32.4 C
Jakarta

Kedai Kopi dan Polarisasi Makna

Artikel Trending

KhazanahOpiniKedai Kopi dan Polarisasi Makna
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di kedai kopi, aku dan kawanku kembali berbagi tawa. Berbagi cerita dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Di sisi kanan, ada temanku yang memeluk agama Buddha, sedang di sisi kiri ada temanku dari golongan yang terpandang hartanya. Sedangkan teman yang ada di depanku asyik dengan permainan di layar ponselnya.

Meskipun dari latar belakang yang berbeda, tidak menghalangi kita untuk bersama-sama mengukir tawa. Karena warung kopi adalah ruang publik tanpa adanya dominasi kelas dan pembatas.
Mengenai ruang publik, ia sering diidentifikasikan masyarakat dengan ruang kesepahaman yang sempit. Konsep kesepahaman itu semakin memperkeruh permasalahan kedalam ranah perdebatan.

Antarkelompok tidak mau mengalah dan merasa benar akan gagasan yang dikemukakan. Tidak mau membuka pikiran dan tetap pada pendirian konsep kesepahaman. Hal ini akan menjadi permasalahan besar, mengingat Indonesia sebagai negara dengan geografis yang luas dan membutuhkan kesehatan komiunikasi di ruang publiknya.

Masalah dalam Seduhan Kopi

Dapat dikatakan, manusia mempunyai ribuan masalah yang harus diselesaikan setiap harinya. Kondisi tersebut secara tidak langsung menginstruksikan perlunya memperluas ruang kesepahaman yang sempit tersebut. Untuk memperluas ruang kesepahaman, jelas dibutuhkan kesepakatan dan kesadaran akan pentingnya menghargai sebuah perbedaan.

Adanya ruang publik sering dimanfaatkan untuk membahas isu-isu yang terjadi di pemerintahan. Atau justru permasalahan publik dalam bidang tertentu, seperti ekonomi, teknologi, pangan, sosial-budaya, agama, atau pun permasalahan lainnya. Oleh karena itu, ruang publik dapat menjadi ruang sharing terbaik untuk mengkomunikasikan permasalahan tersebut.

Namun permasalahannya, ruang publik yang tersedia sering dibenturkan oleh hal-hal yang bersifat formal. Dengan kata lain, ruang publik masih terdapat sekat pembatas yang harus dipatuhi di dalamnya. Sehingga permasalahan yang ada tidak sepenuhnya terkomunikasikan bahkan tak jarang mendapat masalah baru, karena ketidakterbukaan dalam memaparkan permasalahan.

Dalam ruang yang bersifat formal, seseorang berpeluang besar untuk menjaga citra yang dimilikinya dengan berpura-pura berperilaku baik. Sehingga tak jarang jika transparansi dari permasalahan itu diragukan oleh banyak pihak. Misalnya di media sosial, sering kita melihat banyaknya ujaran kebencian yang ditujukan kepada pemegang birokrasi, karena adanya ketidakpercayaan rakyat atas transpalansi masalah yang berusaha dijabarkan oleh pihak pemerintah.

BACA JUGA  Kebinekaan dan Langkah Mendesak Meredam Panasnya Konflik Elektoral

Di warung kopi, kita tidak perlu mengejar citra di hadapan lawan bicara, karena hal itu hanya akan meninggalkan ketanggungan belaka. Semua orang saling bercengkrama, membincangkan berbagai macam permasalahan yang ada. Satu individu berbagi cerita dengan individu yang berbeda. Semuanya saling terbuka untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi bersama.

Di warung kopi tidak melulu membahas permasalahan yang terlihat serius saja. Sesekali bisa membahas permasalahan asamara hingga keadaan rumah tangga yang dihadapinya. Semua tidak perlu memakai bahasa formal seperti bahasa pidato yang hanya akan menghalangi keakraban. Karena kunci keakraban adalah ketidakterbatasan untuk mengungkapkan isi pikiran dengan cara apa saja.

Polarisasi

Maka prinsip warung kopi sebagai ruang publik yang relevan harus diterapkan dalam ruang publik yang lebih luas lagi. Misalnya di media sosial, yang menjadi perantara penyampaian aspirasi dari rakyat untuk pemerintah. Media sosial harus mempunyai visi yang jelas sebagai ladang pembuka transpalansi permasalahan yang sedang dihadapi negara.

Rakyat harus dihargai hak-hak menyuarakan pendapat dalam media sosial tersebut. Begitupun pemerintah, harus membuka transpalansi permasalahan dengan sejelas-jelasnya. Dengan begitu, tidak ada lagi rasa curiga, yang ada hanyalah rasa ingin menyelesaikan masalah secara bersama.

Mengingat pentingnya media sosial sebagai ruang publik yang relevan, maka sistem yang rusak harus segera diperbaiki keadaannya. Hal ini sangat genting mengingat kondisi geografis Indonesia yang hanya bisa dijangkau melalui media sebagai jalan termudahnya. Maka di sinilah diperlukan optimalisasi media sosial sebagai ruang publik relevan.

Ujaran kebencian yang kerap muncul dalam media sosial bisa diakibatkan oleh visi dan sistem komunikasi yang buruk. Satu pihak dengan pihak yang lain masih terdapat kecanggungan dan tak jarang melahirkan rasa curiga. Maka tidak heran jika semua gagasan yang dijabarkan dianggap menguntungkan dirinya bukan menguntungkan bersama. Akhirnya timbullah kekesalan satu pihak yang sering dinyatakan dengan kata-kata bernada kasar.

Oleh karena itu, media sosial harus dibangun atas rasa keterbukaan. Atar individu saling bercerita dan bertukar informasi tanpa adanya sekat pembeda. Seperti halnya di warung kopi, perbedaan gagasan tidak akan menjadi pemecah jika sudah ada keakraban. Karena keakraban itulah kunci dari sebuah persatuan. Seruput kopinya!

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru