30.1 C
Jakarta

Kampanye Khilafah dan Fanatik Buta terhadap Kelompok

Artikel Trending

KhazanahTelaahKampanye Khilafah dan Fanatik Buta terhadap Kelompok
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Ramai di media sosial para mujaddid khilafah yang mengatakan bahwa, khilafah akan tegak di 2024 besok. Di tengah kekacauan politik yang carut marut, menuju tahun 2024, sangat rentan sekali untuk dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok pengacau NKRI yang berdalih ‘demi menyelamatkan Indonesia’. Barangkali kita perlu melihat negara Irak yang dulu adalah negara dengan sistem pemerintahan Islam sejahtera, potret peradaban Islam, dan menjadi kebanggaan masyarakat muslim.

Baghdad, ibu kota Irak pada masa silam dikenal sebagai kota seribu malam. Di bawah kepemimpinan Khalifah Harun al Rasyid, semua terkendali dan menjadi salah satu potret peradaban Islam dengan penerapan sistem negara Islam. Irak menjadi kota yang berkemajuan, berperadaban dengan pesatnya keilmuan dan bidang pendidikan serta kesejahteraan bagi rakyatnya. Begitu pula ketika di bawah kepemimpinan Presiden Saddam Husein, negara ini masih sangat maju dengan kekuatan militernya yang ditunjukkan dengan invasi ke Kuwait, untuk mengklaim sebagai bagian dari negaranya. Itu terjadi dahulu.

Akan tetapi, invasi ini menjadi awal malapetaka runtuhnya kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat Irak. Hal ini terjadi ketika Presiden Bush (junior) pada tahun 2003, memimpin pasukan koalisi Barat menghancurkan Irak. Saddam Husein dilengserkan sebab kekuatan militer Irak menjadi saingan oleh negara lain bahkan negara adi kuasa yakni AS dan membahayakan bagi negara Barat.

Dari sinilah serangkaian kemunduran Irak terjadi. Presiden Saddam Husein dilengserkan dan dihukum mati. Setelah Saddam Husein dilengserkan, maka konstitusi yang dibuat untuk mengelola pemerintah Irak berganti pada demokrasi. Hal ini membuat masyarakat Syiah, sebagai mayoritas memiliki kuasa penuh, sebab selama ini belum pernah mendapatkan kekuasaan.

Syiah di Irak adalah mayoritas. Kelompok masyarakat lain di Irak,  terdiri dari Sunni dan Kristen. Selama ini, Syiah tidak pernah berkuasa selama kepemimpinan Saddam Husein, yang berasal dari Sunni. Maka ketika penerapan demokrasi, Syiah memiliki kesempatan besar untuk memimpin. Sayangnya, ketika Irak berubah menjadi negara demokrasi, terjadi keributan di mana-mana dan kerap berujung kepada kekerasan dan perpecahan.

Kekerasan demi kekerasan terjadi, senjata menjadi salah satu jembatan untuk menunjukkan kekuasaan dan legitimasi diri agar mampu dilihat sebagai kelompok kuat. Kekacauan ini terjadi karena persaingan politik tidak sehat di antara kelompok Syiah sendiri. Mereka saling berebut kekuasaan untuk menjadi yang terhebat dan terkuat. Dari berbagai kekacauan tersebut, dalam melihat Irak, ada dua kelompok Syiah yang bersaing yakni Gerakan Sadrist dan Aliansi Kerangka Koordinasi. Dalam konteks ini, Gerakan Sadrist dipimpin Muqtada Al Sadr, yang mewarisi kepemimpinan agama dari ayahnya, Muhammad Sadiq al Sadr, pemimpin Syiah di Irak.

BACA JUGA  Memburuknya Demokrasi dalam Pemilu: Potensi Khilafahisasi Semakin Besar

Para pengikutnya yang banyak, dikenal militan dan fanatik. Persaingan antar Syiah ini semakin menimbulkan kekacauan di Irak sebab mengakibatkan puluhan orang meninggal. Dari sinilah kita mampu memahami bahwa adu kekuataan dan persaingan politik yang tidak sehat akan mampu mengubah suatu negara dari negara yang sejahtera, menuju negara yang carut marut dan menjadi ruang yang tidak aman bagi masyarakatnya.

Irak dan Potret Fanatisme Buta

Pelajaran yang bisa dipahami dari runtuhnya kemajuan Irak bukanlah perubahan dari negara Islam menjadi negara demokrasi yang membuat kacau. Lalu berupaya sekeras mungkin untuk mengupayakan agar sistem khilafah tegak kembali. Akan tetapi, fanatisme buta terhadap golongan mampu menjadikan kekacauan di sebuah negara. Menghadapi tahun politik pada 2024 ini, rentan sekali terjadi perpecahan dan persaingan antar kelompok.

Demokrasi yang sudah berjalan sejak masa silam, tidak kemudian diupayakan agar menjadi negara Islam supaya adil dan sejahtera. Justru, yang perlu dihindari dari kisah Irak adalah fanatisme buta itu. Fanatisme yang dimiliki oleh kelompok Islam diwujudkan dengan sikap keukeuh mendirikan negara Islam di Indonesia. Padahal, jika kita mengaku muslim yang baik dan benar-benar belajar dari runtuhnya kekhilafahan Islam di masa silam, kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa, bukan perubahan dari khilafah ke demokrasi yang membuat hancur, akan tetapi sikap fanatik terhadap golongan yang membuat kebenaran dan kebaikan tidak terlihat secara kasat mata.

Upaya untuk menghindari perpecahan dan kekacauan di tahun politik ini adalah fanatisme buta, menghamba kepada golongan sendiri dan melakukan segala titah dari kelompok sendiri. Negara Islam bukan solusi di balik kekacauan yang terjadi pada hari ini. Jika mengaku sebagai bangsa yang baik, maka menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan adalah upaya yang seharusnya terus dilakukan. Baik secara pribadi ataupun upaya dari kelompok. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru