29.7 C
Jakarta
Array

Keadilan Eskatologis Menurut Kephalos

Artikel Trending

Keadilan Eskatologis Menurut Kephalos
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perbincangan mengenai permasalahan eskatologis—sesuatu yang berhubungan dengan hari akhir yang meliputi imortalitas jiwa (keabadian jiwa), pengadilan di akhirat, serta surga dan neraka—dari dahulu sampai dengan sekarang memang sangatlah menarik. Sebelum masuk pada pembahasan yang pokok, penulis terlebih dahulu akan menceritakan secara singkat sosok dari seorang Kephalos. Kephalos merupakan orang yang sangat kaya dan juga religius (mengabdikan dirinya kepada dewa). Akan tetapi dia hanya memikirkan kemakmuran dirinya sendiri serta keluarganya dan tidak terhadap kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Pada dialog 330b—c dalam The Republic, Kephalos menceritakan kemalangan keluarganya atas harta yang dimiliki kepada Sokrates. Dia juga menceritakan ketidaksukaannya kepada Lysanias (Bapaknya) mengenai cara mengelola harta keluarganya dan dia lebih suka kepada kakeknya—Kephalos (nama yang sama)—dalam mengelola harta keluarganya. Dari sudut lain, Kephalos digambaran sebagai orang yang sangat kaya hingga mewariskan harta kekayaannya—pabrik senjata yang mempekerjakan 25 budak—kepada beberapa anaknya.

Dengan perilakunya tersebut—memikirkan kemakmuran dirinya sendiri dan tidak terhadap kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya—dia selalu mendapat kritikan dari Sokrates. Tidak berhenti disitu saja, dalam urusan dagang  dia hanya melayani orang-orang kapitalis dan terkesan mengabaikan para budak dan buruh. Bencana untuknya saat harta kekayaan yang dimiliki keluarganya dirampas oleh kaum metoxoi (orang asing) di era demokrasi Athena pada abad ke-5 SM.

Suatu Mitos

Pada dialog 330d—e dalam The Republic, Kephalos menceritakan firasatnya bahwa dia hidup tak akan lama lagi dan tentunya dia merasa takut dengan siksa neraka (Hades) atas berita yang dia peroleh. Rasa takut yang ditimbulkan akibat berita tersebut, bagi Kephalos membuat manusia melakukan kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan. Di dalam masyarakat Yunani pada saat itu, terdapat suatu mitos—rasa takut merupakan dasar dari perbuatan baik, bijaksana, dan keadilan—yang berkembang dan sangat dipercaya oleh masyarakat.

Plato sangat mengkritik mitos tersebut, baginya perbuatan baik, bijaksana,dan keadilan jika didasarkan pada rasa takut akan berita-berita Hades dan rasa takut kepada dewa, yang terjadi ialah manusia akan mengalami kemandekan dalam berpikir. Untuk memperkuat bantahannya, Plato memperjelasnya dengan pendapat yang sedikit ekstrim. Dia mengtakan “Keadilan yang didasarkan rasa takut akan perintah dewa, sangatlah baik. Akan tetapi keadilan yang didasarkan pada suatu rasionalitas itu jauh lebih baik”. Selain itu, Plato juga berpendapat bahwa, “Sesuatu yang ditetapkan baik oleh dewa belum tentu baik untuk manusia”.

Kemudian Kephalos ini merasa bahwa semasa mudanya tidak pernah melakukan kejelekan dan selalu berbuat adil, bijaksana, baik, dan tidak memiliki hutang kepada seorang pun. Terkhusus lagi dia selalu memberi sesaji kepada dewa sebagai bentuk ketakwaannya (The Republic 329e—330a). Pada dialog 330d—e (The Republic) Kephalos merasa tenang dan memiliki harapan yang indah (Hedeia elpis) di kehidupan setelah kematian, dia mengatakan bahwa

“Ketika seseorang sadar bahwa dirinya akan mati, dia dipenuhi dengan pikiran dan perhatian akan hal-hal yang dulu tak pernah masuk dalam kepalanya. Jiwanya mulai disiksa oleh kisah-kisah tentang dunia bawah sana (Hades) dan bagaimana orang-orang berbuat tidak adil di dunia sini akan mendapatkan pembalasan di dunia sana”.

Konsep Keadilan

Terkait hal tersebut, Plato mengajak berpikir lebih dalam lagi kepada Kephalos mengenai konsep keadilan versinya. Plato mencoba memberi beberapa pertanyaan kepada Kephalos.

Beberapa pertanyaan itu seperti, “Apakah dalam hidup ini hanya mencari ketenangan tanpa ada kesalahan sedikit pun? Apakah itu yang dinamakan adil?” Kemudian Kephalos menjawab bahwa adil itu berlandaskan prinsip do ut des (aku memberi, supaya kamu memberi). Jawaban itu langsung ditanggapi oleh Plato, dia mengkritik konsep keadilan dari Kephalos dengan suatu analogi peribadatan dengan sang dewa. Plato mengatakan, “Apakah hal demikian itu merupakan suatu transaksional agama?”. Lalu Kephalos menjawab, baginya adil itu berbicara jujur (tidak berbohong) dan mengembalikan apa yang telah dia terima dari orang lain (The Republic 33c dan 331d).

Sokrates pun juga mengkritik konsep keadilan dari Kephalos. Sokrates memberikan kritik dengan suatu perumpamaan. Jika si A meminjam senjata api kepada si B di saat si B masih waras, dan pada perkembangannya si B mengalami sakit jiwa lalu pada suatu hari si B meminta apa yang telah dipinjam si A. Apakah si A harus mengembalikan barang pinjamannya kepada si B? Sedangkan jika dikembalikan, ditakutkan nanti akan membuat kekacauan dan membahayakan masyarakat sekitar, karena si B mengalami sakit jiwa. Sampai di sinilah Kephalos tidak dapat menjawab kritikan atasnya dan dia langsung bergegas meninggalkan dialognya dan segera dia memberi sesaji kepada dewa.

Orang kaya seperti Kephalos inilah yang marak ditemui dalam masyarakat. Banyak masyarakat yang kaya dan juga religius, tetapi hanya mementingkan dirinya dan juga keluarganya dan tidak terhadap masyarakat yang kesusahan (Yatim, yatim piatu, miskin, fakir miskin, dan sebagainya). Dan masih banyak pula orang yang beribadah kepada tuhan untuk mengharap imbalan, bukan karena takut yang dilandasi dengan rasa cinta yang mendalam. Seperti ada suatu prinsip do ut des, saya salat duha supaya rezaki lancar dan sebagainya. Memang betul hal yang demikian itu, tetapi yang utama dari suatu ibadah bukankah ridho dari Tuhan?

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru