Harakatuna.com – Pada Ahad, 10 November 2024, alias besok, bangsa Indonesia, termasuk kita umat Muslim, akan memperingati Hari Pahlawan dengan beragam kegiatan. Tanggal tersebut mengacu pada puncak perlawanan rakyat Indonesia dalam Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, yang terjadi 79 tahun lalu.
Seperti bangsa-bangsa lain, terutama di Asia Tenggara, yang juga memiliki hari pahlawan (Malaysia, Filipina, dan Timor Leste), tujuan utama peringatan itu adalah agar sifat-sifat kepahlawanan menjadi karakter bangsa. Di antaranya adalah keberanian, kekuatan, kerelaan berkorban, dan jiwa kesatria sebagai nilai-nilai universal. Peringatan ini juga bertujuan mengenang dan menghormati perjuangan para pahlawan yang berhasil mengusir penjajah serta sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka.
Pandangan Islam
Kepahlawanan dalam Islam mencakup sifat-sifat seperti kewiraan yang identik dengan sikap nasionalistis, terutama dalam pengertian anti-penjajahan, anti-eksploitasi ekonomi asing, pelestarian budaya sesuai dengan perkembangan zaman, cinta tanah air, dan kesediaan tulus untuk berbakti bagi bangsa atau kepentingan luas. Dalam pengertian tersebut, kepahlawanan merupakan bagian dari ajaran Islam.
Islam menganjurkan cinta tanah air, yang tercermin dalam QS. al-Qashash [28]: 85, terutama pada ungkapan tempat kembali. Menurut tafsir Ibnu Abbas yang dikutip ‘Ali al-Shabuni, asbabunnuzul ayat ini adalah karena kecintaan dan kerinduan Nabi Muhammad Saw. terhadap Makkah tak lama setelah hijrah.
Ayat tersebut berisi janji bahwa selama Nabi Saw. dan umat beriman berkomitmen pada Al-Qur’an, Allah akan mengembalikan mereka ke Makkah, yang terbukti dengan Fathu Makkah, Pembebasan Kota Makkah. Namun, setelah tinggal lama di Madinah, di mana cahaya Islam menyebar, Nabi justru merindukan Madinah dan tinggal di sana hingga wafat. Dari sinilah muncul ungkapan hubbul wathan minal iman, yang berarti ‘cinta tanah air adalah bagian dari iman’.
Dalam Islam, menjaga keutuhan negara dan mencegah kehancurannya adalah kewajiban. Hal itu tampak dari dua aspek. Pertama, Nabi membentuk umat tak lama setelah tiba di Madinah. Umat ini bukan lagi komitmen berdasarkan kesukuan, melainkan berdasarkan agama, kebenaran, dan perjanjian nasional yang mempersatukan. Hal tersebut tercermin dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah), konstitusi negara awal yang multi-etnis dan multi-religi. Dalam Al-Qur’an, perintah untuk bersatu tercantum dalam surah Ali Imran [3]: 103, yang melarang perpecahan dan menekankan pentingnya komitmen pada jemaah—persatuan umat dan negara, sebab tidak ada bangsa atau kelompok sosial yang bisa kuat tanpa persatuan.
Kedua, Nabi dan kaum Muslimin wajib mempertahankan negara Madinah yang berdedikasi pada peradaban luhur dan hukum dengan jihad, termasuk melawan agresi kafir Quraisy dalam Perang Badar pada tahun 2 H atau 624 M, tak lama setelah Nabi hijrah. Tujuan utama perang tersebut adalah menjamin kebebasan beragama, terutama Islam yang merupakan keyakinan mayoritas warga Madinah (lihat QS. 2: 191-192, 217; 4: 75; dan 22: 39-40).
Oleh karena itu, mereka yang gugur dalam perang pertama dalam sejarah Islam yang menentukan keberlangsungan Islam di Madinah disebut sebagai syuhada, yang berarti orang-orang yang mati syahid, karena berperang di jalan Allah dan mempertahankan agama serta tanah air. Pimpinan mereka adalah Sayyidina Hamzah, paman Nabi yang dikenal sebagai “Amir Hamzah,” dan kisahnya diabadikan dalam literatur, termasuk dalam sastra Islam Nusantara.
Syuhada adalah mereka yang rela menderita atau mati daripada menyerah demi mempertahankan kebenaran dan agama. Mereka yang mati syahid dijanjikan Allah dengan pahala yang besar, yaitu surga, bukan hanya sekadar dikenang oleh banyak orang. Meskipun jasad mereka telah tiada, hakikatnya mereka tetap hidup, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah [2: 154, “Dan janganlah kalian mengatakan bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka hidup, hanya saja kalian tidak menyadarinya.”
Kepahlawanan dalam Islam memiliki makna yang luas. Seorang pahlawan tidak hanya sosok yang memperjuangkan kemerdekaan, tetapi siapa pun yang memperjuangkan kebenaran dengan keberanian dan pengorbanan. Nilai-nilai seperti keberanian, pengorbanan, dan kebenaran menjadi tolok ukur dalam memberikan predikat kepahlawanan.
Para Nabi, terutama Nabi Muhammad Saw., tentu merupakan pahlawan, baik dalam arti sempit maupun luas. Nabi Muhammad adalah sosok sentral yang berjuang untuk menghadirkan Islam di muka bumi. Beliau dengan gigih berkorban dalam mendakwahkan kebenaran Islam kepada umat manusia, bahkan harus berjihad dan berperang menghadapi berbagai agresi militer dari musuh, baik dari kaum pagan Arab di Makkah maupun dari imperium Bizantium dan Persia. Al-Qur’an pun mengingatkan umat Islam untuk mencontoh perjuangan Nabi yang berhasil membawa dunia dari masa kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam.
Kontekstualisasi Kepahlawanan
Saat ini, pahlawan tidak hanya terbatas pada para ulama dan dai yang menjadi pewaris Nabi, yang mengajarkan dan mendakwahkan Islam agar manusia hidup sesuai petunjuk Al-Qur’an dan hadis. Pahlawan juga adalah mereka yang dengan teguh membela kebenaran, seperti aktivis anti-korupsi, pejuang integritas, dan orang-orang yang menjalankan amanah jabatan dengan penuh tanggung jawab. Seorang yang bermental pahlawan adalah mereka yang mampu membedakan kebenaran dan kebatilan, karena kedua hal ini bertentangan seperti kutub utara dan selatan yang tidak mungkin bercampur.
Dalam surah al-Baqarah [2]: 42, Allah Swt. berfirman, “Janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan (jangan pula) kamu sembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya.” Para pahlawan dalam pengertian ini merepresentasikan surah al-Isra’ [17]: 81, “Telah datang kebenaran dan hancurlah kebatilan; sungguh, yang batil itu pasti akan lenyap,” serta surah Ali ‘Imran [3]: 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru pada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Kepahlawanan dalam arti ini juga ditunjukkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah yang menyebutkan bahwa mengatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim merupakan jihad yang utama.
Pahlawan dalam Islam juga mencakup mereka yang bersikap nasionalistis dalam arti berusaha memajukan negara dan menjaga kemaslahatan publik. Dalam Islam, para ulama sepakat bahwa intisari agama adalah untuk mendatangkan dan menjaga kemaslahatan manusia, baik secara individu maupun masyarakat, sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Syathibi (730-790 H).
Kemaslahatan ini mencakup kebutuhan mendesak (dharuriyyat) untuk menjaga agama (moralitas manusia), jiwa (hak hidup), akal pikiran (hak ilmu pengetahuan dan teknologi/pendidikan), keturunan (kelangsungan hidup manusia), dan harta benda (properti). Para pejabat dan aktivis organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO) yang berjuang “melawan” kemiskinan termasuk dalam golongan pahlawan ini.
Para guru dan dosen yang mengorbankan hidupnya demi menanamkan nilai-nilai integritas, karakter, dan ilmu pengetahuan juga tergolong pahlawan. Pendidikan tanpa karakter adalah tidak bermakna. Mereka yang mendirikan dan mengelola lembaga pendidikan juga sering disebut “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.” Hal itu tercermin dalam hadis riwayat al-Baihaqi, “Jadilah engkau sebagai ilmuwan, pelajar, penyimak ilmu, atau pecinta ilmu. Namun, jangan jadi yang kelima, niscaya engkau akan celaka.”
Selain itu, orang tua yang berjuang dengan ikhlas untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya agar menjadi individu yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat juga adalah pahlawan. Terutama, mereka yang dapat menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Mereka adalah pahlawan bagi keluarganya, sebagaimana ditegaskan dalam surah al-Nisa’ [4]: 9 yang memerintahkan setiap orang tua agar tidak meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Hal tersebut juga sesuai dengan hadis riwayat Muslim, “Sebaik-baik infak seseorang adalah untuk keluarganya.” Wallahu a’lam.
Oleh:
Prof. Sukron Kamil dan Arief Rahman Hakim
(Guru Besar dan Dosen FAH UIN Jakarta)