26.7 C
Jakarta
Array

Kendaraan Baru Siasat Pendukung Khilafah Indonesia

Artikel Trending

Kendaraan Baru Siasat Pendukung Khilafah Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah dibubarkan pada 19 Juli 2017 atau dua tahun yang lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) secara badan hukum, adalah ilegal. Tak boleh beroperasi. Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 telah mencabut badan hukum HTI melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017. Meski menuai komentar pro-kontra dari berbagai pihak, keputusan tersebut jelas sebagai antisipasi terhadap organisasi transnasional yang mengancam ideologi Pancasila, Khilafah Indonesia.

Sungguhpun demikian, mengatakan bahwa HTI sudah benar-benar hilang dari negeri ini adalah pernyataan yang terburu-buru. Sebagai sebuah ideologi, HTI masih melekat di hati pengikutnya. Alih-alih membuat keadaan menjadi baik-baik saja, HTI justru merasuk ke segala penjuru, memperjuangkan ideologinya. Bak arwah jahat yang tidak punya tubuh, ideologi HTI berikutnya menjadi anasir yang cukup mengkhawatirkan yang setiap saat bisa merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bila pada saat memiliki badan hukum, HTI mendakwahkan ideologinya secara bebas, tidak demikian ketika Perppu Ormas membubarkannya. Kini ia masuk pada babak baru intrik politik-ideologis. Ia merasa perlu kendaraan baru, yang dengannya agenda khilafahnya berjalan dengan lancar. Tak peduli apakah kendaraan tersebut adalah Muslim revivalis, meminjam istilah Gus Dur, atau mahasiswa milenial yang sedang ikut tren hijrah. Bisa juga kendaraannya adalah melalui oposisi, penentang kebijakan pemerintah.

Kendaraan Baru

Baiklah. Agar lebih objektif, saya tidak akan pakai istilah HTI, tapi eks-HTI. Bisa juga saya pakai ‘pengusung khilafah’. Pada hakikatnya sama. Persamaan paling esensial adalah dari sisi ideologi. Kita bisa saja misalkan menerima, bila Felix Siauw mungkir dituduh HTI. Bisa saja kita mempercayainya, toh HTI memang telah tiada. Tetapi dalam konteks ‘pengusung khilafah’, Felix tidak bisa mungkir. Namun saya juga ingin mengatakan, menspesifikasinya hanya kepada Felix juga sesuatu yang tergesa-gesa.

Demikian karena persoalan yang kita hadapi ini begitu kompleks. Ini bukan soal dibubarkan lalu berhenti. Tidak. Ini juga bukan soal apakah Felix HTI atau bukan. Tidak. Yang kita hadapi adalah arus besar, yang kekuatannya tidak dapat kita terka. Bisa beraksi kapan, dan dalam rupa apa saja. Felix adalah tipe media dakwah. Para dai yang seideologi juga tak sedikit. Dari sini kita harus memahami duduk perkaranya; di luar sana, mereka telah siapkan agenda agar NKRI berubah wujud memakai sistem khilafah.

Beberapa Siasat

Siasat yang pertama kali mereka pakai setelah mereka dibubarkan adalah dengan berusaha sekuat tenaga meruntuhkan pilar-pilar penjaga NKRI, seperti NU dan Muhammadiyah. Grand design-nya jelas, bagaimana masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap dua Ormas tersebut. Melalui tuduhan labelisasi liberal terhadap ideologi NU, misalnya hal-ihwal Islam Nusantara, sampai pada siasat menghancurkan melalui stigmatisasi secara masif terhadap pemimpin NU itu sendiri; Said Aqil Siradj.

Setelah itu tidak berhasil, dan mayoritas masyarakat masih memiliki harapan dan kepercayaan besar kepada NU dan Muhammadiyah, mereka sudah siap dengan intrik berikutnya. Pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid yang kontroversial beberapa waktu lalu secara inheren adalah sebagian dari intrik itu sendiri. Kendaraannya pun mulai disiapkan. Prabowo sebagai oposisi dalam Pilpres kemarin menjadi sasaran selanjutnya. Mereka pun berbondong masuk koalisi Partai Gerindra.

Sampai waktu itu, mereka masihlah siluman. Pelakunya masih bisa kita raba sebatas secara individual. Tidak menjadi identitas. Yang terang, dan bukti kuat apa yang baru saja saya katakan, bahwa gerakan Indonesia Salat Subuh (GISS) sejujurnya adalah rupa lain upaya menentang kepada pemerintah.

Kegiatan politik yang dibungkus keagamaan adalah senjata utama para pengusung khilafah menggaet massa. Playing victim, alias seakan-akan menjadi korban, juga senjata ampuh mereka. Tidak mengherankan bila ketika Barisan Ansor Serbaguna (Banser) menggeruduk kantor gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balaikota, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, pada Rabu (26/6/2019) lalu, lantaran mengundang ceramah Felix Siauw, direspon oleh Felix sebagai bentuk intoleransi terhadapnya.

Serangkaian siasat pengusung khilafah bukan sesuatu yang kebetulan. Bahkan saya meyakini, sebenarnya tuduhan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) terhadap pelaksanaan Pilpres, yang diarahkan pada Paslon 01 Jokowi-Ma’ruf, meskipun ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), adalah personifikasi dari serangkaian agenda pengusung khilafah itu sendiri. Mereka menuduh Paslon 01 melakukan kecurangan TSM, padahal TSM itu siasat mereka sendiri dalam menjual-obral agenda khilafahnya.

Bukti ke-TSM-an siasat pengusung khilafah bisa kita telisik dari kontinuitas mereka mengampanyekan anti-Pancasila dengan cara yang begitu berhati-hati. Sampai-sampai para milenial yang baru mengenal Islam menganggap ajaran mereka adalah yang ideal dalam Islam. Fitnah pemerintah sebagai thaghut, ketua PBNU sebagai antek kafir, dan presiden Joko Widodo sebagai kacung China merupakan hasil konkret intrik TSM mereka yang berhasil membius milenial hijrah dan para Muslim abangan.

Sementara itu, oposisi seperti Prabowo tak memahami segala yang terjadi di hadapannya. Padahal pengusung khilafah Indonesia memahami betul, nasib Prabowo sama dengan mereka; sama-sama menentang status quo. Kesamaan nasib sebagai ‘oposisi’ itulah yang mendorong mereka masuk koalisi Prabowo. Saya ingin mengutip Cak Nur, yang mengatakan bahwa ada pepatah Prancis: “Teman dari musuh saya adalah musuh saya, dan musuh dari musuh saya adalah teman saya”. Di mata pengusung khilafah, begitulah nasib Prabowo. Ia hanya satu dari banyak kendaraannya melancarkan siasat. Tidak lebih.

Kasus terbaru adalah seorang ibu yang terkena penyakit Skizofrenia membawa anjing ke masjid dan terlibat pertikaian dengan takmir masjid. Felix Siauw, dan lagi-lagi Felix, merespon dengan mengatakan bahwa itu sangat tidak boleh. Harus dilarang. Ia juga mengatakan bahwa sebagian kalangan yang memaklumi tragedi tersebut berlandaskan hadis Nabi dengan orang Badui yang kencing di masjid adalah sikap ‘sok bijak’. Kata Felix, itu bukan soal fikih, melainkan soal keadilan dan keberpihakan.

Ia lantas membuat spekulasi provokatif, bahwa jangan-jangan ada maksud terselubung di balik tragedi tersebut. Kalau pun kita berusaha meniru Nabi menyikapi orang Badui, kata Felix, kenapa hanya dalam hal itu saja? Kenapa kita tak meniru Nabi juga dalam ekonomi, atau meniru kehalifahan empat sahabat Nabi? Lagi-lagi di dalam video berdurasi 8:28 menit tersebut di akun YouTube Felix, ia menjual khilafah. Sungguh itu adalah siasat murahan yang diselipkan pada kasus anjing seorang ibu yang mengalami Skizofrenia.

Siasat Baru

Dalam semua itu, saya ingin mengatakan, bahwa pasca Prabowo menerima keputusan MK perihal kekalahannya, pengusung khilafah Indonesia memiliki kendaraan baru yang digunakan sebagai siasat mengiklankan khilafah, yaitu pelintiran kebencian (hate spin). Baik Felix maupun para dai lainnya, berusaha memelintir segala kasus sedemikian rupa yang muaranya adalah menyuarakan sistem khilafah. Sasarannya jelas, yaitu pemerintah. Pendukung pemerintah juga dianggap gagal mengamalkan Islam seperti saat era Nabi saw.

Pelintiran kebencian (hate spin) itu sendiri sebenarnya bukan istilah baru. Cherian George mengulasnya secara terperinci, dengan kasus spesifik di Amerika, India, dan Indonesia. Istilah yang dipakai George untuk para pelaku ialah “para oportunis”, dan ini kita temukan padanannya dalam diri pengusung khilafah. Setelah berbagai kendaraan yang mereka pakai gagal melancarkan khilafah, kini ia banting setir menjadi aktor-aktor oportunis yang mengeruk keuntungan ideologis dari setiap permasalahan yang terjadi.

Siasatnya pun sama. Terhadap sesuatu yang bernuansa keagamaan, para pengusung khilafah mencipta hasutan-keterhasutan antarsesama, mencipta singgungan-ketersinggungan antarumat Islam, yang mengarahkan mereka untuk melirik jualan murahannya; khilafah. Dalam konteks kasus tadi, bisa kita saksikan bagaimana Felix dengan kemampuan retorikanya merayu umat Islam agar mengamalkan keseluruhan sunah Nabi, tak hanya dalam kasus Badui. Maksud Felix, kita mesti pakai juga sunah Nabi yang bernama khilafah.

Bagi yang tidak memahami duduk perkara persoalannya, pidato Felix tersebut adalah benar mutlak. Ia telah berhasil memelintir kebencian di benak umat Islam, terhadap ibu pembawa anjing, juga kepada pihak yang memaklumi tragedi tersebut. Jargonnya tetap, kembali ke khilafah, agar Islam berjaya, tak dinista agama lain, seperti dalam kasus tersebut. Felix tidak peduli apakah secara fikih tragedi tersebut diperbolehkan atau tidak, apakah halal atau haram. Di mata Felix, dan ini berusaha dijejalkan kepada semua umat, Islam mesti berada di atas, memegang keadilan. Untuk merealisasikannya, dipromosikanlah khilafah.

Apa yang kita saksikan perihal pelintiran kebencian (hate spin) tadi adalah satu kasus, dari kasus-kasus yang akan kita saksikan ke depan. Sebab, kita tahu, itulah kendaraan baru pengusung khilafah setelah kendaraan sebelumnya, Prabowo, telah kalah Pilpres dan menerima kekalahannya. Yang mesti kita persiapkan hanya satu; tanamkan kecintaan yang teramat dalam terhadap keragaman Tanah Air kita di satu sisi, dan cita-cita kerukunan antarumat beragama di sisi lainnya. Khilafah memang tak boleh kita beri tempat di negeri ini.

*Ahmad Khoiri, Esais.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru