26.5 C
Jakarta
Array

Kalimat Tauhid sebagai Kesadaran Multikultural

Artikel Trending

Kalimat Tauhid sebagai Kesadaran Multikultural
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Aksi radikalisme dan pemahaman gerakan radikal masih saja menjadi momok yang menakutkan ditengah masyarakat. Selain sebagai gerakan yang secara halus mengelabui dengan berbaju Agama, paham radikal juga telah mengubah reorientasi hidup seseorang. Bukan ketentraman dan kenyamanan dalam kehidupan kita saja yang terganggu, sasaran akhir mereka ialah ideologi yang telah membentuk wadah keberagaman (baca: Pancasila) kita menjadi sasaran mereka saat ini.

Berdasarkan hasil riset Wahid Institute berkaitan “Potensi Intoleransi Terhadap Kelompok yang tidak disukai”  bahwa mayoritas muslimin dan muslimah bersikap intoleran terhadap kelompok yang tak disukai (57,1 persen). Jumlah ini meningkat drastis daripada tahun 2016 dengan angka intoleran sebesar 51,0 persen. Mereka yang toleran terhadap kelompok yang tak disukai pada survei Oktober 2017 ini sebesar 0,8 persen, naik sedikit dari survei 2016 sebesar 0,7 persen. Sedangkan yang bersikap netral ada 42,1 persen, turun dari 2016, sebesar 48,3 persen (Detiknews/2018)

Gambaran dari hasil riset tersebut menggambarkan bahwa kita belum selesai dalam perang terhadap aksi dan paham radikalisme, keberagaman yang menjadi wajah bangsa kita sejatinya harus terus digelorakan untuk terus menggaungkan bahwa hidup itu tidak seragam akan tetapi hidup kita ini beragam. Namun, data diatas menjadikan suatu keharusan terhadap kita, bahwa aksi radikalisme selalu ada dan senantiasa mencari ruang dalam publik kita yang terus digerogoti oleh perilaku untuk merusak kebersamaan kita dalam naungan ideologi Pancasila.

Kejahatan berbaju Agama yang sering dilakukan oleh pelaku terorisme dan radikalisme, hanya menggunakan kekerasan untuk memenuhi nafsu dari ambisi untuk melakukan kejahatan. Kemudian Agama (Islam) yang selama ini dirugikan oleh pelaku kejahatan berbaju Agama ini, mereka menggunakan legalitas atas dasar Agama dan kalimat Tauhid untuk melakukan kejahatan kemanusiaan tersebut. Selama ini, kita mendengar kalimat Tauhid penuh dengan ketundukan hati dan rendah diri untuk mengagungkan kalimat-kalimat suci dalam Tauhid. Kita juga lupa bahwa ketika mengucapkan kalimat tauhid itu mempunyai makna yang cukup dalam dan mulia. Makna itu adalah bahwa makna tiada tuhan selain Allah (La Makltuba Illallah), tiada tujuan kecuali Allah (La Maqshuda Ilallah), tidak ada yang disembah kecuali Allah (La Ma’buda Illallah), dan tiada yang benar-benar eksis/ada kecuali Allah (La Maujuda Illallah)

Beda dengan pelaku teror, ketika mengucapkan kalimat Tauhid dibersamai dengan nafsu dan ambisi untuk menghancurkan, merusak, menghabisi dan membunuh kalangan yang menjadi target aksi kejahatan mereka. Kesucian Tauhid mereka nodai dengan ambisi-ambisi kotor untuk melegalkan aksi mereka, hal inilah yang sejatinya menjadi perhatian kita bersama. Seharusnya semua ucapan seseorang dalam mengumandangkan kalimat Tauhid bisa seimbang dengan perilaku. Sekarang kalimat Tauhid digunakan untuk melegalkan segala ambisi nafsu kekerasan terhadap yang berbeda. Padahal, sejatinya ketika kalimat Tauhid harus sesuai dengan keseimbangan dalam kelembutan perilaku. Dalam sebuah riwayat membahas bahwa “Barangsiapa yang akhir perkataanya sebelum meninggal dunia adalah “lailaha ilallah”, maka dia akan masuk surga (HR. Abu Dawud). Riwayat ini menggambarkan secara jelas kesucian dari kalimat Tauhid, bahwa ketika ucapan harus di-iringi dengan tindakan yang terucap. Kesucian dalam kalimat Tauhid juga sebagai pijakan dalam berprilaku lembut dan kesadaran terhadap hal yang berkaitan dengan perbedaan.

Kesadaran yang menurut Amin Abdullah yang harus dipunyai oleh masyarakat Indonesia yakni tentang kesadaran multikultural. Berbeda pandangan yang dipersepsikan sebagai sebuah hal yang berbahaya, diubah menjadi sebuah kesadaran tentang sadar berbeda. Upaya tersebut sebagai langkah untuk meminimalisir konflik sosial yang ditimbulkan akibat gesekan-gesekan yang sering dipermasalahkan.

Nilai tauhid yang ada dalam sila pertama pancasila, menjadi wajah bangsa kita, bahwa ideologi kita beranjak dari keasadaran tauhid ke-esa-an tuhan. Makna dari sila ketuhanan tersebut menggambarkan bahwa keragaman dari ketauhidan setiap penganut agama itu memunculkan sebuah nilai yang bisa dijadikan kesadaran multikultural. Kesadaran tauhid dalam pancasila harus dikedepankan dengan nilai multikultural didalamnya. Kerancuan dalam mengimplementasikan hidup beragam, kita ubah dengan sudut pandang penyeragaman yang senantiasa kita tuntut dalam hidup kita. Bahwa mereka yang berbeda, di pandang tidak logis atau tidak lumrah dalam pandangan kita. Cara berpikiran seseorang tidak bisa menggambarkan perspektf seperti kita yang menginginkan keseimbangan antara narasi keagamaan dan keindonesiaan.

Seperti peristiwa kemarin, aksi oknum Banser terhadap pembakaran Bendera HTI yang di narasikan menurut mereka sebagai bendera Tauhid. Bahwa disini persepsi kedua kubu berbeda dalam menarasikan dan itu tidak di imbangi oleh kecerdasan masyarakat yang awam dalam hal sejarah. Sehingga, efek dalam peristiwa tersebut Banser terpojok-kan dan tidak bisa mengimbangi karena dari awal sudah di framing bahwa yang dibakar ialah Bendera Tauhid..

Narasi dalam menanggapi simbol senantiasa selalu berbeda dalam persepsi setiap penganutnya. Begitupun kalimat Tauhid, pada titik inilah kita perlu menelaah kembali akan konsepsi bersama kita dalam ber-tauhid yang menggambarkan wajah Islam sebagai mengedepankan asas ramah dan toleran. Telaah tersebut dalam rangka untuk menumbuhkan kesadaran multikultural. Tauhid dalam Islam sangat keras terhadap paham esklusivisme, sejatinya dalam tauhid mengajarkan untuk tidak melakukan pembenaran secara tunggal, bahwa yang benar secara tunggal ialah hak tuhan semata sebagaimana dalam Q.S Al-Kahfi; 18:29.

Wallahua’lam bish-shawaab

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru