32.9 C
Jakarta

Covid-19, Pluralitas, dan Narasi Radikal

Artikel Trending

KhazanahTelaahCovid-19, Pluralitas, dan Narasi Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Kemajemukan Indonesia membuat negara kuat, tetapi di sisi lain sangat rentan untuk diadu domba termasuk menggunakan ujaran kebencian dan berita bohng, apalagi ada kepentingan politik atau kelompok radikal di belakangnya.” begitu statement Frans Magnis Suseno, budayawan dan filsuf yang kerap kali tulisannya menjadi perbincangan serius di kalangan akademisi. Apakah pluralitas tersebut juga berdampak terhadap penanganan Covid-19?

Penanganan pandemi Covid-19 yang tidak kunjung usai salah satunya mendapat tantangan besar dengan kondisi kemajemukan Indonesia. Hoaks penanganan Covid-19 yang bertebaran di media sosial. adu domba dari berbagai kelompok yang berkaitan dengan isu sara, belum lagi dengan respon penanganan Covid-19 yang tidak semuanya mengkritik. Lebih jauh kelompok-kelompok yang berbeda ini semakin memperlihatkan taringnya mencari celah penanganan Covid-19 oleh pemerintah.

Kelompok ekstremis-radikalis-teroris manfaatkan pandemi untuk sebar ideologi

Hati-hati! Kata tersebut selalu menjadi makna pada setiap informasi yang menyiratkan tentang kelompok-kelompok yang memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk menyebarkan ideologinya. Seperti dilansir dari Harakatuna, Arab Saudi ingatkan bahwa teroris menfaatkan momentum pandemi untuk menyebarkan ideologinya. Peringatan ini sebenarnya menjadi kacamata global, termasuk Indonesia yang memiliki fakta kemajemukan yang sangat beragam.

Adanya media sosial, game online menjadi alternatif yang sangat ciamik bagi kelompok tersebut dalam menyebarkan ideologinya. Tantangan kita sangat banyak,  salah satunya yakni radikalisme. Ideologi menjadi musuh besar dan tantangan yang amat nyata pada kondisi Covid-19. Kelompok ini  memiliki kriteria wajib bernuansa islami.

Salah satu contohnya, yakni antek-antek HTI yang selalu mengusung pendirian negara khilafah atas dasar ketidakbecusan pemerintah dalam menangani pandemi. Segala macam narasi disebarkan agar masyarakat, pembaca percaya bahwa solusi dari seluruh penanganan pandemi Covid-19 adalah negara khilafah.

Sebenarnya kelompok diatas hampir sama dengan kelompok radikalis yang lain, akan tetapi bedanya kelompok ini menyebarkan Islam secara soft dengan relasi kemanusiaan yang begitu kuat. Mereka tidak berdakwah secara keras, sehingga bayak diminati apalagi bagi para kaum hijrah yang sedang mencari jati diri sebagai Muslim.

Kelompok lain adalah terorisme. Seperti halnya kebanyakan dipahami. Kelompok ini menggunakan kekerasan sebagai alat juang. Segala hal yang bertentangan/tidak sama dengan Islam, maka solusinya adalah pengeboman. Lalu mereka mati syahid.  Meski demikian, benih-benih terorisme ini sebenarnya bisa dilihat dari beberapa ideologi yang dimiliki seseorang.

BACA JUGA  Pesan untuk Anak Muda: Tren Kampanye Tiktok Perlu Disikapi dengan Kritis

Seperti ideologi takfiri salah satunya. Ideologi ini suka mengkafirkan sesuatu yang tidak sama dengan masa Rasulullah, pokoknya kalau tidak sama dengan ajaran Islam, tidak termaktuf dalam ahdis dan Al-Qur’an, hukumnya kafir. Begitu kira-kira.

Ideologi semacam ini,  memiliki payung kelompok Salafi-Wahabi. Kelompok ini bukan teroris, akan tetapi menjadi pintu masuk terorisme. Wahabi maupun Salafi sama-sama menyesatkan kegiatan yang tidak sama dengan Rosulullah.

Eksklusifitas yang dimiliki oleh kelompok diatas menyalahkan kebebasan beragama yang dimiliki oleh setiap orang. Menuduh kafir, musyrik, dan bid’ah secara tidak langsung memberikan otoritas penuh pada dirinya dalam menilai keberagamaan seseorang.

Toleran wajib menjadi pegangan, tapi tidak pada kelompok di atas

Pada kondisi pandemi Covid-19, seluruh kegiatan mereka tentu bisa dipahami secara virtual seperti organisasi kebanyakan. Lengah untuk terus memproduksi narasi yang bisa dibaca oleh semua adalah bentuk kekalahan yang harus diperjuangkan terus menerus secara massif. Sikap toleran yang diusung dan menjadi pegangan para warga nahdliyin dan para kelompok moderat lainnya menjadi dasar penting untuk ditegakkan dalam melihat kondisi kemajemukan Indonesia.

Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk selalu toleransi sesama umat seagama dan antarumat beragama, serta saling mencintai dan menyayangi antar sesama pemeluk agama. Selanjutnya, Islam juga menanamkan nilai-nilai kesabaran dan kebebasan berpendapat (Abu Bakar: 2016). Sehingga dari sikap toleran, kita tidak mudah tergerus pada ideologi yang mengusung pendirian negara baru dalam bentuk apa pun dan kesalahan seperti apa pun.

Namun, sikap toleran semacam ini tentu tidak berlaku pada kelompok-kelompok di atas yang membuat kegaduhan, kondisi makin kacau. Berbagai upaya untuk  membumihanguskan kelompok-kelompok di atas harus terus dilakukan.

Meskipun sebenarnya, kelompok ini akan terus menghiasi peradaban Islam sepanjang zaman, upaya-upaya preventif harus terus dilakukan dengan melihat kondisi zaman dan media yang dimanfaatkan secara totalitas dalam menolak kelompok-kelompok tukang gaduh dan memicu keributan tersebut. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru