30.1 C
Jakarta

Kelompok Radikal dan Cara Berpikir Mereka yang Eksklusif dalam Merespon Halal-Haram

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanKelompok Radikal dan Cara Berpikir Mereka yang Eksklusif dalam Merespon Halal-Haram
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Indonesia memang termasuk negara yang tercatat paling banyak pemeluk agama Islamnya. Pemerintah pun membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai bentuk ekspresi dari agama semetik ini.

Namun, agama mayoritas itu sering dibawa-bawa oleh kelompok tertentu, mungkin mereka kelompok radikal, untuk membatasi ruang gerak agama-agama lain yang jelas-jelas diakui di Indonesia.

Misal, baru-baru ini Indonesia dikagetkan dengan penolakan masakan padang babi. Penolakan ini mencuat di ranah publik disebabkan babi termasuk hewan yang diharamkan dimakan dalam Islam. Pemeluk agama ini menolak padang babi tanpa tapi.

Sikap yang cukup keras, jika meminjam komentar Habib Zein atau yang akrab disapa Habib Kribo, atau kekanak-kanakan jelas mengganggu kebebasan pemeluk agama lain yang jelas-jelas makan babi diperbolehkan. Pasti timbul kesan negatif, mengapa Islam mengatur ruang gerak agama lain? Bukankah masing-masing agama punya hukum tersendiri?

Menanggapi sikap pemeluk Islam yang kurang terbuka itu, penceramah kondang Gus Miftah bilang begini: “Sejak kapan rendang punya agama?!” Pertanyaan ini jelas tidak butuh jawaban. Tujuannya hanya menyindir sikap pemeluk agama Islam yang tertutup.

BACA JUGA  Mengulik Model Lebaran Ketupat di Madura

Gus Miftah, begitu pula tokoh muslim lainnya, merasa terganggu dengan sikap ketertutupan pemeluk agama Islam yang sedikit-sedikit selalu mengaitkan dengan agama. Apapun yang tidak berlabel halal MUI dikecam buruk. Padahal, baik-buruknya sesuatu tidak segampang itu diklaim.

Baik-buruk sesuatu dikembalikan kepada budaya masyarakat. Agama akan terbuka melihat budaya yang masing-masing dipastikan tidak bakal sama. Sehingga, ketidaksamaan ini menjadi alasan munculnya makanan padang babi beberapa waktu silam.

Gus Dur tidak sepakat jika agama melulu dibawa untuk mengatur urusan negara. Biarkan agama itu menjadi ruang private yang disediakan untuk pemeluknya saja. Tidak heran, jika Gus Dur melawan kelompok sparatis yang selalu memaksakan budaya tunduk pada agama.

Pemeluk agama Islam tidak boleh mengatur urusan pemeluk agama lain. Mereka punya hak hukum yang sudah diatur oleh agamanya sendiri. Mengatur agama orang lain jelas bertentangan dengan pesan ayat 6 surah al-Kafirun: Lakum dinukum waliya din. Bagimu agamamu, bagiku agamaku.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru