Harakatuna.com – Kemunculan kembali Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Surabaya pada awal tahun 2025 ini menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat, pemerintah, tokoh agama, hingga para akademisi. HTI, yang sebelumnya telah dinyatakan terlarang di Indonesia sejak 2017, kembali mencuat dalam perbincangan publik setelah munculnya sejumlah aktivitas yang dianggap membawa kembali gagasan mereka tentang Khilafah Islamiyah.
Kemunculan tersebut telah menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana pergerakan HTI tetap bertahan, berkembang, dan mendapatkan pengikut baru meskipun sudah dilarang secara hukum. Banyak reaksi dari para tokoh agama yang juga mempertanyakan terkait perizinannya, karena telah lama organisasi ini dilarang keberadaannya di Indonesia.
HTI merupakan cabang dari Hizbut Tahrir (HT), sebuah organisasi trans-nasional yang berpusat di Timur Tengah dan memiliki misi utama untuk mendirikan sistem Khilafah Islamiyah. HTI mulai berkembang di Indonesia pada akhir 1980-an dan mendapatkan momentum di awal 2000-an. Gerakannya dengan kampanye, yang semakin gencar melalui berbagai seminar, diskusi, dan perekrutan di kalangan mahasiswa serta umat Islam yang menginginkan perubahan politik berbasis Islam.
Pada tahun 2017, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2017 mencabut status hukum HTI, dengan alasan bahwa organisasi ini bertentangan dengan ideologi Pancasila dan mengancam persatuan nasional. Sejak saat itu, HTI secara resmi tidak lagi beroperasi sebagai organisasi legal di Indonesia, tetapi pengaruh dan ajarannya tetap menyebar melalui berbagai saluran informal, termasuk media sosial dan kajian-kajian keislaman tertutup.
Kemunculan Kembali HTI di Surabaya
Surabaya sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, dikenal memiliki dinamika keislaman yang beragam. Kota ini menjadi basis dari banyak organisasi Islam yang memiliki berbagai pandangan mengenai Islam dan negara. Meskipun HTI secara resmi dilarang, pada tahun 2025 muncul kembali gerakan yang diduga mengusung ideologi HTI di kota dimana Jembatan Suramadu ini berdiri.
Perlu diketahui bahwa gerakan HTI tidak akan jauh-jauh dari usahanya untuk terus membahas tentang pentingnya penerapan hukum Islam secara kaffah, perlunya menolak sistem demokrasi, serta propaganda tentang kembalinya sistem Khilafah sebagai solusi bagi permasalahan global. Surabaya, sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, telah menjadi yang utama; mengindikasikan bahwa jaringan ini masih aktif dan berusaha kembali mendapatkan simpati masyarakat.
Kemunculan kembali HTI di Surabaya menunjukkan bahwa meskipun telah dilarang secara hukum, gagasan yang mereka bawa masih memiliki daya tarik bagi sebagian umat Islam. Beberapa faktor yang menyebabkan ini antara lain ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan, ketimpangan sosial-ekonomi, serta narasi keagamaan yang mereka bangun dengan sangat kuat.
HTI dan Penafsiran Ayat-ayat Alquran
Salah satu strategi utama HTI dalam menyebarkan ideologinya adalah dengan menggunakan ayat-ayat Alquran sebagai landasan perjuangan mereka. Mereka sering kali mengutip ayat-ayat yang berbicara tentang kepemimpinan Islam, hukum Islam, dan kewajiban umat untuk berpegang teguh pada syariat. Namun, penafsiran HTI terhadap ayat-ayat tersebut sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks historis dan sosial dari wahyu tersebut.
Sebagai contoh, HTI sering mengutip potongan terakhir dari Surah Al-Maidah ayat 44:
“Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”
HTI menafsirkan ayat ini sebagai dalil bahwa sistem hukum yang tidak berbasis syariat Islam adalah bentuk kekafiran dan harus diganti dengan hukum Islam secara menyeluruh. Padahal, banyak ulama menegaskan bahwa ayat ini memiliki konteks khusus yang berhubungan dengan kebijakan hukum yang tidak adil, bukan sekadar perbedaan sistem pemerintahan.
Konteks dalam memahami ayat-ayat Alquran sangat penting, karena Islam berkembang dalam masyarakat yang memiliki latar belakang sosial dan politik tertentu. Pemaksaan suatu sistem tanpa mempertimbangkan realitas sosial dapat mengarah pada kesalahpahaman dalam beragama dan bahkan menciptakan perpecahan di dalam umat Islam sendiri.
HTI Bukan Solusi terhadap Keberagaman NKRI, Maka Berhati-hatilah
Indonesia adalah negara yang dibangun di atas prinsip keberagaman dan toleransi. Dengan lebih dari 270 juta penduduk yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya, konsep negara Islam dalam versi HTI jelas bertentangan dengan realitas sosial Indonesia.
HTI mengusung gagasan khilafah yang mengabaikan keberagaman dan perbedaan, yang justru merupakan kekuatan utama Indonesia. Mereka sering kali mengklaim bahwa hanya dengan sistem Khilafah, keadilan dapat ditegakkan. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa berbagai sistem pemerintahan, termasuk khilafah, memiliki tantangan dan masalahnya sendiri.
Propaganda HTI yang menyederhanakan solusi politik dalam bentuk penerapan syariat Islam tanpa mempertimbangkan konteks Indonesia justru berpotensi menimbulkan konflik sosial. Oleh karena itu, masyarakat perlu berhati-hati terhadap ajaran HTI yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Islam yang diterapkan dalam konteks Indonesia adalah Islam yang inklusif, yang menghargai perbedaan, dan bukan Islam yang eksklusif serta memaksakan satu tafsir tertentu atas syariat Islam.
Usaha Demi Usaha Menepis Pemikiran HTI
Kemunculan kembali HTI di Surabaya ini menunjukkan bahwa ideologi yang mereka usung masih memiliki daya tarik di kalangan tertentu, meskipun secara hukum organisasi ini telah dibubarkan. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan masyarakat untuk terus membangun narasi Islam yang moderat dan kontekstual agar tidak mudah disusupi oleh pemikiran yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah lama menjadi pilar utama kehidupan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Nilai-nilai Islam yang dianut di Nusantara berakar pada ajaran moderasi (wasathiyah) yang menekankan keseimbangan, toleransi, serta penghormatan terhadap keberagaman. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, gerakan-gerakan transnasional seperti HTI yang mengusung ideologi khilafah telah menjadi tantangan serius bagi keberlanjutan Islam yang moderat di Indonesia.
Usaha menjaga Islam dari ancaman HTI dan ideologi khilafahnya memerlukan pendekatan yang komprehensif, baik dari sisi pendidikan, sosial, hukum, maupun politik. HTI dikenal sebagai organisasi yang tidak mengakui konsep negara bangsa (nation-state) dan mendorong terbentuknya sistem khilafah yang diklaim sebagai satu-satunya sistem yang sah dalam Islam. Padahal, konsep khilafah yang mereka usung bertentangan dengan realitas sejarah dan konteks sosial yang ada di Indonesia. Sejak awal, Islam di Nusantara berkembang dengan cara damai, melalui dakwah yang adaptif dengan budaya lokal, bukan dengan pemaksaan sistem politik tertentu.
Meskipun HTI secara resmi dilarang, ideologi mereka masih terus menyebar melalui berbagai media, baik secara daring maupun luring. Oleh karena itu, usaha menjaga Islam dari ancaman khilafah HTI tidak bisa berhenti hanya pada aspek hukum, tetapi juga harus melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam upaya deradikalisasi dan penyebaran narasi Islam yang moderat.
Salah satu cara paling efektif dalam menjaga ajaran moderasi Islam adalah melalui pendidikan. Kurikulum di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi harus diperkuat dengan nilai-nilai Islam yang berlandaskan kebangsaan, toleransi, dan semangat kebhinekaan. Pendidikan agama yang diajarkan harus mampu memberikan pemahaman bahwa Islam tidak hanya berbicara tentang sistem pemerintahan, tetapi juga tentang akhlak, persaudaraan, dan kontribusi terhadap kemaslahatan umat manusia. Program deradikalisasi bagi para pelajar dan mahasiswa juga harus digalakkan, terutama dengan melibatkan ulama-ulama moderat yang memiliki kredibilitas dalam menjelaskan ajaran Islam yang benar.
Di samping itu, peran tokoh agama dan ormas Islam sangat penting dalam menjaga Islam dari infiltrasi ideologi khilafah HTI. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi Islam terbesar di Indonesia telah berperan aktif dalam membendung pengaruh radikalisme dengan menyebarkan Islam yang moderat dan inklusif. Fatwa-fatwa keagamaan yang mereka keluarkan selalu mengedepankan keseimbangan antara teks keagamaan dan realitas sosial. Keduanya juga memiliki lembaga pendidikan dan sosial yang dapat menjadi benteng dalam mencegah infiltrasi paham-paham ekstremis.
Selain itu, media sosial sebagai ruang penyebaran informasi yang sangat luas juga harus dimanfaatkan dalam melawan propaganda khilafah. HTI dikenal sangat aktif menggunakan media digital untuk menyebarkan ideologinya, sehingga para dai, akademisi, dan pemikir Islam moderat perlu lebih aktif dalam memproduksi konten yang memberikan pemahaman yang benar tentang Islam. Dakwah digital yang berisi pesan-pesan tentang Islam yang damai dan moderat harus lebih banyak diproduksi agar dapat menandingi narasi ekstremis yang menyebar di berbagai platform media sosial.
Dari sisi hukum, pengawasan terhadap aktivitas kelompok-kelompok yang berpotensi menyebarkan ideologi khilafah harus diperketat. Aparat keamanan dan penegak hukum harus bekerja sama dengan berbagai lembaga terkait untuk mendeteksi dan mencegah penyebaran paham radikal sejak dini. Namun, upaya hukum ini harus tetap dilakukan dengan pendekatan yang humanis agar tidak menimbulkan resistensi yang lebih besar. Deradikalisasi bagi mantan simpatisan HTI juga perlu dilakukan melalui pendekatan dialog dan rehabilitasi agar mereka dapat kembali menjadi bagian dari masyarakat yang produktif.
Masyarakat secara umum juga memiliki peran yang tidak kalah penting dalam menjaga Islam dari ancaman ideologi khilafah. Sikap kritis terhadap informasi yang beredar harus ditingkatkan agar tidak mudah terpengaruh oleh propaganda yang menyesatkan. Selain itu, keterlibatan aktif dalam organisasi keagamaan dan sosial dapat membantu memperkuat pemahaman Islam yang lebih inklusif dan moderat. Dengan demikian, Islam yang berkembang di Indonesia tetap sesuai dengan karakter kebangsaan yang telah terjalin selama berabad-abad.
Dalam konteks global, banyak negara Muslim yang mengalami konflik akibat kelompok-kelompok yang memaksakan sistem khilafah. Negara-negara seperti Suriah, Irak, dan Libya menjadi contoh nyata bagaimana ideologi ekstremis dapat menghancurkan stabilitas sosial dan politik. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga Islam yang damai dan harmonis.
Oleh karena itu, usaha menjaga Islam dari ancaman HTI dan khilafahnya bukan hanya untuk kepentingan nasional, tetapi juga sebagai bagian dari kontribusi Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia. Secara keseluruhan, menjaga Islam dan ajaran moderasi dari ancaman HTI dan ideologi khilafahnya adalah tanggung jawab bersama.
Pendidikan, peran ulama dan ormas Islam, pemanfaatan media sosial, pendekatan hukum yang tepat, serta kesadaran masyarakat merupakan elemen-elemen utama dalam menghadapi tantangan ini. Dengan kerja sama yang kuat, Islam di Indonesia akan tetap menjadi cahaya yang membawa kedamaian dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Wallahu a’lam.