29.7 C
Jakarta

Keniscayaan Perdebatan Wacana Islam

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKeniscayaan Perdebatan Wacana Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Keberadaan para sarjana Islam muda lulusan dari luar negeri yang tidak mendapat tempat di organisasi-organisasi keislamaan besar, sehingga belum memiliki kantong massa, adalah sebuah keniscayaan. Namun, di era digital seperti sekarang ini, mereka memanfaatkan dunia maya berbasis internet, untuk memulai berdakwah dan menunjukkan eksistensi diri.

Pada satu titik, mereka kerap melontarkan kritik terhadap organisasi-organisasi besar, maupun para intelektual yang sudah lebih dulu populer. Cara ini membuat yang bersangkutan lebih cepat ”diviralkan” dan terkenal.

Yang dikritisi, salah satunya, adalah wacana yang dilontarkan oleh organisasi besar maupun intelektual Islam senior yang dimaksud. Mereka yang merupakan intelektual baru lulusan luar negeri, sebagai pencetus narasi kecil, berhadapan dengan narasi besar yang disampaikan oleh organisasi besar atau mubaligh/da’i yang lebih senior.

Dua belah pihak, kerap kali terlibat kontestasi wacana di media digital. Baik secara sengaja melalui perdebatan terbuka, maupun secara tidak sengaja, karena ”diadu” oleh warganet. Salah satu wacana yang sempat menjadi perdebatan adalah konsep Islam Nusantara. Ada pula, konsep kafir dan non-Muslim yang sempat merebak awal tahun 2019 lalu.

Studi tentang pertarungan antara narasi besar dan narasi kecil ini bertolak dari pandangan Jean Francois Lyotard (1979) tentang ancaman keruntuhan narasi besar atau Grand Narative. Narasi besar yang dimaksud adalah cerita besar tentang topik tertentu yang memiliki fungsi universal, legitimasi, dan menjadi landasan kehidupan masyarakat pada umumnya.

Cerita besar itulah yang selama ini dipercaya kebenarannya. Definisi tentang kemajuan, kebebasan, struktur sosial dan emansipasi yang ratusan tahun sudah diyakini keabsahannya, akan dipertanyakan oleh definisi-definisi baru yang bisa jadi memiliki makna berbeda dengan sebelumnya. Sama halnya seperti nasib agama yang seiiring waktu berjalan dipertanyakan fungsi dan orisinalitasnya oleh penganutnya sendiri.

Keruntuhan yang disebutkan Lyotard adalah imbas dari zaman Postmodernisme, di mana semua orang bisa menciptakan narasi kecil versinya sendiri, sebagai narasi tanding, dan melontarkan gagasan itu di ruang publik. Artinya, narasi besar dan narasi kecil itu bisa berada pada satu panggung yang sama, untuk saling mengkritisi maupun melegitimasi dirinya sendiri.

Masyarakat umum yang awalnya hanya diperlihatkan tentang satu narasi, memiliki alternatif pandangan lain yang lebih banyak. Masa postmodernisme yang dipercaya oleh Lyotard tidak lepas dari pesatnya kemajuan teknologi yang telah dia prediksi sejak saat dicetuskannya pemikiran ini.

Artikel ini memang tidak mengaji tentang keruntuhan satu narasi besar secara frontal, namun lebih kepada membahas bagaimana sebuah narasi besar yang telah mapan bisa diserang dan “diancam” oleh narasi-narasi kecil yang baru tumbuh dengan leluasa.

Di lain pihak, narasi-narasi tentang satu topik dengan aneka definisi yang kemudian menjadi wacana di masyarakat, terus berkembang dan berkontestasi satu sama lain. Sementara itu, Jurgen Habermas (1996) mengatakan, wacana yang dilontarkan untuk diperdebatkan di masyarakat, mesti memenuhi setidaknya lima hal.

BACA JUGA  Pilpres 2024 dan Ketaatan Doktrinal yang Berbahaya, Lawan!

Yakni, keabsahan data rujukan, benar atau faktual, kesesuaian terhadap standar nilai sosial, kejujuran, dan penyajian yang komprehensif. Tanpa memenuhi lima syarat tadi, akal sehat tidak akan sanggup mengikuti nalar wacana tadi. Karena yang hadir setelahnya, tak lebih dari omong kosong dan kebencian.

Umat Islam di Indonesia, yang sudah melek media sosial, dan gemar memburu kebenaran, seharusnya paham tentang pentingnya referensi dalam beragama. Sehingga, tidak asal mencomot pendapat ustadz, melainkan terus haus pada apa yang sejatinya diperintahkan maupun dilarang Tuhan.

Kontestasi narasi maupun pertarungan wacana yang ada, sepantasnya dinikmati untuk menambah khazanah pengetahuan dan mengasah akal. Karena beragama, tentu tidak boleh berlandaskan hawa nafsu. Namun mesti tetap menjunjung tinggi adab, logika, dan kearifan lokal yang ada.

Membahas yang Lebih Urgen

Daniel Bell (1973) mengungkapkan, di era Post-Industri seperti saat ini, di mana orientasi perubahan masyarakat tidak hanya terpicu karena sirkulasi barang dan modal tak bergerak (semisal gedung pabrik, asset peralatan, showroom dan sebagainya), teknologi informasi menjadi komoditas penting.

Ini menjadi satu di antara dimensi yang merupakan cermin dari perkembangan masyarakat tersebut. Kemajuan teknologi berimbas pada sirkulasi informasi tentang hal-hal yang disebut Bell bersifat teoritis, yang kemudian bisa memengaruhi kebijaksanaan di masyarakat bahkan kebijakan yang bersifat politis.

Di negara ini, Islam merupakan agama dengan penganut terbesar. Lebih dari 87 persen dari populasi 258 juta jiwa mengidentifikasi diri sebagai Muslim (US. Commission on International Religious Freedom, 2017).

Fakta di atas, mengkonfirmasi bahwa informasi mengenai Islam akan terus menjadi isu yang sexy di masyarakat. Karena agama dengan pemeluk terbesar di negeri ini adalah Islam.

Apalagi, website www.internetsehat.id pada 2016 melansir, dari jumlah populasi penduduk Indonesia sekitar 259,1 juta, 88,1 juta adalah pengguna internet aktif. Sejumlah 79 juta penduduk merupakan pengguna media sosial aktif. Secara tidak langsung bisa disimpulkan, informasi mengenai Islam di media sosial Indonesia selalu potensial menjadi trending topic atau isu yang paling sering dibahas.

Tak ayal, perdebatan mengenai Islam dalam sub topik yang beraneka ragam selalu hangat. Baik itu dalam lingkup politik, budaya, maupun aliran atau perspektif beragama itu sendiri. Tiap ada satu konsep keislaman terlontar, sebagai contoh, soal pemimpin Islam, akan ada banyak tafsir mengemuka.

Perbedaan pandangan memunculkan kontestasi wacana. Meski demikian, tidak sepantasnya menjadi pematik perselisihan yang berlarut-larut. Karena, ada banyak hal yang jauh lebih urgen dan membutuhkan kesatuan umat. Misalnya, tentang bagaimana menjadikan masyarakat Islam yang potensial ini, memiliki basis perekonomian yang kuat agar terhindar dari malapetaka kemiskinan.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, kemiskinan bisa mendakatkan seseorang pada kekufuran. Memikirkan dan mencari solusi tentang problem perekonomian ini, tentu lebih utama daripada larut pada perbedaan sudut pandang beragama. (*)

Rio F. Rachman
Rio F. Rachman
Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Awardee Beasiswa 5000 Doktor Kemenag di FISIP Universitas Airlangga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru