33.2 C
Jakarta

Kapitalisme Religi : Sebuah Sintesa Antara Islamisme dan Kapitalisme

Artikel Trending

KhazanahEkonomi SyariahKapitalisme Religi : Sebuah Sintesa Antara Islamisme dan Kapitalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ada sebuah fenomena sosial baru dalam masyarakat kita khususnya yang terjadi dalam komunitas islam. Fenomena itu bisa kita observasi melalui gejala-gejala yang tumbuh di lingkungan pendidikan, komunitas atau lingkungan sosial kita pada umumnya. Ada kesadaran yang tumbuh diantara anggota komunitas muslim yang diperlihatkan dengan kecenderungan praktik jilbabisasi, hijrah, gaya hidup ‘syar’i’ sampai pada wacana formalisasi hukum islam. Fenomena yang disebut banyak kalangan sebagai sebuah gejala konservatisme agama atau populisme agama. Yaitu suatu gerakan yang hakikatnya lebih tepat disebut sebagai kapitalisme religi. Seperti gelombang jilbabisasi yangmenerjang kampus-kampus di Indonesia belakangan, menunjukan fakta ada sesuatu yang berubah dengan karakter keberagamaan komunitas muslim.

Konservatisme Agama Berkedok Syar’i

Agak aneh fenomena jilbab dan laku syar’i yang akhir-akhir ini semakin marak jika melihat sejarah penggunaan jilbab yang mendapatkan resistensi sengit dari pemerintah orde baru di tahun 80-an sampai awal 90-an. Saat itu jilbab dipandang sebagai simbol perlawan politik terhadap pemerintah sehingga sampai diberlakukan regulasi pelarangan penggunaan jilbab di ruang publik.

Namun sepertinya sejarah bergerak ke arah yang lain. Dewasa ini hampir setiap muslim terbawa arus gelombang jilbabisasi. Tidak terlalu menarik kalau kita mengamati signifikansi trend jilbab. Jilbabisasi justru dipandang sebagai wujud kesadaran beragama untuk mengupayakan gaya hidup islami. Lain halnya apabila kita mulai melihat kesadaran keagamaan yang tumbuh kuat di masyarakat berjalan secara linear dengan tumbuhnya konservatisme agama berhadapan munculnya kelas menengah muslim perkotaan. Munculnya kelas menengah muslim perkotaan ditandai oleh munculnya sikap sadar terhadap doktrin-doktrin keagamaan.

Masyarakat perkotaan semakin memiliki asumsi kuat bahwa  kehidupan modern telah banyak membawa kerusakan moralitas masyrakat kota. Kehidupan modern yang penuh nafsu konsumtif dan hedonistik pada akhirnya tidak bisa dijadikan orientasi kehidupan. Uniknya, kelas menengah perkotaan tidak serta merta menolak keras gaya hidup modern. Mereka memang menginginkan model kehidupan religius tetapi disaat bersamaan menolak model kehidupan muslim pedesaan yang asketis dan tradisional. Mereka tengah berada disebuah persimpangan jalan antara menerima model kehidupan modern yang tidak bermakna atau kembali ke model kehidupan beragama yang tradisional namun keluar dari hirup pikuk kehidupan modern.

Lalu sejauh mana kah muslim perkotaan menghadapi dilema semacam itu ? Jawaban yang bisa kita peroleh  adalah muslim perkotaan secara sadar atau tidak sadar telah berhasil melakukan sintesa antara gaya hidup islami dengan gaya hidup modern. Beberapa penulis seperti Prof. Ariel Heryanto menggunakan istilah post-islamisme untuk menggambarkan gejala ini. Post-islamisme adalah sikap kelas menengah muslim perkotaan yang berhasrat menjadi muslim ortodoks tetapi tidak mau meninggalkan gaya hidup modern seperti konsumeristik dan hedonistik. Untuk memberikan sebuah data yang argumentatif, kita perlu menggunakan pendekatan untuk mendekati gejala ini antara lain melalui pendekatan sosial dan budaya.

Dampak Proses Islamisasi Perkotaan

Proses islamisasi yang berlangsung semenjak abad ke-8 melalui para kaum pedagang masih berlangsung hingga hari ini. Islamisasi yang terjadi di Indonesia merupakan proses yang berkesinambungan (kontinuitas). Proses islamisasi itu semakin jelas pasca reformasi. Gelombang jilbabisasi, kesadaran hidup ‘syar’i’, terbentuknya komunitas religi seperti forum pengajian adalah tanda proses islamisasi itu masih berlangsung. Secara sosial proses islamisasi yang berkesinambungan disebabkan oleh struktur sosial masyarakat Indonesia yang dalam sejarahnya dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya lokal. Penetrasi ajaran Islam ortodoks terjadi secara perlahan namun menuju ke arah formasi sosial yang jelas. Ini menjawab mengapa kondisi akhir-akhir ini khususnya masyarakat muslim perkotaan semarak bejar agama islam lebih murni, lebih ‘jelas’ dan lebih konsisten.

Gencarnya proses islamisasi di perkotaan dihadapkan pada pengaruh globalisasi yang membawa pada kemajuan teknologi di setiap aspek kehidupan. Bagi masyarakat perkotaan, menerima globalisasi dan teknologi adalah keniscayaan. Sulit rasanya menjadi orang kota tapi tidak menerima pengaruh kemajuan teknologi. Saya melihat ada tiga nilai saling bertabrakan di perkotaan yaitu nilai modernitas, agama dan moralitas. Ketiga nilai itu bukan nilai yang gampang untuk dipertemukan.

Fragmentasi dari kontradiksi tiga nilai tadi melahirkan jenis model kehidupan perkotaan jika tidak sekuler-hedonistik-konsumeristik maka agamis-tradisional-fundamental. Yang pertama sangat dipengaruhi budaya barat melalui simbol-simbol modern, yang kedua setia menolak budaya barat berserta simbol-simbol yang menyertainya. Dikotomi dari dua model kehidupan tersebut meninggalkan ‘ruang’ yang kosong. Sebuah ruang yang seakan-akan menjadi penengah antara dua model tadi. Pada ruang ini lah masyarakat muslim perkotaan mengisi. Mereka tidak mau bersikap konservatif terhadap modernitas tetapi ingin bersikap konservatif secara keagamaan sebagai kesadaran pentingnya ajaran agama dalam menghadapi bahaya laten kehidupan modern. Ini semacam paradoks. Sulit dibayangkan pada akhirnya ruang kosong tadi melahirkan model kehidupan baru untuk struktur masyarakat muslim perkotaan.

Kapitalisme Religius

Saya agak susah memberikan sebuah istilah untuk model kehidupan yang tercipta dari sebuah perkawinan kontroversial antara agama dan modernitas. Kita bisa memberi model seperti itu dengan istilah ‘kapitalisme-religius’. Istilah tersebut lebih merujuk pada kehidupan islam perkotaan yang ‘islam modern’, ‘islam millineal’, ‘islam hedonis’ atau semacamnya. Penggunaan terminologi kapitalisme-religius adalah hasil abstraksi tindakan sosial orang-orang yang menganut model kehidupan modern bercirikan konsumtif dan hedonistik tanpa melupakan batas-batas ajaran doktrin agama. Perhatikan fenomena kelas menengah muslim perkotaan dengan karakteristik antara lain :

1. Mode pakaian muslim kekinian namun tetap sesuai standar religius

2. Kegemaran pada simbol-simbol kapitalisme seperti KFC, coffe shop, Bioskop, Karaoke, Butik dan sebagainya

3.  Aktivitas di media sosial secara ‘hiper’

4. Menampilkan citra Islam yang ‘trendy’, ‘modis’ dan ‘estetik’

5. Mengikuti foum keagamaan konservatis

Kelima karakteritistik itu meskipun tidak bisa saya katakan universal tetapi menunjukan gejala umum khususnya di basis sosial perkotaan yang urban. Dari fakta partikular dominan saya bisa menarik kesimpulan bahwa kelas muslim menegah perkotaan telah mengambil sebuah model kehidupan yang ‘kompromistis’ terhadap gejala globalisasi. Gejala baru ini memiliki makna positif dan negatif. Positif karena islam mampu mengelaborasi kultur barat yang dahulu dianggap ancaman bagi kestabilan ajaran Islam. Negatif, karena kapitalisme sebagai ‘anak’ modernitas semakin mengukuhkan dominasi-eksploitatif terhadap manusia. Hal ini mengakibatkan Islam sebagai ajaran emansipatoris mulai kehilangan jiwa sosialismenya. Bukan kah Nabi Muhammad seorang ‘kiri’ dan anti-kapitalisme ?

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru