34 C
Jakarta

Kemerdekaan dan Nasionalisme dalam Islam

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanKemerdekaan dan Nasionalisme dalam Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Pertama-tama kita adalah seorang muslim, dan dalam kemusliman itulah Jiwa Nasionalis dan patriot untuk berjuang menuju kemerdekaan negeri tumpah darah kita, tidak hanya dalam perkataan hebat di Vergardering saja, tetapi pada tiap-tiap saat bersedia pula kita mengorbankan segala apa yang ada pada diri kita untuk mencapai Kemerdekaan Tumpah Darah kita.” (H. O. S. Tjokroaminoto, Fadjar Asia, 1929)

Agustus 1945 menjadi masa-masa bersejarah bagi bangsa Indonesia yang kala itu telah memproklamasikan kemerdekaannya setelah sekian lama berada dalam cengkraman kuasa penjajah. Merdeka, dalam arti kita sebagai bangsa yang mandiri, bisa mengatur dan membangun negara sendiri tanpa interfensi negara lain.

Merdeka artinya adalah bebas, independen, berdiri sendiri, baik dari segi politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, sosial, dan ruang lingkup berbangsa dan bernegara lainnya. Sebuah bangsa yang nasibnya masih bergantung pada bangsa lain atau ditentukan oleh bangsa lain jelas bukanlah bangsa yang merdeka. Indonesia, sebagaimana dituliskan dalam Pembukaan UUD 1945, telah sampai pada pintu gerbang kemerdekaan. Jadi dapat dikatakan pembacaan proklamasi pada 17 Agustus 1945, bahwa Indonesia baru saja memasuki pintu awal kemerdekaan. Bangsa ini harus berjuang terus untuk meraih kemerdekaan sepenuhnya juga untuk mempertahankannya.

Perjuangan meraih kemerdekaan telah dimulai sejak lama, bahkan sejak pertama kali bangsa penjajah menginjakkan kaki mereka di tanah Nusantara. Perlawanan yang dilakukan oleh berbagai tokoh di daerahnya masing-masing merupakan salah satu upaya meraih kemerdekaan mereka. Perlawanan yang digelorakan oleh Fatahillah, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, dan lainnya adalah upaya awal agar rakyat terbebas dari penjajahan.

Dalam masa kebangkitan nasional, awal abad ke-20, perjuangan kemerdekaan menemukan cara barunya. Yang tadinya berupa perlawanan bersenjata dan masih dalam lingkup lokal, kini menjadi perlawanan secara diplomatis dalam lingkup nasional. Berbagai organisasi didirikan untuk membantu rakyat Indonesia, dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, hingga keagamaan. Ada suatu perbedaan pendapat disini, diantara seluruh organisasi perjuangan yang ada yang manakah yang menjadi pelopor kebangkitan nasional. Sebagian mengatakan bahwa Budi Utomo yang didirikan pada 1908 adalah organisasi pertama yang jadi pelopor kebangkitan nasional. Sebagian lain menyanggahnya karena Syarikat Dagang Islam lebih dahulu dibentuk pada 1905 oleh Haji Samanhudi yang kelak menjadi Syarikat Islam, organisasi dengan jumlah massa terbesar dan paling berpengaruh pada masanya. Hal ini bukan jadi masalah sebab keduanya memiliki bukti yang kuat.

Namun berbicara peran organisasi Islam dan para tokohnya dalam kebangkitan nasional dan kemerdekaan Indonesia memang tidak bisa kita pungkiri peran besar mereka. Tidak aneh sebab di tanah Nusantara ini umat Islam menjadi mayoritas. Seringkali pula Islam dijadikan sebagai landasan gerakan dalam melawan penjajahan.

Syarikat Islam (SI), dipercayai sebagai organisasi pertama yang menuntut pemerintahan sendiri (Zelfbestuur) untuk rakyat Indonesia. Syarikat Islam yang kala itu dipimpin oleh H. O. S Tjokroaminoto, dalam kongres mereka yang dihadiri ribuan anggotanya dari seluruh cabang yang ada di tanah Hindia-Belanda, kerap kali menuntut pihak pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan mereka hak pemerintahan sendiri, agar rakyat pribumi bisa menentukan nasib mereka sendiri. Jelas ini tuntutan kemerdekaan politik. Pada akhirnya nanti pemerintah Hindia-Belanda membentuk Volksraad, sebuah dewan perwakilan untuk memberikan saran penentuan kebijakan bagi pemerintah. Namun begitu, dewan ini dianggap sebagai bualan semata, atau menurut Haji Agus Salim tidak lebih sebagai “komedi omong kosong”. Hasil-hasil persidangan Volksraad, juga saran-saran pendapat tidak pernah didengarkan pemerintah Hindia-Belanda.

H. O. S. Tjokroaminoto saat itu menjadi sangat dikenal karena berhasil membawa SI jadi organisasi yang besar, hingga disebut-sebut sebagai “Raja Jawa Tanpa Mahkota”, “Ratu Adil”, juga sebagai “Jang Oetama”. Dari rahim Syarikat Islam pimpinan Tjokroaminoto ini muncullah berbagai organisasi perjuangan lain, baik yang sifatnya Islamis, nasionalis, hingga komunis. Dari kalangan Islamis muncullah Haji Agus Salim, dari kalangan nasionalis muncullah Soekarno, dan dari kalangan komunis muncullah Semaun.

Haji Agus Salim sendiri nantinya mendirikan dan menjadi Pembina Jong Islamieten Bond, perkumpulan pemuda Islam yang nantinya juga banyak menetaskan tokoh-tokoh bangsa seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem yang menjadi pimpinan Masyumi yang kelak juga berperan penting dalam membangun Indonesia di awal kemerdekaan. Ada pula organisasi Islam seperti Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al Irsyad, dan lainnya yang juga telah berjuang banyak untuk Indonesia hingga saat ini.

Maka, secara historis sudah jelas sekali tidak ada pertentangan antara Islam dengan nasionalisme. Begitupun secara ideologi, Islam tidak sama sekali menentang nasionalisme. Justru Islam dijadikan sebagai dasar nasionalisme sebagai wujud penghambaan kepada Allah swt, agar tidak ada lagi manusia yang saling menindas dan menjajah. Sebagaimana Tjokroaminoto menuliskan dalam media Fadjar Asia pada tahun 1929, “…dan dalam kemusliman itulah Jiwa Nasionalis dan patriot untuk berjuang menuju kemerdekaan negeri tumpah darah kita…”.

Nasionalisme yang berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata bangsa sendiri memiliki arti kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi.

BACA JUGA  Mengatasi Kemiskinan dengan Memiskinkan Koruptor atau Menaikkan Gaji Pejabat?

Tentu saja secara dalil paham nasionalisme kebangsaan ini mendapat legitimasi dari Al Quran surat Al Hujurat ayat ke-13 yang artinya “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal…”

Namun nasionalisme yang dibolehkan Islam tentulah nasionalisme yang baik, bukan nasionalisme buta yang akan berujung pada fasisme sebagaimana yang terjadi pada kaum Partai Nazi Jerman.

Seorang tokoh pergerakan Islam asal Mesir, Hasan Al Banna, dalam karyanya Majmu’aturrasail, memberikan penjelasan tentang nasionalisme dan Islam:

“Jika yang dimaksud dengan nasionalisme oleh para penyerunya adalah cinta tanah air, keberpihakan padanya dan kerinduan yang terus menggebu terhadapnya maka hal itu sebenarnya sudah tertanam dalam fitrah manusia. Lebih dari itu Islam juga menganjurkannya demikian.

Jika yang mereka maksudkan dengan nasionalisme adalah keharusan berjuang membebaskan tanah air dari cengkraman imperialisme, menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putra bangsa maka kami pun sepakat tentang itu. Islam telah menegaskan perintah itu dengan setegas-tegasnya.

Jika yang mereka maksudkan dengan nasionalisme adalah memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat atau warga negara serta menunjukkan kepada mereka cara-cara memanfaatkan ikatan itu untuk mencapai kepentingan bersama maka di sini pun kami sepakat dengan mereka. Islam bahkan menganggap itu sebagai kewajiban.

Jika yang mereka maksudkan dengan nasionalisme adalah membebaskan negeri-negeri lain dan menguasai dunia maka itu pun telah diwajibkan oleh Islam.

Tapi jika nasionalisme itu adalah memilah umat menjadi kelompok-kelompok yang saling bermusuhan dan berseteru satu sama lain, mengikuti sistem-sistem nilai buatan manusia yang diformulasikan sedemikian rupa untuk memenuhi ambisi pribadi sementara musuh mengeksploitasi masyarakat untuk kepentingan mereka dan berusaha untuk terus menyalakan api permusuhan sehingga umat berpecah belah dalam kebenaran dan hanya dapat bersatu dalam kebatilan, sampai umat tidak dapat menikmati buah persatuan dan kerja sama, bahkan mereka hanya ibarat menghancurkan rumah yang telah dibangunnya sendiri, maka itu pasti nasionalisme palsu yang tidak akan membawa secuil pun kebaikan, baik bagi penyerunya maupun bagi masyarakat luas.”

Jelaslah bahwa nasionalisme Islam bukanlah nasionalisme yang fasis, melainkan nasionalisme untuk membangun kesejahteraan bangsa Indonesia juga dunia. Hal ini senada sebagaimana konsep kebangsaan Soekarno saat menjelaskan perihal kebangsaan dalam Pancasila, “Baik bagi saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, kita hendak mendirikan suatu negara semua untuk semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan kaya, tetapi semua buat semua. Dasar pertama yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia ialah dasar kebangsaan. Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinism. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.” (Yudi Latif, 2011)

Apalagi Islam menjadi agama yang telah mengakar kuat dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Hal ini sebab penyebaran Islam di Nusantara tidak melalui ekspansi militer atau kekuasaan, melainkan melalui cara-cara damai seperti perdagangan, pendidikan, perkawinan, kebudayaan, dan tasawuf sehingga Islam telah terserap dalam di tanah Nusantara ini mewarnai keragamannya. Tidak heran jika Pancasila sebagai dasar negara, yang menurut Soekarno diambil dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia sendiri, menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu silanya, bahkan sebagai sila pertamanya. Ketuhanan Yang Maha Esa, yang ditegaskan oleh Buya Hamka sebagai konsep Tauhid dalam Islam dan perjuangan umat Islam didasarkan atasnya.

“Pancasila sebagai filsafat negara Indonesia akan hidup dengan suburnya dan dapat terjamin sekiranya kaum muslimin sungguh-sungguh memahamkan agamanya, sehingga akan menjadi pandangan dan mempengaruhi seluruh langkah hidupnya.” (Buya Hamka, Urat Tunggang Pancasila, 1951)

Maka jelaslah, sebagai umat Islam wajiblah sekiranya kita mencintai tanah air kita, Indonesia, berjuang untuknya, dan mempertahankan kemerdekaannya. Meneruskan apa yang telah dibangun dan diperjuangkan oleh para pendahulu kita.

Syaidina Sapta, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru