32.7 C
Jakarta

Kehangatan di Tengah Persahabatan (Bagian XXVIII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniKehangatan di Tengah Persahabatan (Bagian XXVIII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Div, ke kafe yuk!” Nadia menggoda Diva saat duduk membaca Nadm ad-Durar karya al-Biqa’i. Buku tafsir ini banyak mengulas tentang Munasabah (hubungan ayat dan surah dalam Al-Qur’an).

“Ayo.” Diva akhirnya menutup lembar bukunya.

“Adel dan Hanum mana?” Nadia celengak-celengok kanak-kiri. Biasanya mereka berdua stay di kamar.

“Tadi katanya mau ke sekolah.”

“Ngapain? Tumben malam-malam ke sana. Memang boleh santri putri ke sana sekarang?”

Diva menggeleng. Tidak mengerti. Aneh, Nadia tanya Diva, padahal Nadia biasanya yang banyak tahu.

“Tapi, aku denger, mereka lagi latihan lomba.”

“Bahasa Inggris?”

“Mungkin.”

“Udah ah. Kita berdua aja ngafe.”

Di sebuah kafe mereka duduk di pojok. “Jus alpulkat satu. Diva?” tawar Nadia sambil menunjukkan pesanan ke pelayan kafe yang yang dari tadi kian-kemari.

“Jus mangga aja.”

Keramaian kafe tak dapat diredam, apalagi menjelang awal bulan. Santri berdatangan sembari ngobrol bersama temannya. Karamaian kadang diperlukan saat dibutuhkan.

“Aku dengar sesuatu kurang enak tentang Diva.” Tidak biasanya Nadia berbicara amat serius.

Diva tidak mengerti apa yang Nadia katakan.

“Maksudnya, Kak?” Diva kelihatan tegang.

Slow, Div. Aku dengar Diva berduaan dengan Fairuz di pesantren.”

“Fitnah, Kak. Kak Nadia dapat kabar itu dari mana?” Diva kaget alang-kepalang.

“Ada seorang pengurus yang nyebarin gosip.”

“Di pesantren aku seringnya di kamar atau di perpustakaan.”

Nadia membenarkan. Sungguh sangat mustahil berkhalwat di pesantren. Diva membatin, memang pernah berjalan berduaan dengan Fairuz, tapi itu di Jakarta dulu. Tapi, itu kan udah lama. Bukan di pesantren lagi.

Forget it! Anggap itu gosip.”

Diva baru lega mendengar kata-kata Nadia yang menenangkan. Karena, berduaan di pesantren adalah pelanggaran fatal. Bisa-bisa sanksinya dikeluarkan dari pesantren secara tidak terhormat. Diva tidak mau keluar pesantren karena pelanggaran. Itu akan merusak citra dirinya sendiri, termasuk orangtuanya.

“Si Adel dan Hanum belum nongol.” Diva mengalihkan pembicaraan untuk menenangkan diri.

By the way, besok ada kegiatan menulis di Forum Lingkar Pena?” Nadia membahas tema yang lebih penting daripada sekedar gosip.

BACA JUGA  Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

Forum Lingkar Pena atau lebih dikenal dengan singkatan FLP adalah komunitas menulis santri Pesantren Annuqayah. Banyak santri yang bergabung di komunitas ini, apalagi setelah Diva naik daun. Kesadaran santri menjadi penulis makin tumbuh. Mereka menyadari, menulis adalah mengikat makna, karena makna yang tidak diikat seiring pergantian waktu akan hilang tanpa jejak seperti hembusan angin yang hilang entah ke mana.

“Ada, Kak.”

“Siapa pematerinya?”

“A. Fuadi.”

“Penulis novel Negeri 5 Menari itu?”

Yes, that’s right.

Bertemu dengan novelis nasional yang karyanya dikenal di penjuru dunia, termasuk di Indonesia sendiri, adalah suatu kebanggaan. Bila dari kemarin-kemarin hanya membaca karyanya, maka besok bisa bertemu langsung. Pesantren sudah mempersiapkan kedatangan sang novelis ini, mulai tempat dan ratusan deret kursi di auditorium pesantren.

“Diva besok juga hadir?”

Diva hanya senyum-senyum.

“Aneh.” Nadia berkata ketus melihat senyumnya yang penuh teka-teki.

“Panitia memintaku menjadi moderator.”

“Haaa,” Nadia kaget, “Makin hari, makin padat jam terbangnya. I’m proud of you, Div.

“Kak Nadia yang hebat ya. Diva menjadi seperti sekarang karena didikan Kak Nadia. Ingat dulu baru nyampek di pesantren belum mengenal tulis-menulis. Justru Kak Nadia yang ngenalin. Beruntung banget.”

Benar. Keberhasilan seorang guru dapat diikur dari output anak didiknya. Bila anak didiknya hebat, secara tidak langsung gurunya lebih hebat. Tapi, Nadia tetap rendah hati. Tidak pernah menyombongkan diri. Sikap ini yang menjadi cermin bagi Diva untuk terus rendah hati, karena sombong dapat menghilangkan anugerah Tuhan.

“Udah, udah, aku bangga Diva makin berkembang. Besok satu panggung dengan penulis hebat. Keren ya!” Nadia menggoda.

Sudah berjam-jam menunggu Adel dan Hanum belum pada nongol, akhirnya mereka meninggalkan kafe. Baru tiba di kamar tampak di depan mata Adel dan Hanum sudah tidur pulas, sepertinya dia kecapean. Have nice dream, guys!, batinnya.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru