Kata orang, Kampusku adalah kampus yang nyaman. Sebuah kampus pergerakan dan pendidikan dimana banyak orang yang merelakan para sosok terkasihnya merantau dan mengenyam pendidikan di kampus ini. Tempat dimana kearifan lokal masih bisa hidup di tengah-tengah terpaan pembangunan yang kian menjadi.
Sebuah komunitas sosial yang mampu menahan perkembangan zaman sehingga lajunya menjadi tidak semasif dan seliberal beberapa kampus di Ibukota Republik ini. Suatu wilayah, yang bagi kebanyakan kaum urban mengatakan bahwa waktu tidaklah berdetak di kampus ini. Sedangkan bagi saya, Kampusku adalah sebuah tempat yang saya sebut sebagai, “rumah.”
Rumah yang begitu saya banggakan dan saya cintai. Tempat dimana saya bisa beradu pikiran tanpa mendapatkan labelisasi tertentu, serta wadah yang pas bagi saya untuk menumpahkan ide tanpa perlu khawatir tersandung kasus persekusi. Rumah yang begitu nyaman untuk menghabiskan masa muda untuk menuntuk ilmu, tanpa perlu terusik dengan polarisasi politik praktis. Dan juga sebagai tempat yang tepat untuk melepas sanak-saudara serta keluarga kecilku kelak, untuk menuntut ilmu tanpa perlu merasa cemas akan keselamatan jiwa, dan psikologis mereka.
Namun itu dulu.
Dulu ketika kampus ini masih layak di labeli sebagai kampus pendidikan, utamanya bagi kaum pinggiran seperti Saya. Saat kampus ini masih disebut sebagai kampus Islam di kawasan pantai utara Jawa. Saat kampus ini masih terasa begitu njawani, juga Islami.
Euforia akan kebebasan memilih “rumah kecil baru”, nampaknya tak mampu membawa angin segar bagi kaum panggiran seperti Saya. Harapan akan adanya kesetaraan dan kebebasan di berbagai aspek dalam kehidupan bernegara di dalam kerangka sebuah Universitas Islam. Hanya saja, mungkin, kebanyakan dari kita banyak yang alpa dalam menyadari kata bagaimana dan mengapa, ketika sibuk mengejar apa-apa yang tak lebih dari sebuah gengsi belaka. Sehingga dalam implementasinya menjadi sedikit tidak karuan, bahkan beberapa menjadi nista.
Namun begitu, waktu tetap berputar dan zaman tetap berjalan. Kampus ini pun tidak lepas dari gilasan perkembangan yang ramai di gaungkan atas nama Radikalisasi. Yang kembali menjadi pertanyaan, mengapa dan bagaimana sikap kampus terhadap hal ini?
Dua hari lalu, Kampusku lantang mengatakan bahwa dirinya tidak sebagaimana mestinya. Kampus ini tidak searif dulu. Tidak, saya tidak sedang berbicara mengenai merebaknya tagar #UKTMAHAL dan gaung #KAMPUSHIJAU.
Kali ini saya berbicara mengenai sebuah kisah kegagalan kampus ini dalam mempertahankan, tidak hanya status, namun juga “sebagian kecil” mahasiswanya sebagai sebuah komunitas yang arif dan berpendidikan. Hingga berujung pada terjadinya tindakan pembubaran paksa sebuah kegiatan Sholawatan di Masjid Kampus III Kampusku. Miris.
Saya juga ingin menyuarakan tentang sebuah ironi atas terbentuknya sekat-sekat sosial dalam kehidupan organisasi ekstrakurikuler Mahasiswa di Kampusku. Sebuah dampak dari perbedaan tempat menempa diri, yang pada tiap hari tumbuh menjadi iri dengki. Menjadikan nama besar “zirahnya” sebagai sebuah keniscayaan yang patut dijaga, meskipun harus menenggelamkan saudaranya. Bagi Anda mungkin ini terlihat lebay, namun bagi Saya, kejadian Rabu malam tak ubahnya sebuah cambuk yang lebih memilikuakn dari sekadar istilah persekusi.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Perubahan yang begitu signifikan telah banyak dialami oleh Kampusku Semarang, setidaknya terhitung sejak Saya mulai menuntut ilmu di kampus ini. Dalam 7 tahun terakhir, terlebih sejak adanya perubahan status dari IAIN Walisongo menjadi Kampusku, terjadi lonjakan minat dari masyarakat untuk menitipkan anaknya untuk belajar di Kampusku. Mengingat, Kampusku merupakan salah satu perguruan tinggi Islam yang dipandang mampu memberikan pendidikan agama, terutama pendidikan akhlak.
Terjadinya lonjakan jumlah Mahasiswa baru yang begitu masif, mau tidak mau, harus diakui sebagai poin penting yang berperan dalam bergesernya nilai-nilai sosial di Kampusku. Karena tanpa bisa dipungkiri, sebagian besar dari mereka bukan lulusan pesantren atau sekolah menengah atas berbasis agama Islam.
Sebagai tempat berkumpulnya beragam suku, etnis, dan beragamnya latar belakang pendidikan Mahasiswa baru, Kampusku dinilai mampu menjadi lokasi yang tepat sebagai wadah berpusarnya nilai-nilai keberagaman. Yang, idealnya, juga mampu mempertahankan identitasnya sebagai kampus Islam yang mampu mengedepankan akhlak, juga menyertainya dengan pengetahuan lainnya.
Namun kenyataan selalu saja bertolak belakang dengan kenyataan. Fakta bahwa Kampusku sebagai identitas yang mulai terus-menerus tergerus dan dipaksa berasimilasi dengan nilai-nilai baru atas nama millenialisme. Diperparah dengan idelogi-ideologi intoleran berbau keyakinan yang dibiarkan berkembang bebas. Semua ini bagaikan mengamini adanya efek bola salju yang berkembang di kampus ini. Dengan mengutip kalimat seorang kawan, “Begitu masif dan sistimatis.”
Kedua, senarnya ini juga masih ada sangkut pautnya dengan faktor yang pertama. Ditengah membludaknya Mahasiswa baru, menyulut setiap organisasi Mahasiswa untuk bersaing menggaet banyak anggota untuk melanjutkan kaderisasi.
Lebih dari itu, semakin banyak anggota yang dapat direkrut, tentunya organisasi tersebut akan semakin memiliki bargaining yang membanggakan, bahkan bisa untuk dijadikan sebagai sebuah kesombongan. Kedepannya, banyaknya anggota ini akan diarahkan untuk memenangkan Pemilwa. Dan parahnya, banyak anggota kadang menjadikan rasa memiliki kampus yang berlebih, hingga ujung-ujungnya terjadi kemarin malam. Terjadi sebuah pembubaran secara paksa kegiatan Sholawatan yang diadakan oleh salah satu organisasi ekstra kampus di Kampusku Semarang.