26.7 C
Jakarta
Array

Kekeliruan Kaum Islamis dalam Membaca Permasalahan Umat Islam

Artikel Trending

Kekeliruan Kaum Islamis dalam Membaca Permasalahan Umat Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Persoalan seperti terorisme dan radikalisasi dalam berislam yang belakangan masih terus menghantui kehidupan bersama ini memiliki akar persoalan kesejarahan yang panjang sejak era kolonialisme. Termasuk semangat para Islamis dan Jihadis yang hendak memperjuangkan dan memproklamirkan kepemerintahan Islam di berbagai penjuru dunia, khususnya dimulai di Timur Tengah.

Mula-mula, upaya mereka untuk menegakkan berdirinya kepemerintahan Islam atau negara Islam, merupakan respon reaksioner atas kolonialisme yang dilakukan oleh negara-negara barat di berbagai penjuru negara dunia ketiga, termasuk Timur Tengah. Akan tetapi, respon reaksioner mereka dalam membaca kolonialisme tersebut yang dikira semata-mata kolonialisme adalah upaya Barat untuk menghancurkan Islam merupakan sebuah pembacaan masalah yang sangat keliru.

Pembacaan keliru yang melihat kolonialisme adalah semata upaya Barat untuk menghancurkan Islam tersebutlah yang hingga kini terus direproduksi oleh kaum Islamis dan Jihadis. Hal ini bisa dilihat dari cara membaca dinamika permasalahan Palestina semisal. Hasil reproduksi pembacaan yang keliru tersebut pasti berujung melakukan simplifikasi terhadap persoalan Palestina tersebut. Mereka hanya melihat bahwa penjajahan Palestina saat ini hanyalah semata-mata persoalan Islam melawan Yahudi (bukan Zionisme).

Padahal, persoalan seperti Palestina adalah sangat kompleks. Para Islamis apakah pernah mengira bahwa musuh besar Palestina di Timur Tengah (selain Israel) adalah Arab Saudi. Saudi, sebagai mitra Amerika Serikat sejak  Perang Dingin, sering melakukan kebijakan luar negeri yang menghambat upaya Pembebasan Palestina. Seperti ketika Saudi bersama Amerika Serikat menghambat dan melawan upaya-upya faksi Sosialisme Arab yang dikomandoi oleh Gamal Abdul Nasser untuk melakukan pembebasan Palestina (Kumar, 2016).

Kekeliruan diagnosis tersebutlah yang sama dilakukan oleh kaum Islamis alumni Afganistan dan Timur Tengah yang masuk di Indonesia pada tahun 1980an. Semangat memperjuangkan kepemerintahan Islam yang dibarengi upaya perlawanan Barat yang direpetisi ulang dengan kata “kafir” menghiasi perjuangan mereka dalam menegakkan (yang dikira) Islam di Indonesia.

Jalan mereka dalam melawan kafir di Indonesia dilakukan tidak hanya melalui kampanye dan dakwah-dakwah di forum-forum keislaman. Bahkan mereka melegalkan aksi kekerasan dan pembunuhan untuk melawan dan menghancurkan orang-orang Barat yang menurut mereka (dengan kekeliruan diagnosis) adalah kafir.

Maka, kemudian pada puncaknya awal Reformasi diantara mereka melakukan pengeboman di berbagai penjuru Indonesia, seperti kasus Bom Bali, yang mereka anggap adalah sarangnya orang-orang Barat (bule) kafir. Para ideolog gerakan ini salah satunya adalah Abu Bakar Ba’asyir yang kini hendak dibebaskan dari penjara oleh Presiden Jokowi.

Kekeliruan mereka dalam mendiagnosis problem kolonialisme yang kemudian mensimplifikasikan sebagai “kafir” yang hendak menghancurkan Islam. Kemudian berkembang pelabelan “kafir” kepada sesama umat Islam yang tidak setuju dengan cara pembacaan dan perilaku keberislaman mereka. Jadi, dari persoalan diagnosis awal yang keliru tersebut kemudian memproduksi banyak persoalan lanjutan dalam membaca dinamika permasalahan kontemporer.

Seperti upaya mereka dalam menolak Pancasila. Mereka memiliki keyakinan bahwa Pancasila adalah taghut karena tidak menggunakan ajaran Islam sebagai landsan kenegaraan dan sekaligus tidak anti kolonial (mereka sering menuduh yang Pro Pancasila adalah antek Barat kafir). Padahal, asumsi tersebut keliru 100 %.

Sebetulnya, pembacaan yang tepat dalam merespon kolonialisme dan imperialisme adalah yang dilakukan oleh para bapak pendiri bangsa bersama para ulama’ dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Bagi para pejuang ini, kolonialisme bukanlah semata-mata upaya kafir yang anti Islam ataupun bule yang menjajah umat Islam. Menurut mereka, kolonialisme adalah proses dehumanisasi dan penindasan. Bagi mereka, kolonialisme tidak melihat objek jajahannya berdasarkan identifikasi etnik maupun agama. Ia merupakan sistem yang menindas dan dehumanisasi kepada siapapun yang menjadi objek jajahannya.

Maka kemudian, yang menjadi musuh Indonesia diawal-awal kemerdekaan adalah kolonialisme, sistem yang menindas, bukan Barat, apalagi direpresentasikan secara simplistis sebagai orang berambut pirang dan berkulit putih. Bagi orang seperti Sukarno, kolonialisme bukanlah sebuah personifikasi etnis ataupun agama tertentu (bule atau Kristen). Tapi, kolonialisme adalah sistem.

Maka tak heran, jika kolonialisme adalah sebuah sistem bukan personifikasi individu sebagaimana dalam kepercayaan kaum Islamis. Bahkan, orang yang pertama kali membocorkan aktivitas penindasan kolonialisme Belanda di Indonesia kepada dunia adalah Multatuli. Ia adalah orang Belanda sendiri, bukan beragama Islam pula. Seperti juga kaum Sosialis Belanda, kawan-kawannya Hatta dan Sjahrir, yang mendukung penuh upaya kemerdekaan Indonesia.

Dengan demikian, persoalan kolonialisme bukanlah persoalan yang didiagnosis secara simplistis seperti yang dilakukan oleh kaum Islamis dan Jihadis. Bagi kita, upaya terhadap respon kolonialisme adalah melawan sistem yang mendehumanisasi dan menindas. Bukan sebagai persoalan Barat yang kafir dan anti Islam. Hal itu sangat keliru.

Diagnosis yang keliru tersebut hingga kini kemudian hanya melanggengkan kebencian kepada apa-apa yang tidak tampak Islami dan berbau asing. Hingga kemudian, umat Islam tidak mampu memiliki kepekaan terhadap penindasan yang sifatnya sistemik. Doktrin-doktrin para Islamis yang terus-menerus menebar kebencian tersebut membuat kepekaan kemanusiaan umat Islam menjadi tumpul.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru