30.1 C
Jakarta
Array

Kampus Dinilai Belum Bebas Radikalisme

Artikel Trending

Kampus Dinilai Belum Bebas Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Yogyakarta – Akademikus Universitas Gadjah Mada Bagas Pujilaksono Widyakanigara Ph. D menulis surat terbuka pada Presiden Jokowi tentang kampus yang menurut dia sering menjadi sarang gerakan radikalisme.

Dosen Fakultas Teknik ini setuju rektor perguruan tinggi negeri dipilih dan dipecat oleh presiden. Ia juga mengusulkan rektor yang membiarkan dan tidak tegas  adanya gerakan radikalisme diberhentikan.

“Pecat rektor-rektor yang membiarkan kampusnya jadi sarang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan kelompok radikal lainnya yang jelas-jelas anti Pancasila dan NKRI yang berbhinneka,” kata Bagas dalam surat terbuka untuk presiden Joko Widodo, Rabu, 19 Juni 2019.

Ia juga mengusulkan dosen yang terlibat paham radikalisme dipecat. Fasilitas dan keuangan kampus hanya untuk kegiatan akademik, bukan untuk kegiatan politisasi agama. Namun ia tidak menyebutkan kampus mana yang terindikasi terpapar radikalisme.

Bagas mengatakan, pihak universitas juga harus menginvestigasi dan mengaudit rumah-rumah ibadah di kampus.  Apakah sudah berfungsi sebagaimana peruntukannya atau justru jadi sarang para radikalis dalam menyebar kebencian.

“Politik ekstrim, bisa kiri atau kanan, hanyalah wujud aksi yang menerpa perguruan tinggi. Kita,  bangsa Indonesia pernah mengalami keduanya,” kata dia.

Ia menilai,  menguatnya politik ekstrim kanan di perguruan tinggi saat ini penyebab utamanya adalah rektor.  Karena rektor cenderung leda-lede (plin plan, setengah hati) dan tidak jelas pijakan politiknya.

“Sehingga radikalisme tumbuh subur di dalam kampus berlindung kebebasan dan demokrasi.  Aneh bukan?  Kelompok anti kebebasan dan demokrasi,  justru saat ini memanfaatkan kebebasan dan demokrasi untuk menghancurkan demokrasi dan kebebasan itu sendiri,” kata dia.

Ia menambahkan, politik radikal di kampus jelas bertentangan dengan ruh perguruan tinggi yaitu nationality and freedom. Gerakan radikalisme di kampus tidak hanya HTI (meski sudah dibubarkan). Ada juga paham wahabi dan  salafi yang ia nilai sebagai paham radikal.

Menurut dia, pembiaran terhadap bibit radikalisme ini juga muncul pada dekan dan ketua jurusan. “Rektor tidak punya nyali karena memang keduanya bukan ditunjuk oleh rektor,” kata Bagas.

Padahal keduanya kepanjangan tangan rektor di tingkat fakultas dan departemen.  Hal ini berimplikasi luas,  bukan hanya untuk kasus radikalisme,  namun juga kejahatan akademik lainnya.
Ia mencontohkan adanya kasus plagiarisme oleh dosen bahkan jadi profesor dengan karya tulis hasil jiplakan.

“Bagaimana rektor bisa tidak berkutik ada dosen yang menjadi profesor dari karya tulis jiplakan,  bahkan kesannya rektor nutup-nutupi untuk kasus-kasus kejahatan akademik,” kata dia.

Bagas juga menyoroti pemilihan rektor melalui Majelis Wali Amanat (MWA) merupakan suatu kesalahan. Karena MWA, menurut dia, hanya jadi sarang radikalis.

“Bubarkan MWA, rektor sebagai kepanjangan tangan presiden harus steril dari kegenitan MWA dan Senat Akademik.  Belum ada rektor yang kredible dari hasil seleksi di MWA,” kata dia.

Zuli Qodir,  pengamat gerakan radikalisme kampus dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta juga menyoroti suburnya gerakan radikalisme di kalangan kampus. Bahkan ia menyebut kampus-kampus di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah lama menjadi lahan garap pegiat paham radikalisme.

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru