26.9 C
Jakarta

Kelompok Radikalis Telah Mereduksi Makna Jihad

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanKelompok Radikalis Telah Mereduksi Makna Jihad
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sampai detik ini, berita Virus Corona masih mengguncang dunia, mulai Wuhan China, Arab Saudi, sampai Indonesia. Serangan virus ini secara tidak langsung membuat warga negara Indonesia lupa atas serangan radikalisme yang sampai detik ini juga masih belum usai. Bukankah kelompok paham radikal sering memahami jihad sebatas perang melawan Thaghut dan aksi teror yang merugikan banyak pihak?

Kali ini saya coba hidangkan telaah jihad yang dikehendaki oleh Islam. Jihad secara historis sudah dikenal semenjak Nabi Muhammad berdakwah di tengah-tengah para kaum musyrikin. Pada masa itu jihad, salah satunya, diimplementasikan dalam bentuk peperangan. Perang pertama yang terjadi pada 17 Ramadhan 2 H adalah Perang Badar. Perang ini meletus setelah turunnya ayat Al-Qur’an yang mengizinkan perang mengangkat senjata, seperti surah al-Hajj ayat 39-40.

Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa, Mahaperkasa.

Secara tegas, ayat di atas tidak memerintahkan berperang tanpa ada alasan yang logis. Peperangan diperbolehkan hanya dalam rangka mempertahankan diri, agama, dan tanah air. Demikian kurang lebih yang tersebut dalam Damai Bersama Al-Qur’an. 

Benarkah jihad itu sebatas perang? Tidak. Jihad itu memiliki cakupan makna yang amat luas. Secara literal, jihad dalam KBBI dipahami dalam arti: tidak main-main, dengan segenap hati, dengan tekun, benar-benar. Sekian makna literal ini memberikan pengertian bahwa sesuatu disebut jihad bila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak main-main. Seorang dai baru dapat disebut mujahid (pejihad) bila ia menyampaikan dakwahnya dengan sungguh-sungguh sehingga membuahkan hasil yang maksimal. Demikian pula, mahasiswa dapat disebut mujahid bila ia benar-benar mengerjakan tugas-tugas kuliahnya agar mendapatkan hasil yang memuaskan.

Peperangan yang menyejarah padamasa Nabi saw. berawal dari serangan para kaum musyrikin yang hendak membabat habis jiwa orang Islam, lebih-lebih Nabi. Artinya, Nabi tidak menganjurkan berperang dalam berdakwa, melainkan menjaga jiwa agar selamat. Pada hakikatnya, tidak ada peperangan pada masa Nabi, melainkan sebatas menjaga diri, agama, dan negara. Inilah yang dimaksud jihad pada masa itu.

BACA JUGA  Tafsir Lingkungan di Tengah Kebijakan Penguasa

Nihilnya, pesan jihad tersebut disalahpahami oleh generasi pasca-wafatnya Nabi saw. Jihad, bagi kelompok radikal, hanya dapat diimplementasikan dalam bentuk kekerasan, seperti peperangan, bahkan mereka berdalih itu adalah sunnah Nabi yang terekam pada ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an. Kesalahpahaman ini tentu karena kurangnya mereka mengonsumsi pengetahuan sejarah perintah jihad pada masa Nabi.

Tulisan ini tidak menyebutkan, bahwa perang itu selamanya negatif. Pada saat tertentu perang juga dibutuhkan. Tentu, pada saat emergency, yaitu saat diri, agama, dan negara diporak-poranda oleh orang lain. Kita, sebagai penduduk Indonesia, masih ingat saat Kyai Hasyim Asy’ari mewajibkan perang secara individual (fardu ain) karena saat itu negara Indonesia dalam kondisi genting melihat serangan dari pihak lawan.

Bahkan, dalam peperangan pun ada beberapa etika yang hendaknya dipatuhi. Prof. Dr. Aliy Jumu’ah menyebutkan ada 6 syarat yang hendaknya dipenuhi dalam peperangan: [1] cara dan tujuannya jelas dan mulia, [2] perang hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil, [3] perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerang dan memilih damai, [4] melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi, [5] memelihara lingkungan, antara lain dengan tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, dan merusak rumah/bangunan, dan [6] menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.

Bagaimana dengan terorisme? Apakah terorisme menerapkan etika berperang? Pertanyaan ini bisa dilihat dari motif dan fakta yang terbentang di dapan mata. Tindakan terorisme tidak berdasar, bahkan termasuk tindakan tidak manusiawi. Terorisme merusak lingkungan, membunuh jiwa, dan merugikan orang lain. Bagaimana pun alasannya, terorisme bukan ajaran Islam yang menghendaki kasih sayang, membela hak-hak kaum yang tertindas, dan bersikap adil.

Tentu, terorisme tidak masuk dalam pengertian jihad. Karena, terorisme tidak memenuhi etika berperang. Secara sederhana, terorisme bukan mempertahankan diri, agama, dan negara, namun menyerang negara, mencederai nilai-nilai agama, bahkan membunuh diri. Islam tidak menghendaki tindakan terorisme. Kendati mereka mengaku muslim, bagi Prof. Said Agil Siradj, Islam mereka adalah Islam Kalap, bukan Islam Karib. Maka, masihkah jihad dipahami sebagai tindakan kekerasan dan terorisme?[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini diolah dari tulisan saya sebelumnya berjudul “Jihad itu Kekerasan dan Terorisme” dengan sedikit penambahan

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru