34 C
Jakarta

Kembalinya Rezim Otoritarianisme di Mesir

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahKembalinya Rezim Otoritarianisme di Mesir
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Selama beberapa dekade Mesir dipimpin oleh rezim berlatar belakang militer, mulai dari Mohamad Naguib, Gamal Abdul Naser, Anwar Sadat dan Hosni Mubarok. Rezim militer ini terkenal sebagai rezim yang menjalankan sistem pemerintahan otoriter. Mulai dari Naser yang menggulingkan raja Farouk. Kepemimpinan bertangan besi ini kemudian terus berlanjut hingga masa kepemimpinan Hosni Mubarok yang berakhir pada tahun 2011 ketika terjadi gelombang revolusi Arab (Arab Spring).

Tuntutan demokrasi di negara piramida itu terus menyeruak dari berbagai kalangan, karenanya ketika terjadi gelombang Arab Spring yang dimulai dari Tunisia dan berhasil menumbangkan rezim Ben Ali kemudian mengilhami masyarakat Mesir untuk melakukan gerakan serupa. Ajakan yang bermula dari postingan Facebook ini akhirnya menghasilkan sebuah gerakan di Tahrir Square selama 13 hari dalam rangka memprotes pemerintahan Mubarak yang otoriter dan korup. Tidak kuasa membendung protes rakyat Mesir akhirnya Mubarak harus mengakhiri kekuasaan yang telah digenggamnya selama 30 tahun.

Tuntutan demokratisasi di Mesir semakin menggaung setelah terjadinya Arab Spring. Pasca lengsernya Mubarak, Mesir pertama kali mengadakan pemilu yang memenangkan Mohamad Mursi. Mursi merupakan sosok yang diusung oleh partai FJP dimana FJP merupakan partai sayap kanan dari Ikhwanul Muslimin. Mursi adalah presiden pertama dan satu-satunya dari kalangan sipil dimana pada masa sebelumnya Mesir selalu didominasi oleh kalangan militer. Tuntutan demokratisasi pada era Mursi tidak mampu dituntaskan dengan baik, ketimpangan ekonomi merupakan salah satu masalah terbesar di Mesir. Selain itu pada era kepemimpinannya yang singkat Mursi kerapkali memunculkan kebijakan yang membuat kalangan militer kepanasan, misalnya Mursi melemahkan Dewan Agung Miilter (SCAF) dari kekuasaan legislatif melalui dekritnya.

Tindakan Mursi ini mengakibatkan sebagian rakyat marah utamanya yang berhaluan liberal. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh militer Mesir untuk kembali merebut tampuk kekuasaan. Puncaknya pada 3 Juli 2013 militer yang dipimpin oleh El Sisi melakukan kudeta terhadap Presiden Mursi yang dipilih secara demokratis. Banyak kalangan menganggap bahwa kudeta yang dilakukan oleh militer terhadap Mursi menciderai demokrasi yang baru saja akan tumbuh di Mesir. Mesir terancam kembali ke rezim otoriter dibawah kendali El Sisi, dan benar saja dalam menjalakan pemerintahan El Sisi menerapkan kebijakan yang otoriter dan represif utamanya terhadap lawan politiknya yaitu Ikhwanul Muslimin.

Ada beberapa indikator sebuah rezim disebut otoriter birokratik, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah buku karya Mohtar Masoed berjudul “Ekonomi dan Politik (Orde Baru 1966 – 1971), O’Donell menyebutkan ciri atau indikator pemerintahan disebut otoriter adalah¸ pertama, pemerintah dipegang oleh militer tidak sebagai pribadi tapi sebagai lembaga yang berkolaborasi dengan teknokrat sipil. Kedua, Pemerintah  didukung  oleh entrepreneur oligopolistik,  yang  bersama  negara berkolaborasi   dengan   masyarakat   bisnis  internasional. Ketiga, Pengambilan keputusan dalam rezim otoriter birokratik bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan  pendekatan  politik  dalam  pembuatan  kebijaksanaan  yang  memerlukan suatu  proses bargaining yang  lama  di  antara  berbagai  kelompok  kepentingan. Keempat, Masa  didemobilisasikan melalui  kebijakan  dan  ketetapan  undang-undang, pemerintahan membatasi kebebasan sipil dalam dunia politik. Kelima, Untuk mengendalikan opisisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif. Tindakan represif bisa berupa penghilangan orang, penangkapan bahkan pembunuhan dengan dalih menyelamatkan keutuhan bangsa.

Mengacu pada kelima indikator diatas, kita bisa melihat bahwa Mesir dibawah rezim El Sisi banyak melakukan tindakan otoriter. El Sisi tampil mewakili kalangan militer dan menjalankan pemerintah yang bersifat militeristik. Ia juga menempatkan beberapa teknokrat sipil sejak dirinya berkuasa. Selain itu El Sisi juga melakukan demobilisasi masa dan membatasi ruang gerak oposisi. Dalam hal ini El Sisi membubarkan partai kebebasan dan keadilan (FJP) yang merupakan partai sayap Ikhwanul Muslimin. Berikutnya El Sisi juga tidak segan melakukan tindakan represif terhadap oposisi Ikhwanul Muslimin karena dianggap menentang kebijakan pemerintah. Diantara bentuk tindakan represif rezim El Sisi atas anggota IM adalah dengan melakukan penyiksaan, pembunuhan, penangkapan sepihak hingga vonis hukuman yang tidak adil.

Mesir tengah mengulangi otoritarianisme yang diwarisi oleh Mubarak, harapan demokrasi Mesir terkubur dan mati dibawah kepemimpinan El Sisi. Padahal di era El Sisi tidak ada pencapaian yang berarti. Dari sisi keamanan dalam empat tahun terakhir Mesir diserang oleh kelompok teroris yang tidak hanya menyerang gereja tapi juga Masjid. Selain itu dari sisi ekonomi Mesir mengalami kemunduran, mulai dari harga barang yang melambung tinggi dan mengalami peningkatan inflasi yang menyebabkan nilai mata uang Mesir terjun bebas terhadap mata uang asing utamanya dolar amerika. Selain itu dari sisi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) El Sisi dinilai sangat buruk, karena tidak jarang terjadi tindakan represif terhadap kelompok oposisi sebagaimana yang saya sebutkan diatas.

Dibawah pemerintahan El Sisi demokrasi dibungkam, pemilihan presiden pada tahun 2018 misalnya ia hanya maju sebagai calon tunggal. Karena beberapa kandidat calon presiden yang hendak maju melawan petahana pada pilpres mendapat intimidasi dan perlakuan tidak adil. Sebut saja Sami Anan yang digadang-gadang menjadi calon terkuat melawan El Sisi. Anan dikriminalisasi dengan tuduhan korupsi. Anan merupakan calon terkuat berlatar belakang militer yang memiliki jaringan kuat di Eropa dan Amerika. Selain itu Hisyam Gunaynah yang digadang-gadang menjadi cawapres dari Anan mendapatkan intimidasi dari orang tak dikenal, ia diserang sehingga membahayakan nyawanya. Singkatnya hanya ada dua kandidat yang melawan El Sisi pada pilpres 2018 yaitu Ahmad Fudhali dan Musa Mushtofa Musa yang ternyata kedua kandidat ini berasal dari partai yang mendukung Mursi yaitu partai demokratis. Jadi pada hakikatnya meskipun ada pemilu tapi tidak ada demokrasi yang substantif, lebih daripada itu tidak ada kompetisi gagasan untuk kemajuan Mesir. Demokrasi telah gagal tumbuh dan berkembang di Mesir pasca revolusi 2011. Terjadinya ketimpangan ekonomi, pelanggaran HAM, dan isu keamanan pada era El Sisi sebenarnya bisa menjadi pemantik revolusi berikutnya jika tidak ada perbaikan.

Akhmad Saikuddin, Pengkaji Studi Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru