27.5 C
Jakarta
Array

Kampanye No, Pendidikan Politik Yes!

Artikel Trending

Kampanye No, Pendidikan Politik Yes!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam negara yang menganut sistem demokrasi, akan ada hajatan rutin saban tahunnya. Di Indonesia, setiap lima tahun sekali diadakan pemilihan pemimpin, baik di level pusat (Pilpres) maupun daerah (Pilkada). Pada tahun 2018, ada 171 daerah yang akan memilih pemimpinnya untuk periode lima tahun ke depan.

Sementara tahun depan (2019) segenap masyarakat juga akan dihadapkan oleh pesta demokrasi lima tahunan, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden, yang dibarengi juga dengan pilihan legeslatif (Pileg).

Adanya Pilkada 2018, Pilpres dan Pileg 2019, menjadikan para calon eksekutif dan legislatif mulai mencari perhatian publik. Dalam Bahasa ilmu politik, mencari perhatian masyarakat pemilih disebut dengan kampanye. Ini adalah kondisi yang tak dapat dihindari oleh para kelompok yang berkepentingan. Artinya, kampanye sedini mungkin harus digemakan agar masyarakat memilihnya.

Kampanye di Masjid

Kampanye adalah aksi atau gerakan serentak untuk berpropaganda dengan cara santun maupun hitam ( Kamus Bahasa Indonesia , 2008, hal 627). Dalam konteks politik, kampanye adalah gerakan mempropagandakan program-program individu maupun partai politik kepada khalayak umum.

Metode kampanye bisa melalui media apa saja;media televisi, koran dan media sosial. Semua kegiatan kampanye sah-sah saja dan dijamin oleh konstitusi, tentu dengan catatan atau rambu-rambu tertentu, misalnya materi kampanye tidak mengandung unsur SARA, hoax dan pornografi. Sesungguhnya, kampanye praktis tidak sembarang waktu bisa. Artinya, KPU dan KPUD sudah menentukan jadwalnya, selain itu juga ada larangan keras menggunakan fasilitas negara (lihat Pasal 84 ayat (1) huruf h UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif)

Namun, ada yang masih diperdebatkan. Misalnya bagaimana jika di dalam pengajian, tabligh akbar bahkan khutbah jumat terlebih itu di dalam masjid, seorang kandidat atau tim pemenangan melakukan kampanye?

Menjawab persoalan di atas, perlu saya sampaikan dalam tulisan singkat ini. Awal mula kampanye di masjid sebenarnya sudah muncul sebelum adanya partai politik dan diterapkannya sistem voting yang kita ketahui di sistem demokrasi.

Adalah Muawiyah bin Abu Sufyan sosok yang pertama kali menggunakan masjid untuk berkampanye bahkan menjatuhkan lawan politiknya, yakni Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ia memanfaatkan kasus pembunuhan Khalifah Usman. Tak lupa membangkitkan kemarahan pendukungnya dengan memperlihatkan di dalam masjid Damaskus barang-barang peninggalan Usman bin Affan beserta potongan jari istrinya Khalifah Usman (Lihat Syed Mahmudunasir, Islam konsepsi dan sejarahnya , hal 197).

Kampanye NO, Pendidikan politik YES!

Januari 2017 masih lekat dalam ingatan saya akan ceramah salah satu kandidat Gubernur di Masjid al-Azhar. “Nanti silakan semua yang di sini menentukan pilihan bulan depan. Saya nggak boleh kampanye kalau di masjid. Karena nggak boleh kampanye jadi saya bicara Qiyamul lail saja“.

Apa yang dilakukan kandidat ini berbeda dengan Muawiyah. Kandidat ini sudah  mengindahkan fungsi masjid di era modern bahwa di dalam masjid tidak boleh bicara urusan lain; dagang dan urusan duniawi lainnya seperti politik praktis yang akan menimbulkan pertengkaran, salah paham dan hal-hal lain.

Syeikh asy-Sya’rawi ketika menjawab pertanyaan “Apa fungsi masjid?” Beliau berkata “Orang yang masih melakukannya tidak akan mendapat berkah, malah ia akan mendapat kerugian” ( Anda bertanya Islam Menjawab , 2005, hal 219).

Sesuai firman Allah dalam An-Nahl ayat 125, ceramah itu menyeru manusia ke jalan Allah swt, bukan menyeru kepada golongan atau partai. Saya khawatir marwah masjid sebagai tempat merekatkan ukhuwah akan amburadul seketika akibat ceramah yang disusupi kampanye dan budaya menjatuhkan lawan politik seperti yang dilakukan Muawiyah kepada Khalifah Ali. Kampanye NO, Pendidikan politik YES!

Pengurus masjid hendaknya menolak kandidat dan tim pemenangan yang melakukan kampanye politik. Baik melalui ceramah, buletin hingga pasang spanduk. Sesuai firman Allah dalam An-Nahl ayat 125, ceramah itu menyeru manusia ke jalan Allah swt, bukan menyeru kepada golongan atau partai. Saya khawatir marwah masjid sebagai tempat merekatkan ukhuwah akan amburadul seketika akibat ceramah yang disusupi kampanye dan budaya menjatuhkan lawan politik seperti yang dilakukan Muawiyah kepada Khalifah Ali. Kampanye NO, Pendidikan politik YES!

Yang jelas tidak diharamkan ceramah di masjid yang muatannya mengandung “Pendidikan Politik”. Contohnya: Melacak dalil wajibnya mendirikan Khilafah, metode pengangkatan khalifah, bagaimana koalisi menurut Islam, hukuman bagi kaum pemberontak, kebijakan Daulah terhadap non Muslim, bolehkah memilih presiden perempuan hingga kebejatan kelompok ISIS sekalipun. Topik-topik yang disampaikan sangat berguna agar umat Islam yang awalnya awam menjadi mendapat wawasan baru di bidang politik. Wallahu’allam.

Fadh Ahmad Arifan
Fadh Ahmad Arifan
Alumni Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru