KAIN KAFAN NKRI
M. Kholid Syeirazi*
Beberapa hari yang lalu, dalam sebuah perjalanan keluar kota, seorang teman lama menghubungi saya. Sekitar setengah jam kami bicara dan diskusi. Teman ini telah lama menempuh hidup sunyi, mengunjungi orang-orang tua, sowan kiai-kiai, bertapa dari gunung ke gunung. Setelah basa-basi menanyakan kabar, dia langsung menyeret saya ke ranah pembicaraan serius. Dia bercerita, dalam dimensi tengah antara langit dan bumi, dia melihat NKRI sebagaimana terlihat dalam gambar peta, tertutup mori. Mori adalah kain kafan yang digunakan untuk membungkus jenazah yang mau dikubur. Dia bertanya, mungkin lebih tepatnya menguji, apa kira-kira isyarat dari visi itu? Meski tidak terlibat dalam kehidupan politik praktis, saya percaya orang-orang seperti dia paham apa yang terjadi di tubuh NKRI. Karena itu, kepada saya mungkin dia sekadar menguji, setidak-tidaknya mengonfirmasi tafsir yang sudah dia punyai sendiri.
Saya, yang lebih mengharapkan tema ringan, menjawab sekadarnya. Kepadanya saya sampaikan kemungkinan isyarat dari visi itu. Mori yang dibeber sebagai kain kafan adalah lambang kematian. Jika yang dibungkus adalah gambar peta, saya ngeri, apakah ini pertanda NKRI akan bubar? Saya tambahkan, NKRI memang tengah ditarik oleh dua gaya gravitasi yang berlawanan. Satu gaya ingin mengganti NKRI berdasarkan Pancasila dengan rezim teokrasi transnasional. Tarikan yang lain menghendaki NKRI menjadi pelayan korporatokrasi multinasional. Dua gaya ini sama-sama mengusung klaim global. Bedanya, tarikan pertama bertolak dari asumsi bahwa nation-state adalah produk sekuler warisan Barat yang bertentangan dengan khilâfah alâ manhaj nubuwwah, karena itu harus dirobohkan. Tarikan kedua bertolak dari anggapan bahwa nation-state adalah dinding penghalang beroperasinya kapital mondial, karena itu harus dilumpuhkan. Nubuatnya tertuang dalam judul buku Kenichi Ohmae: The End of the Nation-State! Nation-state tidak lagi diperlukan, karena globalisasi telah mengintegrasikan manusia dalam desa buana (global village). Kalau pun dibiarkan ada, perannya akan diringkus menjadi pelayan pasar dan modal, bukan pelayan rakyat sebagaimana maksud konstitusi. Dua gaya itulah yang tengah mengancam NKRI. Teman saya membenarkan. Obrolan ditutup dengan permohonan agar saya memberikan syarah atas pernyataan itu dan menuliskannya kepada publik.
Tanda Tanya
Saya sendiri masih bertanya-tanya, adakah gerakan Negara Khilafah dan ideologi Supra-Negara telah sedemikian serius mendapat tempat di negeri ini sehingga NKRI tercandra berselimut mori? Menguatnya arus radikalisme Islam yang disebarkan dari Timur Tengah sejak 1970-an memang kian mendapat kaki di sekelompok anak muda dan ormas militan. Banyak anak muda tersusupi ‘ideologi kematian,’ siap menjadi martir dengan meledakkan diri sebagai pengantin. Mereka menganggap Pancasila dan pembelanya sebagai thâgut yang harus diperangi. Jihad direduksi sebagai jihâd qitâl, yaitu perang kekerasan yang membolehkan korban dari kalangan anak-anak, wanita, dan orang tua. Pengikut Wahabi militan dan Ikhwan garis keras semakin banyak. Kitab-kitab Ibn Taymiyyah, Sayyid Qutb, Mawdudi, Nashiruddin al-Albani, dll. dijadikan rujukan dan dikutip dalam majelis-majelis kajian. Tidak semua pro-Khilafah dan kekerasan, tetapi semakin banyak muslim skripturalis yang diajari memahami Islam secara harafiah.
Di kutub yang lain, pengusung liberalisme yang berpangkal pada Adam Smith dan neoliberalisme yang digawangi Friedrich Hayek dan Milton Friedman berhasil mencetak ekonom dan teknokrat yang menentukan blue print pembangunan ekonomi pro-pasar. Asing dan swasta diberi karpet merah yang mendominasi penguasaan ekonomi nasional. Koperasi lumpuh, BUMN dibusukkan citranya sebagai sarang inefisiensi dan korupsi. Padahal, koperasi dan BUMN adalah dua instrumen ekonomi yang disebutkan secara tersurat dalam Pasal 33 UUD 1945 di ayat (1) dan (2). Secara global, ideologi pasar menghasilkan globalisasi yang menimbulkan frustrasi akibat ketimpangan. Globalisasi tidak menyatukan umat manusia dalam rimbun global village, tetapi ideologi yang menghalalkan global pillage (penjarahan global) melalui korporasi yang merampok kekayaan alam di berbagai negara. Hasilnya, segelintir orang hidup foya-foya, satu miliar jiwa lainnya hidup dalam kemiskinan, yang hidup kurang dari US$1 setiap hari. Setiap hari 40.000 bayi di dunia mati akibat penyakit dan kekurangan gizi. Biaya yang dibutuhkan untuk pendidikan dasar keluarga miskin di semua negara Dunia Ketiga hanya US$6 miliar setahun, tetapi wanita Amerika menghabiskan US$8 miliar setahun untuk belanja kosmetik. Anggaran yang dibutuhkan untuk pengadaan air bersih dan sanitasi di seluruh dunia hanya US$9 miliar setahun, tetapi kelas menengah Eropa menghabiskan US$11 miliar setahun untuk belanja es krim.
Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin perdamaian dunia akan terwujud? Orang-orang miskin dan frustrasi akan dengan gampang diajak memanggul senjata dengan modal satu dua ayat. Mereka rentan melarikan kekalahannya di dalam sejarah menuju kemenangan di luar sejarah dengan menjadi martir bom bunuh diri. Karena itu, fundamentalisme agama dalam beberapa hal adalah resultante dari fundamentalisme pasar yang menghasilkan frustrasi dan ketimpangan. Memusuhi fundamentalisme agama tetapi bersahabat dengan fundamentalisme pasar bukan langkah konstruktif mewujudkan perdamaian dunia. Perdamaian dunia akan terwujud dengan agama yang menyebarkan pesan damai, dalam bahasa Islam—agama rahmatan lil ‘alamin—dan pembangunan yang mengedarkan kesejahteraan di sebanyak-banyak orang, dalam bahasa al-Qur’an—kaylâ yakûna dûlatan bainal aghniyâ’i minkum. Selagi dunia masih dikuasai oleh pembangunan yang menghalalkan kerakusan, terorisme akan menjadi sahabat dunia. Dalam tiga hari ini serangan bom mengguncang Mesir, Turki, Nigeria, dan Somalia. Rencana serangan di Jakarta digagalkan, ‘calon pengantinnya’ dibekuk di kawasan Bekasi. Saya beranggapan, para pelaku serangan bom bunuh diri berasal dari jenis orang-orang frustrasi, yang rentan diumpan ideologi kematian. Mereka memilih menjadi pengantin di surga ketimbang hidup di dunia yang keras, yang tidak ramah untuk orang miskin dan lemah.
*Penulis adalah Sekretaris Jenderal PP ISNU
(Bagian satu dari dua tulisan)