28.2 C
Jakarta
Array

Kenapa Hizbut Tahrir Dilarang di Timur Tengah?

Artikel Trending

Kenapa Hizbut Tahrir Dilarang di Timur Tengah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam seminggu terakhir, polemik soal pembubaran Hizbut Tahri Indonesia (HTI) kembali mencuat, menyusul keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan HTI dan memenangkan SK Kementerian Hukum dan HAM perihal pembubaran organisasi tersebut.

Sebenarnya langkah pemerintah mengambil keputusan hukum atas pembubaran organisasi HTI terbilang telat jika dibandingkan dengan negara-negara Timur-Tengah lainnya. HTI sudah lama menjadi organisasi terlarang.

Di Jordania yang merupakan basis utama gerakan ini, sejak pertama kali mendaftar pada 1952 sebagai partai politik, Hizbut Tahrir langsung ditolak oleh pemerintah Jordania. Saat itu Hizbut Tahrir tidak mendaftar sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, tetapi mendaftarkan diri sebagai partai politik.

Namun langkah yang diambil Hizbut Tahrir langsung ditolak karena dianggap bertentangan dengan konstitusi Jordania. Salah satunya, Hizbut Tahrir menentang nasionalisme yang sudah menjadi common platform seluruh warga negara. Di samping itu, Hizbut Tahrir menentang sistem dinasti yang sudah mapan. Ada beberapa hal lainnya yang dianggap dapat menerabas konstitusi yang sudah disepakati oleh berbagai faksi politik dan masyarakat.

Hizbut Tahrir dikabarkan mendapatkan celah untuk mengembangkan gerakannya di beberapa kawasan Palestina yang kekuasaannya berada di bawah otoritas Jordania, karena situasi objektif Palestina yang memberikan ruang bagi kelompok apapun untuk tumbuh. Pada mulanya Hizbut Tahrir hanya sebagai kelompok pengajian setelah Salat Jumat. Lalu kemudian membuka cabang di beberapa daerah di Tepi Barat, terutama di kawasan pedalaman.

Pada 1951, Taqiyuddin Nabhani mengikuti pemilu legislatif di Palestina. Tetapi ia kalah dari wakil Partai Ba’ast. Semua kandidat Hizbut Tahrir kalah, kecuali Ahmad Da’ur dari Tulkarem lolos ke parlemen setelah berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin.

Kekalahan tersebut disebut-sebut menjadi titik-balik untuk meninggalkan gelanggang politik dan memilih jalur dakwah kultural. Mereka kembali menggariskan program untuk menguasai mimbar-mimbar masjid dan lembaga pendidikan keagamaan.

Selain itu, konflik internal yang terjadi di dalam Hizbut Tahrir menyebabkan eksistensi mereka di Palestina semakin tenggelam, yang menyebabkan beberapa pengurus terasnya mengundurkan diri, menyusul hijrahnya Taqiyuddin al-Nabhani ke Beirut. Pada 1956, beberapa aktivis Hizbut Tahrir diusir dari Jordania sehingga aktivitas mereka mati total pada saat itu.

Kondisi objektif yang terjadi di Jordania menjalar ke seantero negara di Timur-Tengah. Hampir tidak ada negara di Timur-Tengah yang kemudian memberikan ruang yang leluasa terhadap Hizbut Tahrir.

Ada dua alasan utama yang menjadi landasan kenapa Hizbut Tahrir dilarang di Timur-Tengah. Pertama, Hizbut Tahrir mempunyai ideologi khilafah, yang secara nyata bertentangan dengan realitas politik kontemporer. Di masa lalu, sebelum jatuhnya Dinasti Ottoman di Turki pada 1923, khilafah masih menjadi sistem politik. Tetapi setelah itu, dunia Islam khususnya Timur-Tengah mengalami trauma politik yang sangat akut perihal kembalinya sistem khilafah.

Namun Hizbut Tahrir tetap pada pendiriannya untuk menegakkan khilafah. Bukan hanya itu, Hizbut Tahrir telah menyiapkan konstitusi yang untuk kembali tegaknya khilafah. Hal tersebut dapat dibaca dengan saksama dalam karya-karya Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, antara lain Nidzam al-Hukm fi al-Islam, al-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, al-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, al-Dawlah al-Islamiyyah, al-Khilafah, Inqadz Falestin, Kayfa Huddimat al-Khilafah, al-Fikr al-Islamy.

Di samping itu, di dalam buku-buku tersebut Hizbut Tahrir secara eksplisit menentang nasionalisme dan konsep negara-bangsa. Argumen ini pula yang menyebabkan pemerintah Jordania menentang eksistensi Hizbut Tahrir yang mendaftar sebagai partai politik pada saat itu. Negara-negara Timur-Tengah lainnya pun mempunyai argumen yang sama, karena setelah jatuhnya Dinasti Ottoman sudah tidak mungkin lagi diterapkan sistem khilafah.

Di samping itu argumen yang menyebabkan besarnya penolakan karena Hizbut Tahrir mengafirkan demokrasi, dan siapapun yang setuju dengan demokrasi maka dianggap kafir. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan mayoritas negara di Timur-Tengah yang menerapkan demokrasi sebagai sistem untuk membentuk pemerintahan dan legislatif sebagai check and balance system.

Kedua, Hizbut Tahrir ditengarai terlibat dalam beberapa kudeta di Timur-Tengah. Menurut Musa Kaylani (2014), pada dekade 60-an aktivis Hizbut Tahrir terlibat dalam kudeta di Jordania dan dekade 70-an di Tunisia. Pada 1974 juga para aktivis Hizbut Tahrir terlibat dalam kudeta di Mesir.

Dua alasan menonjol tersebut telah menyebabkan Hizbut Tahrir mempunyai posisi yang sangat tidak menguntungkan. Mereka tidak mudah mengepakkan sayapnya, karena adanya benturan yang sangat serius dengan realitas politik di Timur-Tengah. Apalagi negara-negara Teluk yang mempunyai sistem monarki, yang secara diametral akan bertabrakan dengan sistem khilafah yang diusung Hizbut Tahrir.

Maka dari itu, pengalaman di Jordania telah menyadarkan para aktivis Hizbut Tahrir untuk mengambil langkah strategis yang jauh lebih jitu dengan cara bergerak di bawah tanah. Mereka memaksimalkan penyadaran personal, berinteraksi secara luas dengan banyak kalangan, serta mempengaruhi para tokoh politik dengan gagasan khilafah.

Cara-cara seperti itulah yang selama ini juga ditempuh di Tanah Air. Hizbut Tahrir Indonesia memilih untuk menggunakan dakwah kultural dengan melakukan penetrasi ke kampus-kampus dan birokrasi dengan memaksimalkan pengajian di masjid-masjid. Mereka mendakwahkan ideologi khilafah. Walhasil, strategi mereka jitu, karena mampu menarik perhatian mereka yang mempunyai gairah keagamaan dan mimpi politik di masa lalu.

Namun, setelah langkah politik dan hukum yang menyatakan organisasi HTI tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, maka nasib mereka sekarang akan seperti saudara-saudara mereka di Timur-Tengah. Satu-satunya jalan yang tersisa untuk ditempuh adalah banding di tingkat kasasi. Ini perjuangan terakhir yang bisa ditempuh oleh HTI. Jika mereka gagal, maka nasib mereka akan sama dengan Hizbut Tahrir di Timur-Tengah.

*Zuhairi Misrawi Intelektual Muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute

(Tulisan ini dimuat di Detik.com, 10 Mei 2018)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru