26.7 C
Jakarta

Meneguhkan Kembali Peran Ulama Perempuan Masa Kini

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMeneguhkan Kembali Peran Ulama Perempuan Masa Kini
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kepempinan dan keulamaan perempuan sebenarnya sudah mewarnai sejarah Indonesia, bahkan sebelum masa kemerdekaan. Kala mengusir penjajah Portugis, Spanyol, Jepang, maupun Belanda, para perempuan telah terlibat di dalamnya. Kepemimpinan perempuan misalnya dilakukan Keumalahayati (Malahayati).

Pada tahun 1585-1604 memimpin 2.000 Inong Balee (para perempuan dan janda pahlawan Aceh) bertempur melawan Cornelis de Houtman dari Belanda. Keberhasilannya melawan Houtman dalam perang satu lawan satu di geladak kapal menghantarkannya pada anugerah gelar Laksamana. Selain Laksamana Malahayati, perempuan lainnya yang berperang melawan penjajah yakni Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia.

Adapun keulamaan perempuan pada masa itu, ditandai dengan mendirikan sekolah, mengajarkan mengaji, baca tulis, kerajinan tangan, dan keahlian lainnya, misalnya Siti Walidah (isteri KH Ahmad Dahlan). Nyai Walidah mengajarkan itu semua kepada para perempuan setiap hari di bada Ashar melalui pengajian Wal Asyhri dan Perkumpulan Sapa Tresna sejak tahun 1914.

Hingga secara resmi pada 19 Mei 1917 bertepatan dengan 27 Rajab 1333 H di Yogyakarta, Aisyiyah didirikan. Di Sumatera Barat, Rahmah El-Yunusiyah mendirikan lembaga pendidikan bagi anak perempuan bernama Diniyah Putri Padang Panjang.

Akan tetapi, kini, keulamaan perempuan menjadi mahal harganya. Jika pun ada ulama perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang sering memberikan ceramah ataupun pengajian di tingkat akar rumput, hanya disebut sebagai ustadzah. Ulama menjadi domain laki-laki. Lantas, apakah Islam tidak mengenal kepepimpinan dan keulamaan perempuan?

Dukungan Islam untuk Perempuan

Dalam al-Quran tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki. Mereka memiliki persamaan sebagai makhluk ciptaan Allah, kecuali dibedakan dari taqwanya (QS. al-Hujurat [49]: 13); persamaan beban dan tanggung jawab untuk mewujudkan kehidupan yang baik dengan melakukan kerja-kerja positif (QS. an-Nahl [16]: 97); dan juga sama-sama menjadi khalifah di muka bumi yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memakmurkan bumi.

Implementasi dari ayat di atas telah dicontohkan Rasulullah dalam menggambarkan perempuan sebagai sosok yang aktif, sopan, dan terpelihara akhlaknya.  Rasulullah mengakui kepintaran Aisyiyah, ia meriwayatkan 2.210 hadist Nabi yang shahih dan tempat bertanya para sahabat.

Figur ideal seorang muslimah disimbolkan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian politik, al-istiqlal al-siyasah (QS al-Mumtahanah [60]:12), seperti figur Ratu Balqis yang memimpin kerajaan superpower (arsyun azhim) (QS. Al-Naml [27]:23); memiliki kemandirian ekonomi, al-istiqlal al-iqtishadi (QS. Al-Nahl [16]: 97), seperti figur perempuan pengelola peternakan dalam kisah Nabi Musa di Madya (QS. Al-Qashash, [28]:23).

Bagi perempuan yang sudah menikah, memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan pribadi, al-istiqlal al-syakhshi yang diyakini kebenarannya, sekalipun berhadapan dengan suami (QS. Al-Tahrim [66]:11) atau menentang pendapat orang banyak (public opinion) bagi perempuan yang belum menikah (QS. Al-Tahrim, [66]:12). Al-Quran juga mengizinkan kaum perempuan melakukan gerakan oposisi terhadap segala bentuk sistem yang bersifat tirani demi tegaknya kebenaran (QS. Al-Taubah, [9]:71).

Sebagai seorang ulama perempuan, Faqihuddin Abdul Kodir (Swara Rahima, 2007) menarasikan bahwa Aisyiyah bint Abi Bakr ra. memiliki 299 murid, Ummu Salamah bint Abi Umayyah ra. 101 murid, Hafsah bint Umar ra. dengan 20 murid, Asma bint Abi Bakr ra. 21 murid, Hajimah al-Wassabiyyah ra. dengan 22 murid, Ramlah bint Abi Sufyan ra. 21 murid, dan Fatimah bint Qays ra. dengan 11 murid.

Umm Waraqah juga sudah bertindak sebagai imam bagi perempuan dan laki-laki di masa Rasulullah (Ibn Sad, at-Thabaqat, jilid 8 hal. 335). Selain soal agama, keulamaan perempuan juga muncul dalam hal pengetahuan. Di bidang fiqh ada Zainab bint Abi Salamah al-Makhzumiyyah (w.73 H), Hajmiyah bint Hayy al-Awshabiyyah al-Dimasyqiyyah (w. 81 H), dan Umrah bint Abd al-Rahman (w. 100 H). Ketiganya adalah ulama besar yang langsung mendidik Umrah bint Abd al-Rahman dan Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Malik.

Para perempuan juga sudah aktif bekerja di wilayah publik. Siti Khadijah, isteri Rasulullah adalah perempuan yang tangguh di bidang perniagaan dan menafkahi perjuangan Rasulullah dari usahanya. Nusaibah binti Kaab, memanggul senjata melindungi Rasulullah dalam perang Uhud. Al-Rabi binti al-Muawwidz, Ummu Sinan, Ummu Sulaim, Ummu Athiyyah, dan sekolompok perempuan lainnya turun beberapa kali dalam berperang. Serta Zainah isteri Ibn Masud dan Asma binti Abu Bakar keluar rumah untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

BACA JUGA  Rekonstruksi Peran Perempuan Menuju Indonesia Emas 2045

Sayangnya, hal di atas tidak bertahan lama. Masa kepemimpinan perempuan yang sangat diapresiasi hanya terjadi di saat Rasulullah hidup, sejak kepergian Rasulullah dan sejalan dengan perpolitikan di masa itu kehadiran pemimpin dan ulama perempuan mulai berkurang. Adalah Umar bin Khatab yang mula-mula memisahkan shab sholat menjadi depan dan belakang antara laki-laki dan perempuan.

Lalu, pada masa selanjutnya perempuan makin tersingkir dari masjid, wilayah politik, dan terhalang menjadi pemimpin/ulama. Kepemimpinan perempuan benar-benar di(ter)hapus dalam kesejarahan Islam.

Parahnya lagi seolah kita melupakan hadirnya para pemikir perempuan yang pantas disebut sebagai ulama semisal Sayyidah Nafisah yang menjadi guru bagi ulama terkenal al-Shafii ketika mengikuti halaqoh di kota Fustat, Shaykhah Shuhda yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu (sastra, stilistika sampai puisi), Rabiah al-Adawiyah dalam kajian sufi.

Serta Asy-Syifa, perempuan bijak yang ditunjuk Umar bin Khatab untuk mengatur jalur lalu lintas perdagangan kota Madinah yang sibuk, jabatan Syifa kini bisa disetarakan dengan menteri perdagangan.

Penting, Apresiasi untuk Ulama Perempuan

Kini, ketika ulama perempuan makin hilang, ulama laki-laki pun sangat bias, diskriminatif, dan menimbulkan kekerasan pada perempuan ketika memberikan fatwa keagamaan terkait urusan perempuan. Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Majelis Ulama Wahabi, Syeikh Abdul Aziz Al- Syeikh, berfatwa menghalalkan seorang suami memotong bagian tubuh isterinya untuk dimakan bila suami dalam keadaan kelaparan yang sangat. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia Nomor 9A Tahun 2008 membolehkan sunat perempuan.

Selain itu, sering pula kita dengar, ada ulama yang menyamakan perempuan korban perkosaan yang penghukumannya dengan pelaku perzinahan. Padahal, perkosaan dan zina adalah dua hal yang sangat berbeda dalam terminologi tafsir, hadist, dan fiqh.

Akibatnya perempuan korban makin menderita, tidak mendapatkan hak atas kebenaran keadilan dan pemulihan bahkan mendapatkan berbagai stigma negatif. Hal lain misalnya larangan perempuan beraktivitas di luar rumah dan menghendaki perempuan hanya melulu di wilayah domestik atas nama menjadi isteri shalehah.

Berangkat dari hal itu, usaha mencatat sejarah dan tokoh ulama perempuan yang konsisten berdakwah, bahkan di akar rumput telah dilakukan. Misalnya Rahima tahun 2014 berhasil membukukan kiprah 40 ulama perempuan di daerah Jawa dan sekitarnya. Mereka senantiasa berjuang, melindungi perempuan, dan berijtihad untuk kemaslahatan umat.

Memang, sudah saatnya ulama perempuan diapresiasi, bukan hanya sebatas ustadzah, tetapi seorang ulama yang punya otoritas keagamaan. Itu sebabnya, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang akan dilaksanakan di Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon, 25-27 April 2017 (28-30 Rajab 1438 H) adalah momentum penting.

KUPI yang dihadiri lebih dari 500 peserta, ulama (mayoritas perempuan) dari belahan dunia dan seluruh provinsi di Indonesia sengaja dirancang untuk membahas dan memberikan jawaban bagi persoalan perempuan yang berkeadilan tanpa bias kepentingan patriarkhi, sesuai tuntunan Rasulullah dan tujuan agama Islam.

Hari pertama, fokus pada berbagi pengetahuan dan praktik pembelajaran terbaik dari berbagai dunia dan nusantara. Hari kedua, membahas metodologi perumusan keagamaan (baca: fatwa) terkait persoalan perempuan untuk kemaslahatan umat, serta sejarah keulamanaan perempuan di Indonesia.

Dilanjutkan dengan mendiskusikan peran ulama dan tanggung jawab agama terkait kekerasan seksual, perkawinan anak, buruh migrant, perempuan di pedesaan, ancaman radikalisme dan terorisme, pencemaran lingkungan, pencegahan konflik dan upaya perdamaian, pendidikan perempuan, serta respon respon pesantren terhadap keulamaan perempuan yang dibahas pada sesi-sesi terpisah.

Pada hari ketiga, perumusan musyawarah keagamaan, rekomendasi hasil KUPI, dan ikrar ulama perempuan lalu dilanjutkan dengan peluncuran buku tentang kiprah ulama perempuan di Indonesia. Harapannya, sebagai sebuah langkah ikhtiar dan ijtihad KUPI pertama bisa menjawab keresahan umat terkait persoalan perempuan. Semoga.

Yulianti Muthmainnah, S.H.I, M.Sos
Yulianti Muthmainnah, S.H.I, M.Sos
Dosen dan ketua Komunitas ‘Aisyiyyah Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta. Kepala Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP). Alumni Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) Rahima. Alumni Pelatihan Tingkat Tinggi Kader Tarjih DKI Jakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru