29.7 C
Jakarta
Array

Kartini dan Kesetaraan Perempuan

Artikel Trending

Kartini dan Kesetaraan Perempuan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Semenjak di Jakarta saya menikmati gaya hidup yang berbeda dibandingkan saat stay di Madura. Salah satunya, menikmati malam mingguan atau malmingan bersama teman. Malam Ahad kemarin saya dan temen-temen ngobrol ngalor-ngidul di Basecamp Caffe Ciputat. Suasananya yang bersahabat membuat kita bisa bereuforia bersama sampai membuat saya lupa akan keesokan harinya, tanggal 21 April.

Tanggal dan bulan tersebut tidak asing lagi di benak masyarakat Indonesia. Momen ini lebih dikenal dengan Hari RA Kartini. Setiap momen Kartini, media sosial selalu rame dengan ucapan “Selamat Hari Kartini”. Saya bertanya: “Apa yang mereka pelajari dari sosok Kartini?” Pertanyaan ini bukan hanya buat Anda, namun pula buat saya pribadi, karena saya dan Anda sepertinya masih terjebak dalam cengkraman diskriminasi gender.

Saya coba mengintip perjalanan hidup Kartini dari usia kecil, sekolah di ELS (Europeesche Lagere School), hingga cita-citanya mengangkat emansipasi wanita. Selain itu, kumpulan surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Eropa dan kemudian surat ini dipublikasikan dalam bentuk buku Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). Pada 1992 buku Kartini diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran.

Mengenang Kartini tak ubahnya membaca masa depan perempuan di pulau Jawa tempo dulu. Jawa termasuk pulau terluas ketiga belas di dunia yang mana keislamannya dapat dibilang kuat, karena di sana berdiri ratusan pesantren yang mengajarkan dasar-dasar keislaman (the principle of Islam) dan perkembangannya. Salah satunya, Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Annuqayah Madura, bahkan di Jepara tempat kelahiran Kartini juga didirikan Pesantren Darul Falah Amtsilati.

Kendati pesantren mengakar begitu kuat di pulau Jawa, bias budaya patriarki masih terasa. Anda tahu patriarki termasuk budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti. Budaya ini menguasai medan kehidupan manusia sebelum Islam datang. Singkatnya, perempuan diperlakukan secara tidak manusiawi, dirampas hak-haknya, dipandang sebelah mata, bahkan diperlakukan secara tragis, seperti dikubur hidup-hidup. Sahabat Umar bin Khattab pernah terjebak dengan budaya patriarki sebelum mendapatkan hidayah memeluk agama Islam, sehingga dengannya ia mengubuh anak kandung sendiri secara hidup, karena anak yang dilahirkan adalah perempuan. Penyesalan baru terasa saat Umar masuk Islam. Masa itu dikenal dengan masa Jahiliyah.

Saat Islam diperkenalkan oleh Nabi Muhammad Saw., budaya patriarki sedikit demi sedikit diamputasi. Islam menyangkal praduga patriarki atas kronologis diturunnya Nabi Adam dari surga karena godaan Siti Hawa sebagai perempuan pertama. Menurut Islam, yang melakukan pelanggar mencicipi buah Khuldi bukan Hawa seorang, namun mereka berdua, yakni Adam dan Hawa. Al-Qur’an merekam pembelaan terhadap praduga salah ini dalam QS. al-Baqarah/2: 35, yang berbunyi: Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.

Bias patriarki di Jawa bisa dilihat dari: Pertama, anak perempuan yang dilarang melanjutkan studi di luar pesantren. Alasannya sederhana, perempuan mudah menyulut fitnah karena merantau ke negeri orang tanpa batasan yang ketat, sehingga dikhawatirkan akan terjebak pada hubungan di luar pernikahan yang dapat merendahkan martabat keluarga.

Kedua, tidak ada ruang diskusi dalam menentukan calon suami sebagai masa depannya. Masyarakat Jawa meletakkan perempuan harus selalu menerima pilihan orangtua tanpa diberi ruang diskusi. Karena, hanya sosok lelaki yang punya wewenang menentukan pilihannya sendiri. Boleh jadi, masyarakat melihat sosok perempuan tercipta dengan akal yang lemah, sementara sosok lelaki dianugerahi akal yang kuat. Hal ini banyak terinspirasi dari hadis Nabi yang dipahami secara tekstualis. Padahal, hadis itu, sebut Quraish Shihab, sepatutnya dipahami secara metafor.

Ketiga, perempuan cukup di rumah. Hal ini secara tidak langsung memberikan batasan terhadap perempuan menghirup kebebasan layaknya laki-laki. Akibatnya, sektor kepemerintahan banyak dikuasai laki-laki, sementara perempuan tidak mendapat tempat. Karena ini, kreativitas perempuan terpenjara dan masa depannya hilang. Padahal, Tuhan menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, dengan IQ yang sama. Al-Qur’an mengisahkan kehebatan Ratu Balqis dari negeri Saba’ yang dapat memimpin masyarakatnya dengan adil dan mengembangkan negeri menjadi baltun thayyibah negeri yang subur.

Maka, dengan demikian, Kartini merasa ada kekeliruan dari cara pandang masyarakat menginterpretasikan Islam yang menghendaki kesetaraan dan keadilan. Di sanalah Kartini mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Atas kegigihan Kartini, Yayasan Kartini mendirikan pula sekolah wanita yang diberi nama Sekolah Kartini di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Cirebon, dan beberapa kota yang lain.

Menyambut Hari Kartini hendaknya diberangi dengan sikap mengentaskan budaya patriarti sampai ke akar-akarnya, sehingga dapat memosisikan perempuan setara dengan laki-laki. Sebab, kata Kahlil Gibran dalam bait syairnya, “Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu, tapi mereka bukan milikmu.” Bahkan, disebutkan dalam QS. al-Hujurat/49: 13: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Selamat Hari Kartini![] Shallallah ala Muhammad!

[zombify_post]

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru