26.1 C
Jakarta

Kepentingan AS dalam Negoisasi Ulang Nuklir Iran

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahKepentingan AS dalam Negoisasi Ulang Nuklir Iran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran. Kesepakatan ini muncul untuk mengakhiri perselisihan geopolitik dan sanksi terhadap Iran. Penandatangan berlangsung di Wina, Austria pada tahun 2015 oleh Iran dan segenap kekuatan dunia yaitu AS, Inggris, Prancis, China, Russia, dan Jerman (P5+1). Namun pada tahun 2018, mantan Presiden AS Donald Trump menarik secara sepihak AS dari perjanjian itu dan mengarahkan situasi kembali ke titik awal.

Pada tahun 2021, per bulan April sampai sekarang, Iran dan P5+1 sekarang kembali berdialog, mencari cara untuk memperbaiki kerusakan hubungan dan tampaknya jalan menuju kesana terlihat lebih sulit  daripada sebelumnya. Selama beberapa tahun terakhir, Trump menekan Iran yang kadang-kadang hampir menyebabkan konflik militer dan juga merusak kepresidenan Hassan Rouhani di Teheran, seseorang moderat yang berhasil menggalang bantuan kaum konservatif dan Ayatollah. Pada akhirnya, pemerintahan Iran memilih berdialog dan tercapainya perjanjian JCPOA. Program nuklir ini merupakan yang pertama di bawah regulasi dan pengawasan internasional.

Sekarang, Iran, di bawah pemerintahan baru Presiden Ebrahim Raisi, telah menyerukan penghapusan sanksi dan kembali ke ketentuan yang diterapkan pada tahun 2015. Menurut diplomat Eropa, pada kenyataannya Iran mempercepat pengembangan program nuklirnya. Sementara dunia bersatu untuk mewujudkan JCPOA. China yang memiliki hubungan strategis dengan Iran dan dipandang sebagai penyuplai utama terhadap respon peningkatan rivalitas AS-China, mengungkapkan rasa frustrasi atas Iran di dalam negosiasi ini.

JCPOA dipandang sebagai faktor penting untuk mencapai keamanan yang stabil di Timur Tengah. Trump mengawasi penandatanganan Abraham Accord yang dipimpin oleh UEA dan resmi menjalin hubungan dengan Israel, menghalangi permusuhan Arab-Israel selama beberapa dekade. Namun, sebaliknya, pemerintahan Trump untuk mengisolasi Iran dan jauh dari kata memperbaiki lubang geopolitik Timur Tengah. Keterlibatan Iran pada perang di Yaman dan Suriah, posisi Hizbullah di Lebanon dan posisi Hamas di sekitar Palestina, dipandang sebagai penghalang jalan utama oleh negara-negara Arab dan Israel. Faktanya, baik Israel dan Iran telah berada dalam konflik untuk beberapa waktu. Kemampuan ekspansif Israel menargetkan aset Iran, khususnya yang berkaitan dengan program nuklirnya.

Pencabutan Sanksi Adalah Syarat Mutlak

Sejak penarikan AS dari JCPOA pada 2018, ada sejumlah perkembangan situasi domestik Iran dan agenda nuklirnya. Penerapan kembali sanksi telah melumpuhkan ekonomi negara, meningkatkan tingkat inflasi, dan mendepresiasi mata uang nasional Iran ke nilai terendah terhadap dolar AS. Selain itu, pandemi Covid-19 telah mendorong ekonomi Iran ke dalam resesi yang dalam. Namun, terlepas dari tantangan itu, Iran secara terbuka memamerkan pembangkangannya dengan melanggar ketentuan JCPOA. Para pemimpin Iran dengan sengaja mengizinkan IAEA (International Atomic Energy Agency) untuk mengkonfirmasi pelanggaran ini. Di satu sisi, Iran berusaha untuk membenarkan tindakannya kepada komunitas global dengan meminta pertanggungjawaban AS atas situasi yang sedang berlangsung.

Pembicaraan perjanjian nuklir telah memasuki putaran ke-enam yang dilakukan melalui mediator Eropa antara April dan Juni tahun ini. Pembicaraan tidak langsung ini gagal memecah kebuntuan antara kedua negara. Negosiasi berhenti sejenak dengan terpilihnya Ebrahim Raisi sebagai presiden baru Iran. Sementara itu, Raisi telah menyatakan dukungannya untuk kembali ke perjanjian. Ia telah memperjelas ketidakpercayaannya pada Barat. Iran menuntut agar semua sanksi AS terhadap Iran dicabut, jika tidak, maka Iran akan kembali meningkatkan aktivitas nuklirnya. Sementara itu, pemerintahan Biden mengatakan hanya akan mencabut sanksi jika Iran kembali ke perjanjian JCPOA terlebih dahulu. Hingga sekarang, Iran mengumumkan bahwa pengayaan uranium telah mencapai 60%, jauh dari kesepakatan yaitu hanya 3,67%.

Selain sanksi ekonomi harus dicabut, ada beberapa alasan kesepakatan ini berjalan melambat, yaitu masuknya pembatasan program rudal balistik Iran dan hubungannya dengan proksi di kawasan. AS menerapkan kembali sanksi setelah menarik diri dari kesepakatan, sehingga Iran harus menerima kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan oleh sanksi AS. Ketika AS bergabung kembali dengan kesepakatan ini, para pihak wajib mematuhi semua ketentuan perjanjian yang sudah tertulis sebelumnya. Iran menuntut pertanggungjawaban atas keterlibatan AS dalam pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani dan ilmuwan nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh. Selain itu, Israel bekerja sama dengan AS menyerang pusat pusat nuklir di Iran.

Pada saat itu, ketika Obama menegosiasikan kesepakatan nuklir dengan Iran, Israel menunda pembunuhan yang menargetkan ilmuwan nuklir Iran karena khawatir akan merusak tujuan utama kebijakan luar negeri AS. Namun, pada tahun 2021, Israel membabi buta dan menolak segala kesepakatan mengenai nuklir Iran. Pada tahun 2015, kesepakatan nuklir Iran lebih mengarah kepada perlakuan AS terhadap Iran. Namun, pada tahun 2021, kesepakatan nuklir Iran lebih mengarah kepada perlakuan AS terhadap Israel. Dan jawaban atas pertanyaan terakhir ini memiliki dampak yang besar pada masa depan Timur Tengah.

Pada akhirnya, pencabutan sanksi adalah syarat mutlak untuk AS dalam kesepakatan nuklir ini. Jika tidak dipenuhi, Iran akan terus memperkaya uraniumnya. AS telah keluar dari kesepakatan nuklir yang sudah disepakati oleh negara-negara kekuatan dunia dan memberikan sanksi kepada Iran. Iran telah sedemikian rupa mematuhi kesepakatan tersebut, namun AS memilih untuk menerapkan sanksi yang lebih berat dengan dalih perkara rudal balistik belum dimasukkan ke dalam kesepakatan. AS berpendapat bahwa rudal balistik merupakan ancaman yang sangat nyata bagi negara-negara di kawasan, khususnya Israel. AS keluar dari kesepakatan ini untuk menjaga kepentingan Israel di kawasan, sehingga membuat Iran tertekan.

Kepentingan AS Di Kawasan

Pada tahun 2015, AS menyetujui keringanan sanksi sebagai bagian dari JCPOA dan sebagai imbalan atas persetujuan Iran untuk membatasi program nuklirnya. Namun, secara luas, AS hanya setuju untuk mencabut sanksi terkait program nuklir bersama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa yang menjatuhkan semua sanksi terkait nuklir terhadap Iran. JCPOA tidak termasuk pencabutan sanksi AS terkait non-nuklir. Berakhirnya masa jabatan Obama pada 16 Januari 2016 dan mulainya pemerintahan Trump, AS memberlakukan beberapa putaran sanksi terkait Iran. AS memanfaatkan celah isu yang belum dibahas di kesepakatan tersebut, yaitu non nuklir. Pada akhirnya, puncaknya, pada tahun 2018, AS keluar dari kesepatan ini.

Apabila pemerintahan Biden ingin masuk kembali ke kesepakatan ini, ada beberapa isu yang harus ditangani, di antaranya, sanksi sejak penarikan Mei 2018 yang melanggar komitmen kesepakatan, sanksi dari Januari 2016 hingga Mei 2018 dan sanksi non-nuklir di bawah Trump. Namun, AS akan kembali kepada kesepakatan apabila Iran kembali kepada kesepakatan JCPOA sebagai prasyarat untuk pembicaraan baru. Mempertimbangkan masalah program rudal balistik Iran, dan dukungannya kepada kelompok proksi di kawasan. Isu ini dimasukkan dalam agenda pembicaraan yang baru. Apabila Iran mematuhi semua ini, penarikan sanksi secara bertahap adalah imbalannya, termasuk pencairan aset Iran.

Isu pembatasan nuklir terlihat lebih mudah, karena dapat diverifikasi dan dipantau secara teknis oleh IAEA. Pejabat senior nuklir di Iran telah siap untuk mengurangi kegiatan nuklir yang setiap kali kesepakatan tercapai dan akan memakan waktu sekitar dua hingga tiga bulan untuk mengurangi semua kegiatan nuklir sesuai kesepakatan.

Semua kebijakan yang diambil oleh AS bergantung kepada Israel dan sekutunya di kawasan. AS menekan dan membatasi sedemikian rupa Iran untuk mencegah pengaruhnya menyebar ke penjuru kawasan. Di samping itu, stabilisasi keamanan kawasan sangat ditekankan dalam kasus ini, khususnya di bidang militer dan pengembangan nuklir. Namun, Iran masih bersikukuh untuk memperluas pengaruhnya, khususnya di kawasan. Padahal AS dan sekutunya Israel telah memberikan peringatan, mulai dari peringatan militer sampai penerapan sanksi, namun Iran masih dengan usahanya.

Pada akhirnya, kritik-kritik terkait kesepakatan ini muncul karena tidak adanya pembahasan terkait gesekan Iran dan lainnya, seperti kebijakan luar negerinya di kawasan, dukungan untuk kelompok tertentu dan sebagainya. Ini adalah sebuah kebenaran, namun, JCPOA tetap mengedepankan masalah nuklir, memprioritaskan keamanan internasional daripada regional. Iran lebih suka berbicara dengan AS daripada tidak, terlepas dari sikap publik mereka, dan kemungkinan kembalinya nilai-nilai inti kesepakatan oleh semua pihak. Semuanya bisa diselesaikan dengan diplomasi dan kerja sama. Namun dari sini, AS akan mendapatkan kritik keras dari internal maupun eksternal.

Bahy Chemy Ayatuddin Assri, Alumni Interdisciplinary Islamic Studies, konsentrasi Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga

Daftar Pustaka

Bremmer, I. 2021. What Happens Next with Iran Nuclear Negotiations After the Natanz Attack. Dalam https://time.com/5955701/what-happens-next-iran-nuclear-negotiations/. Diakses pada 15 Desember 2021.

CNN Indonesia. 2021. Iran Sepakat Bahas Lagi Kesepakatan Nuklir. Dalam https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211028085737-120-713438/iran-sepakat-bahas-lagi-kesepakatan-nuklir. Diakses pada 17 Desember 2021.

El-Faizy, M. 2021. Indirect US-Iran talks on the Nuclear Deal: What can we expect?. Dalam https://www.france24.com/en/middle-east/20210405-indirect-us-iran-talks-on-the-nuclear-deal-what-can-we-expect. Diakses pada 8 Desember 2021.

Motamedi, M. 2021. The Iran Nuclear deal, six years on. Dalam https://www.aljazeera.com/news/2021/7/14/the-iran-nuclear-deal-six-years-on. Diakses pada 10 Desember 2021.

Nallapati, S. 2021. Re-negotiating JCPOA: an enduring challenge for the Biden Administrtion. Dalam https://www.daisyalliance.org/post/re-negotiating-jcpoa-an-enduring-challenge-for-the-biden-administration. Diakses pada 13 Desember 2021.

O’Toole, B. 2021. Rejoining the Iran Nuclear deal: Not so easy. Dalam https://www.atlanticcouncil.org/in-depth-research-reports/issue-brief/rejoining-the-iran-nuclear-deal-not-so-easy/. Diakses pada 11 Desember 2021.

Sabet, F., Kane, C. 2021. Adopt, emulate, or avoid: Lessons from the JCPOA for the Middle East’s security and arms control architecture. Dalam https://www.europeanleadershipnetwork.org/commentary/adopt-emulate-or-avoid-lessons-from-the-jcpoa-for-the-middle-easts-security-and-arms-control-architecture/. Diakses pada 13 Desember 2021.

Taneja, K. 2021. Re-negotiating the Iran Nuclear Deal and Trajectory of Security in West Asia. Dalam https://www.orfonline.org/expert-speak/re-negotiating-the-iran-nuclear-deal/. Diakses pada 6 Desember 2021.

Turak, N. 2021. Iran Nuclear talks resume with little cause for optimism after months-long hiatus. Dalam https://www.cnbc.com/2021/11/29/iran-nuclear-talks-resume-with-little-cause-for-optimism-after-months-long-hiatus.html. Diakses pada 9 Desember 2021.

 

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru