32.9 C
Jakarta

Kelompok Ekstremis, Kaum Muda, dan Pancasila

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKelompok Ekstremis, Kaum Muda, dan Pancasila
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mari kita merefleksikan Pancasila pada bulan yang ditahbiskan sebagai momentum lahirnya ini. Masa pandemi seperti sekarang ini memang barang kali waktu yang tepat untuk banyak mawas diri. Termasuk juga mawas diri terhadap Pancasila dan eksistensi kita, kaum muda sebagai sebuah bangsa dan negara. Banyak dari kita mengenal Pancasila dari pelajaran di bangku sekolah sebagai landasan ideal, ideologi negara, atau oleh Sukarno disebut sebagai Weltanschauung alias filosofi dan pandangan hidup.

Konsep-konsep tersebut barang kali tidak bisa secara sederhana dipahami oleh setiap insan di republik ini. Buktinya dari kaca mata kelompok manusia yang lahir dan hidup di Indonesia muncul sebuah pandangan miring terhadap lima sila yang dilambangkan dalam lima buah simbol di dada burung Garuda yang menggenggam amsal bangsa kita untuk hidup bersatu dalam keberagaman – Bhinneka Tunggal Ika. Miring terhadap Pancasila maupun Indonesia.

Kelompok-kelompok tersebut datang dalam berbagai nama. Mulai dari kelompok teror berbasis pemahaman agama hingga kelompok teror berbasis insurgency atau pemberontakan. Kelompok pertama identik menyebut Pancasila sebagai thagut atau sembahan selain Tuhan Yang Esa. Sedangkan kelompok kedua menganggap Pancasila dan Indonesia sebagai kekuatan penindasan dan penjajahan. Keduanya melakukan aksi teror, mulai dari pengeboman, penusukan, penembakan, termasuk juga aksi non kekerasan seperti propaganda.

Keduanya berangkat dari tujuan yang berbeda-beda. Dalam kasus kelompok berbasis pemahaman keliru pada agama muncul tujuan-tujuan yang beragam. Dari keinginan untuk mati syahid, mendirikan negara berdasarkan Islam, melakukan pembalasan pada musuh-musuh Islam, sampai dengan menggabungkan diri dengan klaim kekhalifahan sedunia. Sedangkan kelompok yang kedua memiliki tujuan yang cenderung lebih homogen yaitu memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua sumbu tujuan tersebut bertemu pada satu ide dasar anti-establishment, disrupsi – destruktif, entah itu Pancasila maupun Indonesia dengan segala sistem yang berlaku dan orang di dalamnya adalah musuh.

Bagi kelompok pertama adalah suatu kewajiban untuk loyal hanya pada Tuhan dan menolak segala sesuatu yang tidak bersumber daripada-Nya atau konsep al-wala wal bara. Siapapun yang bahkan sedikit saja mendasari pandangan hidupnya pada konsep semacam Pancasila maka telah keluar dari agama dan boleh untuk diperangi. Dari sinilah secara ideologis muncul kelompok asli Indonesia seperti Darul Islam Kartosuwiryo atau kelompok pengaruh ideologi puritanisme atau ekstremisme transnasional seperti Jama’ah Islamiyah dan kelompok jihadis yang berkembang hingga hari ini. Adapun kelompok kedua mendasari pandangannya pada ideologi berbasis sentimen suku bangsa, seperti kelompok separatis di Papua.

Melibatkan Proses Berpikir

Mempelajari mengenai kedua jenis fenomena di atas agaknya terlalu naif bila disebut sebagai suatu fenomena tunggal. Oleh sebab itu tidaklah bijaksana menyebut bahwa kelompok ekstremis dan segala isinya adalah sama, sebab jelas terdapat sebuah relasi struktur antara elite versus akar rumput. Victoroff (2005) membagi tubuh kelompok teror berdasarkan peranannya, pada tingkat atas terdapat kelompok sponsor seperti penyandang dana maupun penyedia senjata, kemudian kelompok pimpinan atau ideolog, disusul oleh kelompok eksekutor, dan di paling bawah terdapat kelompok simpatisan akar rumput. Lantas apakah setiap lapisan ini sejak semula ujug-ujug anti Pancasila dan anti Indonesia?

Jelas tidak. Dari struktur di atas tampak yang paling bertanggung jawab dan nyaring menyuarakan anti Pancasila serta Indonesia ialah kelompok pimpinan dan ideolog, sedangkan para eksekutor sekedar menjadi pion yang diradikalisasi maksimal. Seperti para pelaku bom bunuh diri atau mereka yang turut bergabung pada kelompok kriminal bersenjata di belantara hutan. Padahal pimpinan dan ideolognya justru kabur ke Inggris seperti pimpinan OPM Benny Wenda atau para ideolog kelompok teror yang tetap hidup sembari berkampanye mati syahid terhadap simpatisannya.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Bila kita menggunakan logika dialektika Hegel maka tentu terdapat proses tesis, anti tesis, serta sintesis. Tahapan tersebut adalah tahapan logika kognitif. Maka dalam proses radikalisasi yang berujung pada anggapan Pancasila thagut terdapat sebuah proses berpikir, proses aksi reaksi, sebab akibat kasualitas. Kondisi ini menggambarkan adanya akar rumput yang rentan terhadap radikalisasi tanpa perlu meninjau kenyataan bahwa para ideolog dan pimpinan kelompok memiliki agenda tertentu dan pemahaman yang terlanjur buntu. Kerentanan yang dapat berujung pada aksi teror anti-establishment ini penulis temukan dalam kaum muda kita.

Kerentanan Kaum Muda

Sebab-sebab seperti kemiskinan amat normatif dan tidak memberi jawaban yang memuaskan untuk menjelaskan kerentanan kaum muda. Tanpa harus berkecukupan materiil dan beependidikan formal tinggi orang tetap dapat menjadi warga negara yang baik dan berkontribusi bagi komunitasnya. Terdapat fenomena yang nyata menggambarkan kerentanan kaum muda kota terhadap ancaman radikalisasi, fenomena ini bahkan tidak dimulai dari pemahaman yang ekstrem seperti konsep thaghut.

Dalam sebuah program pengabdian masyarakat Kajian Terorisme Universitas Indonesia (2019) diadakan sebuah diskusi terpumpun sehari dengan perwakilan siswa-siswi sekolah menengah atas dari berbagai daerah di Jakarta. Salah satu topik diskusi ialah relevansi Pancasila di mata kaum muda. Mengejutkan untuk menemui beberapa reaksi yang dari kelompok kecil diskusi yang menyebut bahwa Pancasila tak lagi relevan. Pandangan tersebut dibangun berdasarkan pengamatan para siswa bahwa terdapat banyak aksi kekerasan berdasar agama, terdapat ketimpangan ekonomi, hingga fenomena korupsi. Bila hal semacam itu terus terjadi maka apa artinya Pancasila?  Jawaban tersebut barang kali melegakan sekaligus menunjukkan kerentanan pada radikalisasi.

Gambaran ini ialah potret kaum muda yang berusaha mencerna dan memahami situasi sekitar serta permasalahan bangsanya. Artinya bila kita meyakini bahwa terdapat aspek ideologis dalam radikalisasi kelompok teror maka situasi ini ialah situasi yang rentan. Walaupun potret ini juga menangkap bahwa kaum muda berpikir kritis terhadap situasi. Keduanya dapat berujung pada radikalisasi, baik begitu terpapar narasi bahwa Pancasila dan sistem Indonesia gagal sebab merupakan thagut atau melalui pencarian solusi yang menghadirkan jawaban instan seperti kekerasan.

Lantas bagaimana mencegah kerentanan ini sampai pada radikalisasi kelompok teror? Pancasila yang menurut Dr. Yudi Latif (2012) merupakan intisari dan rangkuman dari kenyataan bangsa Indonesia yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu, berbudaya, dan mencita-citakan keadilan mesti dikembalikan bukan sebagai nilai yang diyakini melainkan sebagai nilai yang memang ada dalam masyarakat kita. Menjaganya ialah dengan menjaga masyarakat kita.  Salah satu cara ialah dengan berinvestasi pada kerentanan semula kaum muda kita.

Pendidikan dan internalisasi nilai Pancasila menjadi penting. Tidak dalam bentuk ceramah, hafalan, atau sertifikasi tamat pelatihan. Melainkan penting mengangkatnya dengan learning by doing, belajar sembari melakukan. Kelima nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan mesti hadir dalam bentuk praktik yang natural di lingkungan pendidikan. Misalnya dengan intra kurikulum berupa dialog lintas agama, komunitas pendidikan yang inklusif dan terbuka, serta pendidikan berbasis aktualisasi diri dan berpikir kritis sebagai pemisalan. Maka dengan demikian kerentanan kaum muda yang memiliki kecenderungan berpikir kritis dan ancaman narasi kelompok ekstremis yang beredar dapat diarahkan pada arah yang positif, putus dan alihkan jalur radikalisasi. Namun, apakah sumber daya manusia kita sudah siap untuk itu?

Untuk sampai pada siap, jelas bukan sekedar mengucapkan selamat Hari Kelahiran Pancasila jawabannya. Bila Pancasila itu memang suatu filosof hidup (Weltanschauung) maka biarkan Pancasila itu hidup sehidup-hidupnya.

Prakoso Permono
Prakoso Permono
Sarjana Hubungan Internasional dan Magister Kajian Terorisme Universitas Indonesia

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru