27.5 C
Jakarta

Konflik-Kegagalan Reformasi Pasca Dilarangnya FPI

Artikel Trending

KhazanahPerspektifKonflik-Kegagalan Reformasi Pasca Dilarangnya FPI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Semenjak terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) enam pejabat tinggi negara tentang dilarangnya organisasi kemasyarakatan Front Pembela Islam (FPI), jagat maya baik media pertelivisian maupun beberapa platform media gempar dan terjadi semacam benturan di antara masyarakat, antara yang mendukung SKB dimaksud dengan masyarakat yang mendukung FPI. Telah banyak artikel yang terbit, baik yang mendukung maupun yang membela FPI.

Di masa pandemi ini, pemerintah sebagai pemangku kebijakan seharusnya bisa menahan diri dan mempertimbangkan dengan matang setiap langkah yang diambil. Diakui atau tidak, pelarangan ormas FPI dan penggunaan segala simbol dan atributnya tidak lepas dari pengaruh proses politik dan benturan yang terjadi di Pilkada DKI tahun 2017 dan Pilpres 2019 kemarin. Benturan besar terjadi antara kelompok yang dipengaruhi populisme dalam hal ini dimotori oleh beberapa pimpinan FPI.

Pada saat Pilkada DKI terjadi penggerakan masa yang besar disebabkan beberapa orang yang memanfaatkan sentimen agama untuk kepentingan politik, meskipun diakui atau tidak lawan politik kelompok populis ini telah melakukan penistaan terhadap agama. Pada Pilpres kemarin kelompok populis ini kembali menggunakan kekuatannya mendukung salah satu calon.

Jika di Pilkada DKI kelompok ini berhasil memabawa dukungannya duduk sebagai gubernur tapi hasil berbeda di dapat saat Pilpres, dukungannya kalah bahkan calon yang didukung merapat menjadi bagian dari kabinet lawan kelompok ini, sehingga sudah dipastikan kelompok ini sangat kecewa.

Terdapat beberapa keanehan dalam penetapan ormas keagamaan FPI sebagai organisasi terlarang, di antaranya adalah dalam penetapannya muncul dugaan Kementerian Agama tidak dilibatkan atau melibatkan diri dalam penetapan tersebut. Padahal salah satu alasan yang tertuang dalam SKB dimaksud berkaitan dengan ideologi tentang “khilafah atau NKRI Bersyariah” yang terkandung dalam Anggaran Dasar FPI bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila.

Termasuk kegiatan sweeping yang biasa dilakukan oleh FPI banyak yang menyebutnya sebagai nahi munkar, maka sudah seharusnya kementerian agama dilibatkan atau melibatkan diri, bahkan hingga saat ini belum nampak pernyataan sikap kementerian agama meskipun mungkin sudah pasti akan mendukung SKB dimaksud.

BACA JUGA  Lawan Propaganda Radikalisme di Media Sosial, Ini Strateginya

Walaupun sebenarnya dalam pandangan saya Kementerian Agama tidak nampak terlibat adalah salah satu pilihan terbaik. Jika Kementerian Agama terlibat sudah pasti akan semakin sulit menenangkan keadaan jika terjadi konflik horizontal yang mungkin terjadi, terlebih jika pemerintah tidak bisa menjelaskan alasan pelarangan tersebut secara lebih gamblang dan jelas kepada publik.

FPI adalah salah satu ormas yang lahir dari rahim reformasi yang diagung-agungkan sebagai suatu sistem yang diharapkan dapat lebih memberikan hak kebebasan kepada rakyat Indonesia untuk menyampaikan pendapat dan berserikat, setelah lebih dari tiga puluh tahun hak tersebut dicuri oleh rezim penguasa waktu itu. Terbitnya SKB pelarangan FPI menunjukkan bahwa pemerintah sadar tentang kebebasan yang berlebihan pasca reformasi telah menciptakan berbagai kegaduhan. Hal ini semakin menunjukkan kegagalan proses reformasi selain banyak faktor lain yang mendukung kegagalan ini semisal banyaknya pejabat yang tersandung kasus korupsi.

Menyelaraskan pandangan semua anak bangsa tentang cara mendukung kemajuan bangsa memang adalah suatu hal yang mustahil. Untuk itu, harapan saya, sebagai bagian rakyat bangsa Indonesia, pertama; semoga kelompok yang dibubarkan, yakni FPI, lebih nyaman dengan menempuh jalur hukum untuk menyampaikan pendapat mereka dan tidak melakukan tindakan menggerakkan massa yang dapat menimbulkan konflik vertikal dan horizontal yang dapat dipastikan akan memakan korban nyawa.

Kedua, untuk kelompok yang mendukung pembubaran FPI atau yang membela FPI agar tidak membuat pernyataan dan sikap yang memancing emosi hingga menjadi aksi. Terakhir saya berharap pemerintah lebih arif dan bijaksana lagi dalam mengambil kebijakan berikutnya. Agar tidak mengundang kegaduhan, tentunya.

Muhammad Izul Ridho
Muhammad Izul Ridho
Alumni Pascasarjana UIN Khas Jember, Pengajar di PP. Mahfilud Duror II Suger Kidul Jember.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru