Dari keterangan yang telah dijelaskan KH Hasyim Asy’ari mengenai kasih sayang nabi terhadap orang lemah, miskin dan faqir. Bahwasnya ajaran Islam sangat menekankan keseimbangan antara dimensi ritual dan dimensi social, kedua dimensi ini tidak pisah dipisakan satu sama lainya. Kita tidak bisa mengganggap orang yang sholih dan alim hanya karena ia rajin sholat dan ibadah akan tetapi dia tak pernah memperdulikan keadaan sosialnya, kita juga tidak bisa menggangkap alim sholih orang yang rajin bersedekah dan bersosial akan tetapi dia lupa akan kewajiban terhadap tuhannya untuk sholat, puasa dan berdoa.
Prof Qurais Shihab dalam bukunya Siroh Nabi Muhammad tinjauan Al-Quran dan Hadist menduga bahwa ketikamauan orang Qurais menerima ajakan dakwah Islam sebenarnya bukan masalah keyakinan atau teologis akan tetapi lebih dominan faktor sosial dan ekonomi, mereka yang kaya, yang biasanya berlomba-lamba menumpuk harta benda takut ketika masuk Islam akan menjadi hambatan mereka untuk meraih kenikmatan dunia. Oleh karena itu diawal dakwah Islam, kebanyakan mereka yang masuk Islam adalah dari golongan orang yang tidak mampu.
Hal ini sesuai dengan pendapat Djohan Efendi bahwasnya surat-surat awal yang turunkepada nabi Muhammad kebanyakan menerangkan dimensi sosial ketimbang dimensi keyakinan. Sebagai contoh sini hanya diambil 12 surah palingawal saja, yakni: (1) Surah al-‘Alaq, (2) Surahal-Mudatstsir, (3) Surah al-Lahab, (4) Surah al-Quraysy, (5)Surahal-Kawtsar, (6) Surah al-Humazah, (7) Surah al-Ma’un,(8) Surah al-Takatsur, (9) Surah al-Fil, (10) Surahal-Layli, (11) Surah al-Balad, dan (12) Surah al-Insyirah. Sengaja hanya diambil 12 surah di atas, sebab surah yang ke-13 adalah Surahal-Dhuha.
Beberapa mufassir menceriterakan bahwa Surah al-Dhuha turun sesudah Nabi mengalami masa jeda di mana wahyu terhenti beberapa lama. Karena itu ke-12 surah di atas turun atau diwahyukan kepada Nabi pada masa-masa sangat awal dari kenabian, atau dari sejarah Islam.
Ke-12 surah tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah keyakinan. Enam surah di antaranya justru menyinggung masalah keserakahan terhadap kekayaan dan ketidakpedulian terhadap orang-orang yang menderita.
Dalam Surah al-Lahab, yang turun dalam urutan ke-3, disinggung bahwa harta kekayaan dan usaha seseorang sama sekali tidak akan menyelamatkannya dari hukuman di Hari Akhirat. Tidak berguna baginya kekayaannya, dan apa yang dikerjakannya akan dibakar di dalam api menyala.
Surah al-Humazah, yang turun dalam urutan ke-6, dengan keras mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya itu bisa mengabadikannya. Celaka amat si pengumpat si pemfitnah. Yang menumpuk-numpuk harta kekayaan dan menghitung-hitungnya. Ia menyangka harta kekayaannya bisa mengekalkannya.
Dalam surah yang turun berikutnya, Surah al-Ma’un, orang-orang yang tidak mempedulikan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dikualifikasikan sebagai orang-orang yang membohongkan agama. Tahukah engkau orang yang membohongkan agama Itulah dia yang mengusir anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang-orang miskin.
Surah berikutnya yang turun dalam urutan ke-8, Surah al-Takatsur, memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang asyik berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan. Kalian menjadi lalai karena perlombaan mencari kemegahan dan kekayaan. Hingga kalian masuk ke pekuburan.
Dalam Surahal-Lail yang diwahyukan dalam urutan ke-10 diberikan kabar baik terhadap mereka yang suka memberi dan sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil. Maka siapa yang suka memberi dan bertaqwa. Dan membenarkan nilai kebaikan Kami akan memudahkan baginya jalan kebahagiaan. Dan siapa yang kikir dan menyombongkan kekayaan. Dan mendustakan nilai kebaikan Kami akan mudahkan baginya jalan kesengsaraan. Dan tiada berguna baginya kekayaannya ketika ia binasa.
Yang terakhir Surah al-Balad yang diwahyukan dalam urutan ke-11, menyinggung keengganan manusia memberikan bantuan kepada sesamanya yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan. Dan Kami tunjuki ia dua jalan. Tapi tak mau ia menempuh jalan mendaki. Tahukah engkau jalan mendaki itu. Memerdekakan budak sahaya. Atau memberi makanan di masa kelaparan. Pada anak yatim yang punya tali kekerabatan. Atau orang papa yang terlunta-lunta.
dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwasanya dimensi sosial juga menjadi tolak ukur keimanan dan kecintaan kita terhadap Muhammad. Telah dicontohkan Bagaimana nabi Muhammad menunjukan rasa kasih sayangnya terhadap orang miskin, faqir, yatim, peduli terhadap hewan, mengingatkan mereka yang yang sukanya menumpuk-numpuk harta benda. Yang jadi mengeherankan bagi penulis adalah sekarang banyak orang yang gembar-gembor mengikuti sunnah nabi Muhammad, akan tetapi secara lahiriah saja dan cenderung melupakan intisari dari sunah dan ajaran nabi muhammad. Oleh karena itu mucul dalam benak penulis berbagai macam pertanyaan
- Sudahkah kita mencintai nabi dengan menyayangi anak yatim..?
- Sudahkah kita mencintai nabi dengan menolong yang lemah..?
- Sudahkah kita mencintai nabi denngan memberi makan mereka yang kelaparan, mereka yang membutuhkan,..?
- Sudahkah kita mencintai nabi dengan menyayani binatang..?
- Sudahkah kita mencintai nabi dengan meningkatkan kesholihan social kita..?
- Sudahkah kita mencintai nabi tapi perilaku kita masih suka menumpuk harta benda, suka membentak anak yatim, tidak mempedulikan keadaan sekitar..?
Semoga kita bisa selalu istiqomah mencintai dan mengikuti nabi, penulis jadi teringat doa yang diajarkan di Pondok Pesantern Al-Asror, doa tersebut yang bagi penulis merupakan doa yang terbaik.
اللهم أني اسالك من خيرما سألك منه سيدنا ونبينا محمد وأعوذ بك من شر ما استعاذ منه سيدنا ونبينا محمد.
Ya Allah sesungguhnya aku meminta suatu kebaikan, yang kebaikan itu selalu diminta oleh nabi Muhammad, dan saya berlindung dari keburukan, yang nabi Muhammad selau meminta perlindungan dari keburukan tersebut.
[zombify_post]