28 C
Jakarta
Array

Kecil-Kecil Udah Nikah? Bagaimana Fikih Memandangnya.

Artikel Trending

Kecil-Kecil Udah Nikah? Bagaimana Fikih Memandangnya.
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dimasa serba internet sekarang ini, rasanya tidak ada orang yang tidak memiliki medsos entah itu Facebook, Path, Instagram, Line, Wechat, Twitter, Pactor, BBM, Whatsapp dan jenis-jenis lainnya, dari kalangan anak-anak sampai kakek-kakek. Tak sedikit dari mereka yang menggunakan media tersebut sebagai ajang pamer apa yang dimilikinya entah itu harta, kecantikan/ketampanan (meskipun hasil editan bukan perawatan), kebahagiaan, tak terkecuali yaitu kemesraan.

Yah… kemesraan mungkin sekarang menjadi salah satu hal yang paling menggiurkan untuk dipamerkan, karena mereka ingin menunjukan kalo mereka bukan golongan para fakir asmara yang akrab disapa jomblo, sebab dimata mereka jomblo adalah makhluk yang sangat menyedihkan dan bahan paling empuk sebagai sasaran bully. Mungkin pandangan seperti itu banyak dipengaruhi oleh tontonan-tontonan yang menanamkan setigma negative tentang jomblo, bahwasanya jomblo itu hidupnya ngenes, galau, terasingkan, menyedihkan-silahkan lanjutkan sendiri-bhakan sepertinya tidak ada tontonan yang pernah menunjukan kebalikannya, hampir semua sinetron maupun yang lainnya sepertinya menunjukan kalo memiliki pasangan (diluar nikah) itu lebih indah daripada Jomblo (sampai halal).

Tak sedikit dari mereka yang telah mengarungi samudra pariwisata dan mendaki eskalator mall bersama sang kekasih akhirnya sampai juga di pelaminan. Padahal mereka anak yang baru lahir kemaren sore tapi sudah menikah. Menikah diusia dinipun rasanya sudah menjadi trend di masyarakat, terutama di daerah pedalaman, ada yang memang karena keinginan orang tuanya, ada juga karena kenginan sendiri karena sudah kebelet kawin, banyak juga karena keceplosan menanam di lahan yang belum halal. Tidak sedikit anak yang baru lulus SMP sudah menikah bahkan yang masih duduk di bangku SMP sekalipun, padahal mereka umumnya belum memiliki kesiapan mental, fisik dan materi secara matang, akibatnya sebagian besar rumah tangga mereka berakhir berantakan.

Lantas bagaimana fikih menyikapi masalah umur dalam pernikahan?

Nikah menjadi dambaan setiap orang yang normal, hidup ini rasanya belum sempurna kalau belum menikmati sebuah pernikahan. Dorongan untuk menikahpun semakin kuat ketika semakin dewasa. Ketika itulah ia menunggu-nunggu kapan dirinya bisa duduk bersanding bersama pujaan hati di sebuah pelaminan. Melalui pernikahan, sepasang suami istri mengidam-idamkan  bahtera rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Dalam benaknya selalu terbayang masa-masa yang indah bersama sang pujaan hati, tidak ada sedetikpun tanpa sang kekasih.

Karena tergiur kebahagiaan inilah , tidak sedikit remaja dibawah umur terbur-buru untuk segera menikah bahkan tak jarang setudinya gagal gara-gara keburu nikah (saran saya buat yang punya pasangan, manfaatkanlah pasanganmu untuk studimu dan buat yang jomblo, maksimalkan masa jomblomu untuk studimu) meskipun sebenarnya belum siap memasuki jenjang pernikahan. Akibatnya, dalam mengarungi kehidupan rumah tangga mereka banyak menemui berbagai persoalan. Contoh klasik misalnya sang istri tidak becus mengurusi anak, akhirnya suami menggantukan kepada orang tuanya, suami istri kurang menyikapi perbedaan pendapat, sehingga rumah tangga gampang sekali retak.

Melihat realita ini pemerintah merasa perlu mengatur persoalaan ini. Karena bagaimanapun keluarga merupakan unit terkecil dari bangsa ini. Asumsinya jika kesejahteraan keluarga tidak terwujud, sulit rasanya kesejahteraan bangsa tercapai. Dalam materi perkawinan kompilasi hukum Islam pasal 15 ayat 1 ditegaskan “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon memepelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang no. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”

Aturan batasan minimal usia perkawinan ini sebenarnya memiliki tujuan bagus. Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan, seringkali timbul ketimpangan. Banyak perkawinan karena alasan-alasan tertentu tidak memenuhi batas minimal usia tersebut. Misalnya saja, kalau pernikahan ditunda khawtir terjadi perzinaan, bahkan karena kebelet kawin  tidak sedikit orang yang merekayasa usianya untuk mencapai batas minimal tersebut.

Dari sini muncul pertanyaan, bagaimana menurut fikih perkawinan dibawah umur? Bagaimana juga pertimbangannya jika khawatir perzinaan?

Islam sangat mendorong umatnya untuk melakukan pernikahan. Bahkan Rasulullah menegaskan “Nikah adalah sunahku, barang siapa yang benci terhadap sunahku, maka tidak termasuk golonganku”. Namun demikian, Islam menekankan bagi orang yang ingin menikah untuk memiliki kesiapan fisik, mental dan materi. Untuk menggodok kesiapan ini, tentu menunggu waktu hingga ia tumbuh dewasa,karena pada usia dewasa , secara umum orang akan lebih siap mengarungi bahtera rumah tangga. Rasulullah bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan (menghidupi rumah tangga), kawinlah. Karena sesungguhnya, perhikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan meredakan gejolak hasrat seksual.” (mantan al-Bukhari, 23:III)

Sabda Nabi ini menggunakan redaksi ya ma’syara syabab,(para pemuda), menurut kalangan syafi’iyah yang dimaksud syabab  anak yang sudah baligh hingga usai 30 tahun. Sedangkan menurut al-Qurtubhi dan Imam Zamahsyari anak tersebut berakhir pada usia 32 tahun. Yang jelas, secara umum mereka berpendapat bahwa seseorang dapat disebut syabab apabila sudah menginjak usia baligh. Dengan demikian perintah menikah yang dimaksud hadis di atas hanya khusus bagi orang yang menginjak dewasa saja. (Fath al-Bari, 107:IX)

Jika demikian lantas bagaimana hukum perkawinan orang yang belum dewasa? Menanggapi persoalan ini, para Ulama terbelah menjadi tiga kelompok:

Pertama, kelompok jumhur Ulama  yang terdiri dari kalangan Malikiyyah, hanafiyyah Syafi’iyyah dan Hanabilah. Mereka sepakat tentang sahnya pernikahan anak yang belum baligh. Karena kalangan mereka tidak mensyaratkan aqil baligh dalam pernikahan. Pendapat ini berlandaskan pada ayat alQur`an yang berbunyi:

وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٣٢

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui

Pada ayat di atas kata “ayyama ” berlaku umum, bias untuk perempuan atau laki-laki yang sudah besar (dewasa), bias juga untuk perempuan yang masih kecil. Hal ini juga didukung dengan perilaku Nabi yang menikahi Siti ‘Aisyah dalam usia yang masih belia. Diriwayatkan dari ‘Asiyah RA:

Rasulullah menikahi Siti ‘Aisyah ketika berusia enam tahun dan ‘Aisyah berkumpul serta tinggal bersama Rasulullah ketika berusia Sembilan tahun. (Nail al-Authar, 120:VI).\

Banyak juga para Sahabat yang ikut turut serta menikahkan putrinya ketika masih kecil. Misalnya saja Ali Bin Abi Thalib menikahkanUmi Kultsum, putrinya dengan Urwah bin Zubair. Urwah bin Zubair menikahkan anak perempuan saudaranya dengan anak laki-laki saudaranya yang lain, padahal keduanya sama-sama masih kecil. Ini menunjukan bahwa pernikahan anak yang masih belia itu sah. (al-Fiqhu al-Islami, 179-180:VIII).

Kelompok kedua dipelopori oleh Ibnu Syibramah, Abu Bakar al-Asham dan Utsman al-Buthi. Mereka berpendapat tidak boleh menikahkan perempuanm dengan laki-laki yang masih kecil, mereka berpedoman pada ayat al-Qur`an:

وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”.

Dalam ayat tersebut Allah menjadikan  batas minimal usia pernikahan sebagai tanda berakhirnya masa kecil. Dalam konteks ini maka, pernikahan sebelum baligh tidak ada faidahnya. Karena pernikahan merupakan akad yang tidak tampak faidahnya sebelum baligh. Disamping itu akibat ketidak dewasaanya dalam perkawinan, sering kali menimbulkan mudharat bagi dirinya. Sehingga ikatan pernikahan itu justru menjadi tekanan batinnya. (Yasalunaka, 220:II, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, 179:VII).

Beda halnya dengan kelomok ke tegiga. Pendapat ini di kemukakakan oleh Ibnu Hajm, menurutnya hukum pernikahan perempuan yang masih kecil sah, karena ada hadis nabi dan atsar Sahabat yang menjelaskannya, sebagaimana yang telah dijelaskan tadi. Akan tetapi Ibnu Hajm memandang tidak sah terhadap pernikahan laki-laki yang masih kecil. Sebab, dalam teks hadis tersebut khusus untuk perempuan saja. Bahkan menurutya, jika pernikahan laki-laki yang masih kecil itu terjadi maka hars difaskh. (al-Mahalla, 560-565:IX)

Jika melihat alasan-alasan pendapat di atas, maka pernikahan di bawah umur yang terjadi saat ini layak untuk dilarang. Alasan pelarangannya karena pernikahan di bawah umur ini sering kali membawa dampak negative bagi kehidupan rumah tangga mereka. Penyebabnya, tak lain adalah pada usia tersebut biasanya persiapan fisik, mental maupun materi belum matang. Hal ini selaras dengan pertimbangan kelompok ke dua.

Asumsi awalnya, hadis di atas bisa melegitimasi kebolehan nikah di bawah umur, karena Rasulullah telah mempraktekannya. Tapi apa betul demiian? Jawabannya, belum tentu. Seab, ada kemungkinan hadis ini hanya tertentu untuk Rasulullah saja. Artinya tidak mutlak bisa dijadika sebagai dasar kebolehan nikah dibawah umur, atau boleh jadi kontek hadis tersebut hanya berlaku bagi orang di bwah umur yang sudah benar-benar memiliki kesiapan membangun rumah tangga.

Sehinga jika seseorang yang menikah di usia muda, akan tetapi dia memiliki kesiapan yang matang, mampu berbua adil dan mengatur rumah tangga secara baik, maka dalam hal ini pernikahan tersebut boleh-boleh saja. Lebih-lebih jika dia khawatir terjrumus dalam perzinaan, maka lebih baik menikah.

Sumber: Fikih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru