagat.

Mereka mengklaim, Keraton Agung Sejagat adalah bagian dari kekaisaran dunia yang muncul sebagai konsekuensi telah berakhirnya perjanjian 500 tahun yang lalu antara Majapahit dan Portugis. Konon, perjanjian pada tahun 1518 itu diteken oleh penguasa Majapahit, Prabhu Natha Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, dengan Portugis sebagai wakil orang Barat.

Pondasi Keraton: Kisah Masa Silam

Joyodiningrat menyampaikan berakhirnya perjanjian tahun lalu menandakan berakhirnya dominasi Barat, yang dipimpin Amerika Serikat, dalam mengontrol dunia. Ia mengatakan, kekuasaan tertinggi harus dikembalikan ke pemiliknya, penerus Majapahit, yang tidak lain adalah Keraton Agung Sejagat (Tempo, 17/1/2020).

Para pengikut Keraton Agung Sejagat diberi iming-iming mendapatkan jabatan dengan gaji besar dalam bentuk dolar. Jabatan yang mereka dapat, konon bergantung pada besarnya iuran yang mereka berikan, mulai dari 3 juta hingga 30 juta. Belakangan, diketahui bahwa hasil iuran anggota tersebut digunakan untuk membuat berbagai atribut seperti seragam, berbagai atribut dan pernak pernik kerajaan.

Sebelum mendirikan Keraton Agung Sejagat, selama 2016-2017, TS ternyata diketahui pernah membentuk organisasi Jogja Development Committee (Jogja DEC). Anggotanya dijanjikan akan mendapatkan uang 100-200 dolar AS per bulan, namun itu tak pernah terwujud hingga banyak yang keluar. Selama bertindak sebagai “raja” Keraton Agung Sejagat, TS mengeluarkan titah yang harus dipatuhi para pengikutnya.

Di antaranya adalah kewajiban menyerahkan setoran uang dari 3 juta rupiah hingga 30 juta rupiah, hingga aturan mengikuti kirab kuda. Mereka yang tidak mau patuh dengan berbagai titah tersebut dianggap sebagai pembangkang atau teroris, dan bahkan akan mendapatkan malapetaka. Sebaliknya, mereka yang patuh dan taat dijanjikan akan terbebas dari malapetaka dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik (Detik, 16/1/2020).

Kemunculan Keraton Agung Sejagat kemudian mulai meresahkan masyarakat. Akhirnya, pada Selasa (13/1/2020), TS dan FA ditangkap Polres Purworejo dan Polda Jawa Tengah di rumah yang mereka anggap istana mereka. Polisi juga memeriksa pengikut yang diberikan jabatan seperti mahapatih, bendahara dan resi keraton.

BACA JUGA  Manifesto Perbedaan Hari Raya Idulfitri, Masih Perlukah Penetapan?

Malam itu, sang “raja” dan “ratu” Keraton Agung Sejagat ditetapkan sebagai tersangka. Mereka disangkakan pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran serta pasal 378 KUHP tentang penipuan (Tirto, 17/1/2020).

Nalar Kritis dan Mentalitas Instan

Melihat fenomena tersebut, kita tersadar betapa pentingnya merawat sikap kritis dalam diri kita. Terjerumusnya orang-orang menjadi korban penipuan bermodus kerajaan, sekte, dan lain sebagainya, membuktikan bahwa masih banyak orang-orang yang mudah percaya dengan hal-hal yang sebenarnya tak bisa dinalar.

Dengan iming-iming gaji besar dan kehidupan lebih baik, orang-orang terjerumus dalam pemahaman semu yang menafikan akal dan nalar rasional. Sehingga dengan rela membayar sejumlah uang, bahkan rela melakukan berbagai prosesi. Di samping itu, secara kultural, masyarakat kita memiliki imajinasi historis kejayaan kerajaan di masa lalu. Sehingga ketika mendengar narasi tentang kerajaan menjadi relatif mudah diterima.

Seperti keterangan Kapolda Jateng, Irjen Pol Ryco Amelda Daniel, dalam kasus Keraton Agung Sejagat, TS memengaruhi calon anggotanya dengan paham akan bebas dari malapetaka jika bergabung. Untuk meyakinkan mereka, TS menggunakan kartu identitas yang diklaimnya berasal dari PBB (United Nation) agar ia dianggap benar-benar punya kredibilitas dan berkuasa seperti seorang raja sungguhan.

Belakangan, kepolisian telah menetapkan jika simbol-simbol yang dipakai di Keraton Agung Sejagat di Puworejo tersebut palsu belaka (Tribunnews, 16/1/2020).

Keraton dalam Luapan Emosi

Mudahnya orang percaya pada hal-hal semu juga bisa terjadi ketika seseorang sudah dikuasi secara emosi, sehingga nalarnya lumpuh. Dikabarkan, Raja Keraton Agung cenderung ‘melebih-lebihkan’ ketika melakukan persuasi kepada calon pengikut. Meskipun ungkapannya tak masuk akal, namun jika sudah menyentuh emosi, mereka yang kurang kritis dan dalam himpitan kesulitan hidup cenderung akan mudah percaya.

Menurut Ega Anastasia (2020), aspek emosi tersebut kemungkinan menjadi kunci lumpuhnya nalar sehingga orang enggan memeriksa data (kritis). Idealnya, dalam pemikiran seseorang, nalar dan data bekerja sinergis: nalar memeriksa data, dan data memperkuat nalar. Proses ini akan sulit terjadi ketika emosi mengambil alih kendali.

Kasus tersebut juga memberi kita pelajaran agar tidak terjerumus dalam cara berpikir instan untuk meraih kekayaan. Gaji besar, pangkat, jabatan, dan kehidupan yang lebih baik, tentu tak bisa didapatkan dalam sekejap mata atau hanya dengan menjadi pengikut perkumpulan tertentu. Semua itu harus diusahakan dalam proses yang seringkali tak sebentar.

Di era digital yang penuh sesak oleh berbagai macam informasi saat ini, setiap orang mesti bisa memelihara sikap kritis dan nalar sehat agar lebih waspada dan tak terjerumus pemahaman-pemahaman semu yang kerap berujung penipuan. Kita juga mesti bisa membangun kesadaran agar tidak gampang berpikir instan yang sering membawa seseorang pada penyesalan.

Al Mahfud
Al Mahfud
Penikmat buku, penulis lepas, Aktif menulis topik-topik radikalisme-terorisme, Alumni IAIN Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru