31 C
Jakarta

Kado Awal Tahun 2020, Radikalisme Menyasar Sekolah

Artikel Trending

EditorialKado Awal Tahun 2020, Radikalisme Menyasar Sekolah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sudah dua pekan kita berada di tahun 2020, dan berharap kejadian-kejadian tahun lalu tidak kembali terjadi tahun ini. Mulai dari persekusi, ujaran kebencian, hoax, hingga aksi teror, tahun 2020 dicitakan menjadi era paceklik dari semua malapetaka tersebut. Sudah saatnya—seharusnya—kita berpikir tentang bangsa ini ke depan, tidak larut stagnan sebab masalah-masalah yang tak kunjung usai. Apa lagi kalau bukan radikalisme.

Kompleksitas radikalisme—ini penting diutarakan—terletak pada dua elemen. Pertama, subjeknya. Para pelaku tindakan radikal seringkali bukan orang sembarangan, melainkan orang yang berpengaruh di mata publik (public sphere). Artinya, ujaran kebencian, misalnya, sering sekali dilakukan oleh para ustaz/dai dan mereka yang ucap-sikapnya dianut publik. Akibatnya, yang dangkal ilmu mudah terpengaruh, dan yang fanatis semakin gila diri.

Kedua, objeknya. Objek radikalisasi seringkali mereka yang ilmu keagamaannya rendah. Baik kedangkalan pengetahuan tersebut disebabkan karena terlambat mendalami ilmu agama, atau memang karena keterbatasan usia, seperti anak kecil misalnya. Yang terakhir ini jauh lebih berbahaya, lantaran memori mereka masih jernih,mudah didoktrin. Apa yang ditanamkan ke otak mereka, akan diingat hingga dewasa. Topik ini yang akan kita ulas sekarang.

Rabu (14/1/2020) kemarin, kita dikejutkan kabar dari Yogyakarta. Tepatnya di SD Negeri Timuran, Brontokusuman, Mergangsang, Kota Yogyakarta. Seorang wali murid, melalui status WhatsApp, memprotes pembina karena dianggap mengajarkan yel-yel rasis. Tanggapan pun berdatangan. Ketua DPRD Kota Yogyakarta mendesak pembina asal Gunungkidul itu dicopot. Bahkan Gubernur DIY juga ikut berkomentar.

“Saya sangat menyesal itu terjadi di pramuka,” kata Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X selepas menghadiri acara Dialog Kebangsaan ‘Merawat Persatuan, Menghargai Keberagaman’ di Universitas Islam Indonesia, Sleman, DIY, Selasa (14/1/2020) kemarin, seperti dilansir Akurat.co.

Usai menghadiri acar di UII tersebut, Menkopolhukam Mahfud MD bahkan memberikan respons yang tak kalah pedas. Ia meminta pembina pramuka tersebut dapat pembinaan. “Pembinaan dulu aja dah. Jangan-jangan gurunya agak bego kali,” ujarnya, Selasa (14/1/2020) kemarin, sebagaimana dilansir Jogjapolitan.com.

Radikalisme di Sekolah dan Instansi

Sekolah dan instansi merupakan media paling ampuh untuk melakukan indoktrinasi. Ilmu pengetahuan, ajaran, paham, dan lainnya, mudah sekali menyebar melalui sekolah, dan rata-rata peserta didik mudah sekali terpengaruh. Itulah sebabnya kenapa sekolah berada di posisi kedua, kalau kita telisik, menjadi tempat penyebaran paham radikal, setelah media sosial. Fakta ini tidak bisa kita pungkiri. Baik media sosial maupun sekolah sama-sama punya objek massal.

Oleh karena sebatas media, tentu saja sekolah tidak bisa melakukan radikalisasi dengan sendirinya. Oknumlah yang memanfaatkan peluang besar tersebut. Ini terbukti melalui keterangan berbagai sumber, bahwa yang terjadi di kursus mahir lanjutan (KML) SDN Timuran bukan doktrin internal sekolah, melainkan pembina itu sendiri. Pelaku berasal dari Kwarda Gunugkidul, dan tuntutan pencopotan dilakukan melalui Kwarcab Kota Yogyakarta.

Yel-yel ‘Islam Yes, Kafir No!’ kita anggap rasis karena mengindikasikan eksklusivisme keberagamaan. Di negri ini, istilah ‘kafir’ adalah istilah yang sensitif. Slogan ‘Islam Yes’ sendiri bukan sesuatu yang baru. Nurcholish Madjid akrab dengan slogan ‘Islam Yes, Partai Islam No!’. Nadirsyah Hosen akrab dengan slogan ‘Islam Yes, Khilafah No!’.

BACA JUGA  Idulfitri: Kembali ke Fitrah Keagamaan dan Kebangsaan

Tetapi konotasi term ‘Islam’ dalam yel-yel pramuka dengan term ‘Islam’ versi Nurcholish dan Nadirsyah jelas berbeda. Letak perbedaannya adalah dalam hal eksklusivisme dan inklusivisme. Artinya, Islam dalam yel-yel tersebut dimaknai sempit, Islam ala salafi, yang mengkafirkan perbedaan pendapat. Kebalikan dari slogan Nurcholish dan Nadirsyah.

Lalu apakah slogan ‘Partai Islam No!’ juga dikatakan rasis partai? Slogan ‘Khilafah No!’ juga bentuk rasis kepada khilafah? Jelas tidak. Kedua slogan tersebut merupakan narasi otokritik bahwa segala doktrin keagamaan yang dipolitisir, kita harus berkata ‘tidak’. Lagi pula tidak dapat dipungkiri, partai Islam dan khilafah adalah basis politik an sich, yang diatasnamakan Islam. Sedangkan istilah ‘kafir’ adalah bentuk olok-olok kepada pemeluk agama lain.

Yang hendak ditanamkan dari yel-yel ‘Kafir No’ adalah doktrin penyesatan kepada non-Islam. Jelas ini adalah wujud indoktrinasi. Karenanya, cara menangkal radikalisasi yang menyasar sekolah ini satu; dedoktrinasi.

Menuju Dedoktrinasi

Sebenarnya penyakit akut paham radikal di negeri ini bermuara dalam penanaman doktrin eksklusivisme, mudah menyalahkan semua yang berbeda. Dalam indoktrinasi, jelas sekolah lebih efektif daripada media sosial. Sebab ia melibatkan tatap muka, face to face. Berbeda dengan media sosial yang mengandalkan metode persuasi-provokatif.

Kejadian di Yogyakarta kemarin cukup menjadi kado awal tahun kepada kita, untuk merefleksikan betapa radikalisme amat dekat dengan kita. Kita tidak pernah tahu, di mana ia akan menyebar. Bahkan andai wali murid berinisial K itu tak menyebarkannya, indoktrinasi tetap berlanjut, dan pramuka menjadi ladang mereka menyebarkan paham radikal.

Langkah reaktif pemerintah Kota Yogyakarta mesti kita apresiasi. Tetapi untuk mengatakannya berhasilmenangkal radikalisme, itu masih jauh dari kata berhasil. Instansi pemerintahan juga tak luput dari objek penyebaran paham radikal, tak jauh berbeda dari sekolah. Atas semua ini, kita perlu mengkritik pemerintah, terutama menter Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf, sejauh apa kinerjanya dalam memberantas radikalisme? Kenapa hanya reaktif ketika sudah terlanjur terjadi?

Dedoktrinasi di sekolah bisa menjadi solusi untuk mencegah radikalisasi. Artinya, otoritas peserta didik juga dipertimbangkan. Memberikan mereka kesempatan untuk bersikap kritis adalah upaya memerdekakan mereka. Sedangkan mencekoki mereka ajaran secara sepihak, tanpa membuka ruang diskusi, adalah menjerumuskan mereka ke dalam indoktrinasi tadi.

Kasus di Yogyakarta kemarin bukan satu-satunya kasus, andai semua radikalisme yang menyasar sekolah terpublikasikan. Karenanya, ada yang lebih efektif ketimbang reaksi pemerintah, yang notabene pihak eksternal, yaitu pembenahan sisi internal sendiri. Hal ini mencakup beberapa tindakan, seperti pengembangan kurikulum, metode belajar, hingga filtrasi tenaga pendidik.

Menyasarnya radikalisme ke sekolah bukan karena kurangnya monitoring, melainkan karena terdapatnya celah, yaitu metode belajar yang teacher-oriented, berpusat pada guru. Sebagai alternatif mencegah radikalisme sekolah, dedoktrinasi menjadi satu dari sekian metode deradikalisasi tersebut.

Paham radikal akan disebarkan kepada kita, selama ada celah, sekecil apa pun. Lalu kenapa di antara kita masih ada yang ragu dengan eksistensi radikalisme, dan enggan terlibat untuk memberantasnya?

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru