29 C
Jakarta
Array

Kampus, Jangan Sampai Terkena Virus (Radikalisme)

Artikel Trending

Kampus, Jangan Sampai Terkena Virus (Radikalisme)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Kuliah tidak mengajarkan apa yang harus kita pikirkan dalam hidup ini. Melainkan, mengajarkan bagaimana kita berpikir logis, analitis dan praktis”

Begitulah, pedapat Azis White tentang hakikat kuliah di kampus. Kampus menjadi wahana belajar bagi mahasiswa untuk berpikir secara kritis dalam menyikapi sesuatu, bukan malah menjadi sarang penyebaran paham radikal. Belakangan ini, kekhawatiran tersebut menjadi perhatian serius pemerintah apalagi didukung oleh berbagai riset dan survei di berbagai kampus. Hal demikian diperkuat dengan pendapat Azumady Azra yang mengatkan, bahwa suburnya gerakan radikalisme di kampus, disebabkan oleh tidak adanya gerakan tandingan untuk melawan paham radikal.

Menurut survei Alvara Research Centre dan Mata Air Foundation menyebutkan, bahwa 19,6 % mahasiswa sepakat dengan peraturan daerah (Perda) syar’ah, 16,8 % mendukung ideologi Islam, 25,3 % setuju dengan konsep berdirinya negara Islam, 29,5 % tidak pro dengan pemimpin Islam, dan 23 % berpotensi radikal. Survei tersebut diambil dari 1.800 dari 25 perguruan tinggi di Indonesia. (tribunnews.com/2017)

Hal demikian didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 2006. Mereka mengungkapkan bahwa, terdapat 86 persen dari lima kampus yang menginginkan penegakan syariat Islam dan menolak konsep Pacasila sebagai ideologi Bangsa. Metode penyebaran paham radikalisme di ranah kampus melalui bebagai macam, salah satunya adalah proses pergerakan keagamaan di organisasi kampus. Praktik dan kajianya bekutip pada bagaimana mendirkan negara Islam di Indonesia dengan versi mereka sendiri.

Penyebaran paham-paham radikal di kampus jika tidak diminimalisir, maka akan mengancam kesatuan dan kesatuan di masa yang datang. Sebut saja kasus bom bali, terror di Mako Brimob Surabaya dan beberapa fenomena yang bersumber dari paham-paham radikal tidak diminimalisir di Indonesia khusunya di ranah kampus, maka 20-30 tahun lagi Indonesia akan darurat paham radikal, bahkan akan terpecah belah.

Menurut Farhana problematika penyebaran paham radikal di kampus sudah terjadi cukup lama. Pada belakangan ini, imbas dari bibit-bibit yang tanam sejak lama tersebut mulai terasa. Pada orde baru, Soeharto menekan dan membasmi seluruh aspek yang megacam keamanan dan stabilitas politik dan negara, termasuk di ranah kampus.

Bentuk penekanan yang dilakukan oleh Soeharto di ranah kampus adalah dengan memberikan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), yang intinya mematikan daya kritis mahasiswa saat itu. Dengan demikian dan didorong berbagi kepentingan, maka mahasiswa melakukan ativitas tertutup lewat majlis taklim, pengajian, dan kelompok diskusi keagamaan. Nah, dari itulah paham-paham radial ditanam dan sekarang sudah mulai “panen”.

Setelah rezim Soehato “tumbang”, mahasiswa-mahasiswa yang sudah dikader, diberikan kajian dan wawasan tentan paham radikal mulai menduduki kursi strategis di intra kampus. Dengan demikian, cita-cita dan strategi tentang intolerasnsi, khilafah, dan negara Islam sangat mudah menjalar di ranah kampus. Maka perlu adanya upaya yang serius untuk menangkal paham ini.

Obsesi OKP Masuk Kampus

            Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (SK Dirjen Dikti Kemendikbud) No. 2/Dikti/Kep 2002 menyebutkan, bahwa semua organisai ekstra dilarang masuk ke kampus, karena ditakutkan akan membawa kepentingan organisasi ke ranah kampus. Akan tetapi, beberapa bulan yang lalu dan berdasarkan Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa, maka seluruh organisasi eksra kampus boleh masuk kampus lagi. Tapi, syarat dan ketentuan berlaku.

Organisasi ekstra kampus atau Organisasi Kemasyakatan Pemuda (OKP) tersebut meliputi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Gerakan Mahsiswa Nasional Indonesia (GMNI). OKP tersebut akan dibentuk dalam satu wadah, yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB).

Dalam konteks ini, yang bertangung jawab atas OKP tersebut adalah kampus masing-masing dan di bawah pengawasan rektor langsung. Hal ini sesuai dengan perkataan Mentri Nasir, yaitu “Dalam Perminresdikti No. 55 Tahun 2018, pasal 1 berbunyi, perguruan tinggi bertangung melakukan pembinan ideologi bangsa, NKRI, UUD 1945, dan Bhineka Tunggl Ika dalam kokurikuler, intrakurikuler, dan ekstrakurikulier”.

Lewat UKM PIB ini, pemerintah berupaya agar kampus menjadi pusat pemerkokoh ideologi bangsa dan mampu menjadi benteng dari paham-paham radikal. Sebab, jika paham radikal dibiarkan begitu saja, maka peristiwa pada bulan Mei 2018 lalu, yakni Bom di 3 gereja di Surabaya, Teror di Mako Brimob, dll. takunya akan terulang lagi di hari hari kelak nanti.

Meskipun demikian, semua tindakan dan upaya tersebut tidak akan terealisasi, jika seluruh masyarakat tidak berperan aktif dalam menangani kasus tersebut. Maka perlu kerjasama dari beragai elemen masyarakat. Sudah saatnya kita berbondong-bondong mengentaskan kampus dari virus radikal yang semakin menjalar, agar Indonesia tetap nyaman, tentram, dan aman. Wallahu a’lam bi  ash-showab.

*Ahmad Asrori, Ketua HMI di Lingkup Cabang Semarang dan Peneliti di Lembaga Studi Agama dan Nasionalisme (LeSAN).

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru