32.1 C
Jakarta
spot_img

Kemunduran Demokrasi di Indonesia, Bukti Khilafah Lebih Baik?

Artikel Trending

KhazanahTelaahKemunduran Demokrasi di Indonesia, Bukti Khilafah Lebih Baik?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comKetika Plato (427 SM-347 SM) hidup di Athena dan menjalani kehidupan seperti layaknya rakyat pada umumnya, pemerintahan pada saat itu sudah menerapkan sistem demokrasi. Pada waktu itu, demokrasi menjadi salah satu sistem terbaik dengan melihat kondisi sosial yang ada.

Berbagai tradisi seperti tradisi intelektual, kebebasan berekspresi dan berpendapat menjadi sebuah kemewahan yang bisa diterapkan pada sistem demokrasi, dan hal itu yang mendasari sistem demokrasi diterapkan. Meski begitu, Plato menjadi salah satu tokoh yang sering mengkritik penerapan sistem demokrasi, sebab kerapkali menciptakan ketidakadilan bahkan suatu sentimentalitas seperti politik identitas.

Kebebasan dalam demokrasi tersebut dapat menghasilkan suatu oligarki ephitumia, yakni terpilihnya segelintir orang karena faktor kekayaan untuk memegang kekuasaan dan mereka mempunyai tujuan mengamankan kepentingan-kepentingan mereka. Tidak heran apabila kita mengkritik anak-anak pejabat atau keluarga pejabat yang terjun dan cukup mulus dalam mendapatkan suara politik, untuk masuk dalam sistem pemerintahan. Artinya, sekalipun pemilihan terbuka dilaksanakan untuk memilih pemimpin daerah, sistem pemilihan menjadi salah satu hal yang tidak terpisahkan untuk dimanipulasi ataupun diterapkannya kecurangan-kecurangan, yang merusak demokrasi itu sendiri

Dengan kata lain, kelompok tersebut mempunyai tujuan untuk mengejar suatu nafsu dunia. Sementara itu menurut Plato, pemimpin harus dipilih berdasarkan alasan rasional, seperti berdasarkan kemampuan. Kritik Plato terhadap prinsip demokrasi sangat masuk akal apabila dilihat dari kondisi masyarakat Indonesia hari ini.

Dalam sepuluh tahun terakhir belakangan ini, kualitas demokrasi di Indonesia mengalami penurunan. Tren ini cukup mengkhawatirkan di mana akan ada banyak kesulitan dalam menjalankan sistem demokrasi. Pembungkaman terhadap pers, ruang yang sempit untuk berekspresi dan berpendapat dan pengrusakan terhadap kebijakan dan UU sesuai kepentingan sekelompok golongan, merupakan hal yang pasti dalam kemunduran demokrasi.

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), alat ukur untuk mengukur perkembangan demokrasi di Indonesia dari aspek demokrasi, seperti kebebasan sipil, hak-hak politik, dan kelembagaan demokrasi mencatat bahwa, skor IDI Indonesia mencapai 79,51 poin. Angka ini turun 0,9 poin dari tahun sebelumnya yakni, 80,41 poin. Angka ini menunjukkan bahwa betapa bobroknya demokrasi di Indonesia.

Kritik Demokrasi adalah Hal Wajib

Satu hal yang perlu dipahami oleh kita sebagai masyarakat kelas menengah-kelompok yang bisa mengakses pengetahuan dan mengenyam pendidikan yang layak bahwa, menjaga kualitas demokrasi agar bisa lebih baik, perlu diupayakan bersama. Kritik terhadap kebijakan, gerakan akar rumput untuk mendorong sikap kritis masyarakat terhadap praktik-praktik yang tidak ramah terhadap masyarakat, perlu terus dilakukan.

BACA JUGA  Pencegahan Terorisme: Pentingnya Pelibatan Ormas di Tataran Akar Rumput

Di balik fenomena kemunduran demokrasi Indonesia yang mendapatkan perhatian masyarakat global, narasi pinggiran yang terus disebarkan adalah, khilafah merupakan sistem terbaik dibandingkan dengan demokrasi. Narasi tersebut akan memicu rasa penasaran masyarakat terhadap pentingnya penegakan khilafah, di tengah carut-marut kondisi ekonomi-sosial-politik Indonesia yang berantakan.

Utopia janji kemakmuran dan kesejahteraan yang disampaikan oleh para aktivis khilafah, membawa pada harapan besar bahwa, Indonesia Emas benar-benar tercipta apabila khilafah ditegakkan. Padahal, janji kemakmuran tersebut sebenarnya hampir sama dengan janji politisi pada saat kampanye.

Bobroknya para pemimpin dalam sistem khilafah, perang saudara, perebutan kekuasaan, pertumpahan darah, adalah suatu fenomena buruk yang tidak pernah disampaikan oleh para aktivis khilafah di masa silam. Mereka hanya menyampaikan kemakmuran dan keadilan yang pernah ada. Hal itu nyaris seperti kampanye politisi yang menjanjikan hal-hal baik untuk dipilih. Artinya, aktivis khilafah harus diibaratkan dengan politisi pada saat kampanye. Kita tidak perlu terpengaruh untuk mendukung khilafah sebagai sistem pemerintahan di Indonesia di tengah kondisi demokrasi yang menurun.

Dengan kondisi ini, sebenarnya kita tidak perlu repot-repot mencari pengganti sistem demokrasi. Sebab banyak sekali upaya yang bisa dilakukan agar demokrasi di Indonesia membaik. Keluar dari situasi buruk dan mengkhawatirkan ini, perlu gerakan kolektif untuk berjuang melindungi dan membangun kembali nilai-nilai demokrasi. Masyarakat harus terus berupaya untuk menciptakan partisipasi politik yang lebih terbuka dan inklusif.

Oleh karena itu, gerakan-gerakan yang dilakukan di akar rumput dan terus masif, perlu kita dukung sebagai bagian dari cara untuk mewujudkan demokrasi Indonesia lebih baik. Sikap kritis kita terhadap pemerintah, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, apabila ada pembungkaman, kekerasan, persekusi, atau sejenisnya yang dilakukan oleh pemerintah, kita harus bersama-sama untuk memberantas hal tersebut. Upaya berkesinambungan untuk menciptakan demokrasi yang lebih baik adalah tugas kita sebagai masyarakat sipil. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru