32.9 C
Jakarta

Jihad Melawan Terorisme

Artikel Trending

Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Polrestabes Medan, Sumatera Utara beberapa hari yang lalu mengejutkan masyarakat Indonesia. Bum bunuh diri di Indonesia bukan baru kali ini terjadi. Beberapa tahun yang lalu bom bunuh diri pernah terjadi di Sari Club dan Paddy’s Pub Jalan Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober 2012; di hotel berbintang 5, JW Marriot di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan pada 5 Agustus 2003; di depan gedung Kedutaan Besar Australia Jakarta pada 9 September 2004; di RAJA’s Bar and Restaurant Kuta, dan Nyoman Cafe Jimbaran pada 1 Oktober 2005.

Berikutnya, bom bunuh diri terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta pada 17 Juli 2019; di masjid Mapolresta Cirebon sebelum shalat Jumat pada 15 April 2011; di kedai kopi Starbucks, bioskop Djakarta Teater pada 14 Januari 2016; di Mapolresta Surakarta sehari jelang Idul Fitri pada 5 Juli 2016; di sekitar Terminal Kampung Melayu pada 24 Mei 2017; di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur pada 13 Mei 2018; dan di Rusun Wonocolo, Sidoarjo pada 14 Mei 2018.

Rangkaian bom bunuh diri tersebut sudah dilakukan bukan hanya di tempat-tempat diskotik yang diklaim oleh kelompok teroris dengan sarang maksiat, namun pula dilakukan di tempat ibadah orang Islam dan kantor kepolisian. Melihat kejadian ini, hal yang perlu diperhatikan adalah mindset (pola pikir) pelaku yang butuh diperbaiki. Karena, perbuatan seseorang kembali kepada pola pikirnya. Mereka yang bersikap moderat, karena pola pikirnya terbuka, sementara mereka yang bersikap ekstrem, karena pola pikirnya tertutup.

Bom bunuh diri merupakan tindakan terorisme. Peristiwa tragis ini sesungguhnya berangkat dari mindset yang keliru memahami jihad yang disebutkan dalam sekian ayat Al-Qur’an dan beberapa hadis Nabi Muhammad Saw. Terkait jihad, saya teringat dengan kesan Nabi Saw. sepulang dari perang paling besar semasa hidup beliau, yaitu Perang Badar: Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar. Lalu sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai Rasulullah? Rasul menjawab, “Jihad (memerangi) hawa nafsu.”

Peperangan yang dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad Saw. adalah perang melawan hawa nafsu. Karena, sebut mufasir asal Madura Thaifur Ali Wafa, hawa nafsu itu selalu mengintai setiap langkah manusia, sehingga perang melawannya seharusnya dilakukan setiap waktu. Bahkan, Imam al-Ghazali menyebutkan, “Nafsu itu adalah musuh yang dicintai (aduwwun mahbubun)”, sehingga amat sangat sulit mengalahkan tipu daya nafsu yang biasanya mendorong kepada keburukan, sedangkan kecintaan terhadap nafsu sulit dihindari.

Pada kesempatan yang lain, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan: “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan dirinya dan hawa nafsunya.” (HR. Ibnu Najjar dari Abu Dzarr).

Keutamaan berjihad melawan hawa nafsu juga disepakati oleh beberapa pakar. Salah satunya, Yenny Wahid, direktur Wahid Foundation yang mengatakan, bahwa orang Islam yang telah mempelajari agama hendaknya menjadikan jihad bukan peperangan, namun perlawanan terhadap nafsu angkara murka. Sebab, jihad itu tidak bisa dilakukan dengan fisik, namun dengan cara diskusi, sehingga dengan diskusi itu perbedaan pendapat akan bertemu.

BACA JUGA  Kenapa Kita Harus Pilih Anies Sebagai Presiden di Indonesia?

Jihad yang dipahami secara sempit oleh kelompok teroris seharusnya dikaji ulang. Quraish Shihab, pakar tafsir Nusantara, mengkaji status jihad yang diperbolehkan dalam agama Islam. Menurutnya, jihad bukan menumpahkan darah, apalagi membunuh, tetapi meninggikan nilai-nilai agama Allah (li i’la’ kalimatillah). Meninggikan ajaran-Nya, bukan membenarkan agama Islam dan menyesatkan agama-agama yang lain. Sebab, Allah sendiri memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing.

Selain itu, lanjut Quraish Shihab, jihad tidak dapat dibatasi pada peperangan bersenjata seperti yang dilakukan oleh kelompok teroris, Hizbut Tahrir (HT), dan Front Pembela Islam (FPI). Namun, jihad yang diinginkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad beserta pengikutnya adalah menggunakan Al-Qur’an untuk menghadapi orang-orang musyrik. Saya teringat jihad menggunakan Al-Qur’an dapat membuka hati Umar Ibn Khattab yang keras kepala dan berambisi membunuh Nabi Muhammad Saw., sehingga karena sentuhan pesan-pesan Al-Qur’an hati Umar menjadi terketuk dan masuk Islam.

Kekeliruan membatasi jihad hanya pada pertempuran bersenjata dan bom bunuh diri dapat diperhatikan dalam pesan Al-Qur’an: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs. al-Baqarah [2]: 190). Ayat ini sebenarnya ingin menyampaikan bahwa perang itu bukanlah jihad. Namun, perang itu hanya cara untuk menjaga diri dari serangan orang lain. Sungguh sangat picik cara berpikir orang yang menjadikan peperangan sebagai jihad! Mereka hanya bermodalkan sikap nekat disertai ketertutupan pikiran—meminjam istilah Rocky Gerung, “dungu”.

Tidak dibenarkannya peperangan atau bom bunuh diri sebagai jihad, karena itu dapat merugikan banyak orang. Hal yang paling tragis, banyaknya orang yang tidak bersalah menjadi korban. Mayat tergeletak karena peristiwa amoral ini. Sudah lupakah para teroris terhadap pesan Allah dalam Al-Qur’an: Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar (Qs. al-Isra’ [17]: 33], dan: Barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya (Qs. an-Nisa’ [4]: 93)?

Melalui sekelumit uraian tersebut, dapat disimpulkan: 1- Jihad itu melawan hawa nafsu yang menggiring manusia melakukan tindakan terorisme. 2- Jihad itu bukanlah peperangan melawan musuh, tetapi peperangan itu hanya sebagai langkah bela diri dari serangan musuh. 3- Jihad itu adalah mengubah tradisi Jahiliyah yang tertutup seperti tindakan terorisme menuju tradisi pengetahuan yang mencerahkan seperti karya-karya yang dapat membuka masa depan. So, masihkah tindakan terorisme dan bom bunuh diri disebut bagian dari jihad?[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru