27.8 C
Jakarta
Array

Keadilan Sosial Bagi Perempuan Menuju Pembangunan Negara

Artikel Trending

Keadilan Sosial Bagi Perempuan Menuju Pembangunan Negara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Poin nomor lima dalam agenda Social Development Goals (SDGs) tahun 2030 oleh 193 negara adalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. SDGs diadopsi oleh negara di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) demi terciptanya pembangunan manusia yang berkelanjutan. Kesetaraan gender bukan hanya isu yang dimiliki oleh kaum perempuan tetapi juga lelaki. Pencapaian poin kelima SDGs atau dikenal dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2030 memiliki penekanan terhadap pentingnya keutamaan yang sistematis terhadap perspektif gender dalam pelaksanaan dan pemantauan SDGs.

SDGs yang disepakati dalam pertemuan puncak di PBB pada 25-27 November 2015 memperlihatkan peta jalan untuk kemajuan yang berkelanjutan dan berjanji untuk tidak meninggalkan siapapun di belakang. SDGs ditujukan untuk semua elemen warga negara secara inklusif dengan tidak membedakan berdasarkan agama, suku, ras, maupun jenis kelamin. Karenanya, semua berhak untuk terlibat dan menikmati hasil pembangunan.

Namun, potensi perempuan belum sepenuhnya terwujud. Antara lain disebabkan oleh ketidaksetaraan sosial, ekonomi dan politik yang persisten. Ketidaksetaraan gender masih mengakar dalam masyarakat di beberapa negara. Perempuan secara global menderita karena kurangnya akses ke pekerjaan layak dan menghadapi kesenjangan pekerjaan dan kesenjangan gender. Pembicaraaan perempuan menghadapi degradasi atas hak mereka masih ada hingga hari ini.

Salah satu negara yang ketidaksetaraan gender jelas terlihat adalah Jepang. Jepang sebagai salah satu negara maju menempati posisi ke 101 dari 145 negara dalam indeks kesenjangan gender. Meski Jepang dalam bidang ekonomi menempati rangking kelima, namun dalam hal kesenjangan gender ternyata Jepang masih menempati posisi bawah bahkan di bawah Tiongkok dan Indonesia. Kesenjangan ini terlihat dari partisipasi perempuan di bidang politik dan ekonomi. Perbedaan gaji pria dan wanita paling tinggi mencapi 29 persen. Ketidaksetaraan gender ini terjadi karena adanya pengaruh yang kuat pada pemikiran tradisional atau landasan ideologis Jepang berdasarkan ajaran Shintoisme, Confusionisme dan Budhisme.

Dalam hal ini, SDGs menuju 2030 belum memadai karena fokusnya hanya pada aspek sosial, ekonomi dan fisik dari pembangunan saja. Padahal, perspektif pembangunan juga dapat dilakukan oleh perempuan. Prospek ini sejalan dengan spirit ke-Islam-an yang sejajar dengan semangat feminisme, yaitu menuntaskan masalah ketidakadilan.

Agenda global untuk pengentasan ketidakadilan selaras dengan Maqasid al-Shariah – tujuan syariah. Kerangka filosofis dari banyak ulama Islam klasik seperti al-Ghazali dan al-Syatibi menjelaskan kebijaksanaan di balik keputusan tidak hanya tentang mengembangkan kesadaran Tuhan tetapi meningkatkan kohesi sosial.

Maqasid memiliki aspek penting untuk mengembangkan ekonomi yang bersifat maslahah atau kepentingan publik. Jika hal itu tidak berkembang, muncul adanya korelasi antara ketidakadilan dan kemiskinan. Bentuk perwujudan keadilan sosial adalah bahwa Allah SWT menempatkan manusia berada di dalam kesempatan yang sama besarnya dalam hal berkarya dan berprestasi. Keadilan sosial itu terwujud dari hasil yang diperoleh oleh seseorang tergantung pada besar kecilnya usaha yang dilakukannya. Siapapun akan memperoleh sesuai dengan kadar  pekerjaannya. Langkah kunci yang diperlukan adalah menanamkan Syariah Maqasid yaitu menjaga iman, melindungi diri dari bahaya (nafs), melindungi intelektual (aql), melindungi keturunan (nasl) dan melindungi harta (mal).

Untuk mencapai kesejahteraan itu, seperti yang dikutip dari Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Dr Wan Azizah Wan Ismail dalam pidato utamanya di World Muslim Leadership Forum (WMLF), Dalam pidatonya, ia menyampaikan bahwa pria harus mengubah sikap mereka dan menjadi lebih mendukung wanita. Pria perlu membongkar mentalitas chauvinistic yang melekat pada beberapa budaya lokal. Pada umumnya, masyarakat di beberapa negara Asia menganut budaya patriarki sehingga masih terjadi pertentangan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dari berbagai aspek kehidupan. Shariah Maqasid jika diimplementasikan tidak bias terhadap gender, kebangsaan, etnis, atau status sosial.

Stereotipe pada 193 negara yang tergabung dalam organisasi PBB demi tujuan bersama SDGs, wajib merubah citra negatif yang melahirkan ketidakadilan pada kaum perempuan. Jika stereotipe terus melekat pada budaya lokal, perempuan dan anak perempuan tidak bisa mengembangkan keterampilan dan potensi. Padahal, semua perempuan jika didukung dapat memanfaatkan bakat dan kemampuan berwirausaha.

Pria harus mengubah sikap dan menjadi lebih mendukung wanita agar keadilan sosial atas dasar interpretasi yang miring dan tidak adil. Martabat manusia, kesejahteraan dan pemberdayaan yang terlepas dari jenis kelamin, ras, kelas atau etnis dalam masyarakat yang damai, toleran dan inklusif sangat penting tersemat pada pemahaman individu pria.

Selain patronasi dari laki-laki, peran pemerintah dapat membuat kebijakan selaras dan program yang mendukung untuk perubahan pribadi di tingkat individu yang kemudian akan menentukan pencapaian SDGs. Usaha mencapai SDGs harus dimulai dengan memiliki pemimpin yang tepat serta didorong oleh rasa tanggung jawab pribadi untuk tujuan itu. Salah satu ulama saat peradaban Islam mencapai puncak kejayaan, Imam Al-Ghazali menilai kegiatan ekonomi harus lekat dengan unsur moral dan etika. Pemerintah atau negara hendaknya memiliki keberpihakan terhadap keadilan rakyat yang kurang mampu. Negara juga memastikan konsep itu dipraktikkan secara nyata. Menurut Al-Ghazali, stabilitas menjadi kunci. Tanpa itu, sulit melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan.

Pemberdayaan perempuan yang dibiasakan sejak anak-anak dirumuskan seperti yang sudah dilakukan negara tetangga, Malaysia. Solusi inovatif tesebut, misalnya inisiatif i-Suri untuk memperkuat jaminan sosial bagi ibu rumah tangga dan program MySMELady yang dibuat khusus untuk perempuan pengusaha.

Dukungan dari laki-laki dalam hal ini tidak hanya berasal dari keluarga terdekat, tetapi juga rekan kerja atau elemen-elemen pemerintahan yang saat ini masih didominasi oleh laki-laki. Sebab, tidak semua perempuan di negara ini bergantung nafkahnya pada laki-laki. Berdasarkan penelitian Pemberdayan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), satu dari empat keluarga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Sedangkan sebanyak 70 persen keluarga yang dikepalai oleh perempuan berkubang pada kemiskinan. Bisa disimpulkan mayoritas kemiskinan di Indonesia berasal dari keluarga  yang beban hidupnya ditanggung perempuan. Maka, penting bagi pemerintah untuk menjadikan perempuan kepala keluarga sebagai subjek pembangunan karena merekalah salah satu elemen yang berada pada garis kemiskinan.

Ada tujuh kategori perempuan kepala keluarga berdasarkan definisi yang dibuat oleh PEKKA. Kategori tersebut antara lain janda mati, janda cerai, istri yang ditinggal pergi suaminya, perempuan yang memiliki anak tapi tak menikah, istri yang suaminya sakit sehingga tak  bisa bekerja, atau perempuan yang mempunyai suami yang tak bisa menunaikan tanggung jawab sebagai kepala keluarga, dan anak perempuan yang harus menanggung beban keluarganya. Keberadaan tujuh kategori tersebut harus dirasakan oleh seluruh elemen warga negara.

Seperti yang dilansir dari Indonesia Development Forum, ada dua hal kebijakan afirmatif yang ditujukan kepada perempuan kepala keluarga jika pemerintah ingin menyelesaikan masalah kemiskinan dengan memaksimalkan kelompok perempuan sebagai kepala keluarga. Pertama, perempuan harus diorganisasi dengan program-program khusus sesuai dengan kebutuhan. Seperti program pemberdayaan di bidang ekonomi dan berbagai bentuk pelatihan. Kedua, perlindungan terhadap segala kegiatan ekonomi mereka. Misalnya, pasar tempat perempuan kepala keluarga mencari nafkah tidak boleh dimasuki oleh kompetitor yang lebih besar atau kuat. Perempuan kepala keluarga juga mendapatkan perlindungan dan kemudahan mengakses jaminan kesehatan, pembiayaan, dan administrasi kependudukan.

Dua belas tahun menuju kebijakan pembangunan. Program ini harus diupayakan tanpa henti memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Keadilan sosial harus sejajar dengan gerakan global dalam mewujudkan SDGs.

 

Penulis adalah mahasiswa Jurusan Ekonomi Dan Keuangan Islam, Kajian Timur Tengah dan Studi Islam di Sekolah Kajian Strategis Dan Global, Universitas Indonesia.

 

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru